Lipsus : Menggadai damai di Wamena (artikel 6 dari 6)

Penandatanganan kesepakatan untuk bersama-sama menolak tegas aksi anarkis, menjaga keamanan bersama dan memproses pelaku secara hukum di halaman gedung DPRD Jayawijaya, Sabtu (28/9/2019)-Jubi/Islami

Amuk massa yang terjadi di Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, Papua, pada 23 September 2019 menyentak rasa kemanusiaan publik. Semua pihak terpukul dan berduka, melihat bagaimana sebuah unjukrasa anti rasisme para pelajar bisa meledak menjadi amuk massa yang menewaskan sedikitnya 42 korban jiwa dan menghancurkan separuh kota terbesar di kawasan pegunungan tengah Papua itu.

Read More

Semua ingin bergegas menenun lagi relasi sosial yang terkoyak, secepatnya menutup luka. Namun, pemerintah punya banyak pekerjaan rumah jika ingin merajut perdamaian yang kokoh. Tulisan ini adalah bagian keenam dari enam tulisan serial “Menggadai damai di Wamena”.

Jangan menggadai damai di Wamena

Selasa, 8 Oktober 2019 sore itu, wajah Pendeta Titus Tangke S Th muram. Ia tak menyangka, rombongan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto bergegas pergi meninggalkan seratusan tokoh agama serta tokoh adat beserta belasan kepala distrik sudah dua jam menunggu di gedung pertemuan Aithousa GKI Betlehem di Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, Papua.

Sekitar dua jam sebelumnya, Tangke sempat mengikuti pertemuan Wiranto dan para pengungsi di Markas Komando Distrik Militer (Kodim) 1702 Jayawijaya. Pertemuan itu berlangsung tanpa banyak formalitas, banyak pengungsi sempat menyampaikan isi hati mereka kepada rombongan Wiranto. Tangke lega melihatnya.

Tatap muka Menkopolhukam, Panglima TNI dan Kapolri bersama
sejumlah tokoh, paguyuban di gedung Aithousa GKI Wamena dianggap mengecewakan – Jubi/Islami

Dengan harapan tinggi, Tangke bergegas menuju gedung pertemuan Aithousa GKI Betlehem. Ia membawa beberapa amplop cokelat berisi laporan peristiwa 23 September 2019 yang ingin dititipkannya kepada rombongan Wiranto. Tapi, lebih dari itu, ia ingin melihat rombongan Wiranto berdialog dengan seratusan tokoh agama dan tokoh masyarakat di gedung Aithousa. Ia memimpikan cairnya suasana dialog di Markas Kodim 1702 Jayawijaya akan terulang di gedung Aithousa.

Sayang, Selasa siang itu rombongan Wiranto tak lagi punya banyak waktu. Setelah berbicara sekitar setengah jam, Wiranto meminta dua atau tiga hadirin menanggapi paparannya. “Kalau soal berdialog, saya sudah berdialog dengan para pengungsi,” kata Wiranto kepada seratusan tokoh yang gedung Aithousa GKI Betlehem.

Pendeta Titus Tangke S Th muram melihat rombongan Wiranto segera pergi. “Padahal, perwakilan-perwakilan sudah dikasih undangan, mau bicara. Dari empat suku besar paguyuban, baru satu yang terwakili, Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan. Sementara yang dari Jawa, dari Batak, dari Padang, belum [bicara], tidak ada waktu. [Yang bicara pun] dibatasi lima menit. Apa yang mau dibicarakan dalam lima menit?” sesal pengurus Sie Kerohanian Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan itu.

Beruntung Pendeta Titus Tangke berhasil menitipkan salah satu amplop cokelatnya kepada rombongan Wiranto. Di tangannya, tinggal tersisa satu amplop cokelat besar yang tampak semakin lusuh, “Ini dokumentasi dari Aliansi Korban Kebakaran 23 September, sudah kami sampaikan kepada [rombongan] Kemenkopolhukam. Saya titipkan untuk Pak Presiden,” tutur Pendeta Titus Tangke dengan suara bergetar menahan emosi.

Tiba-tiba, suara keras aktivis hak asasi manusia Theo Hesegem terdengar. Pendeta Titus Tangke diam mencuri dengar omongan Theo yang dengan emosional mengecam cara kerja rombongan Wiranto. “Masalah di Wamena ini adalah masalah sangat kompleks. Kami di Wamena saja sangat hati-hati [bicara], karena [kelompok] korban ada tiga pihak-masyarakat sipil non Papua, masyarakat sipil asli Papua juga pemerintah daerah. Tapi, [dialog para tokoh] harus diatur-atur,” cela Theo Hesegem di halaman gedung pertemuan Aithousa.

Theo Hesegem mengungkapkan kekecewaanya pada cara kerja pemerintah dalam menangani peristiwa 23 September di Wamena – Jubi/Aryo Wisanggeni

Pendeta Titus Tangke berdiam, berusaha memahami kekesalan Theo Hesegem. “Yang [orang] asli Papua juga tidak terakomodir. Padahal banyak yang mereka mau sampaikan tentang peristiwa yang terjadi,” ujarnya lirih.

Tak seperti Pendeta Titus Tangke, Theo Hesegem tak sempat menitipkan laporan atau informasi apapun kepada rombongan Wiranto. “Padahal ada banyak hal yang belum terungkap dan tidak diketahui publik atas peristiwa 23 September 2019 itu. Bagaimana kita mau memulai rekonsiliasi, jika belum semua fakta terkait peristiwa 23 September 2019 itu diungkap bersama?” keluh Theo.

Kekecewaan atas hasil pertemuan 8 Oktober 2019 itu adalah perulangan dari kekecewaan sejumlah kalangan atas penandatanganan kesepakatan bersama para tokoh di Wamena pada 28 September 2019 lalu. Saat itu, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopinda) Kabupaten Jayawijaya mengajak para pihak menandatangani kesepakatan damai, demi meredakan ketegangan situasi Wamena pasca amuk massa 23 September itu.

Banyak pihak mendukung agar seluruh kelompok masyarakat, termasuk kerabat dan perwakilan para korban amuk massa, untuk saling bertemu dan memulai dialog. “Akan tetapi, terburu-buru memaksakan penandatanganan kesepakatan bersama justru akan menghambat proses rekonsiliasi. Kalau sekarang tanda tangan damai, itu damai atas apa? Siapa pelaku, siapa korban, belum ditelusuri dengan tuntas,” keluh Ketua Dewan Adat Papua versi Kongres Luar Biasa, Dominikus Surabut.

Pastor RD Allo Dabi Pr, anak adat Lembah Baliem yang juga Imam Projo di Dekanat Pegungungan Tengah Keuskupan Jayawijaya, meyakini semua pihak yang terlibat pertemuan 28 September 2019 dan pertemuan 8 Oktober 2019 menginginkan rekonsiliasi dan perdamaian yang kokoh. “Akan tetapi, perdamaian yang kokoh memang harus dibangun dengan kepercayaan di antara para pihak,” tuturnya.

Pastor Allo menyebut, orang asli Papua mempersepsi akar masalah amuk massa di Wamena adalah dugaan ujaran rasis guru kepada siswanya. “Dalam konsep keadilan orang asli Papua, akar masalah itu harus dibereskan dulu, sebelum kita menangani dampak dari akar masalah itu,” kata Pastor Allo.

Penandatanganan kesepakatan untuk bersama-sama menolak tegas aksi anarkis, menjaga keamanan bersama dan memproses pelaku secara hukum di halaman gedung DPRD Jayawijaya, Sabtu (28/9/2019)-Jubi/Islami

ia juga menekankan konsep keadilan orang asli Papua juga mempersyaratkan pengungkapan seluruh fakta dan kebenaran peristiwa 23 September untuk bisa menjalankan proses rekonsiliasi. Menurutnya, bagian terpenting dari pengungkapan itu adalah menemukan siapa pelaku yang bermain sebagai aktor intelektual maupun penggerak amuk massa di Wamena.

Pastor RD Allo Dabi Pr menyebut polisi tidak bisa terus menyodorkan kesimpulan sepihak, lalu meminta publik serta merta percaya dan mau memulai rekonsiliasi. “Pertama, polisi secara sepihak menyatakan dugaan rasisme itu hoaks. Bukankah seharusnya itu ranah pengadilan? Kedua, polisi secara sepihak menyimpulkan aktor intelektual amuk massa di Wamena adalah Komite Nasional Papua Barat. Sementara dasar kesimpulan itu tidak diungkapkan kepada publik. Jika polisi terus membuat kesimpulan sepihak, publik akan semakin sulit mempercayai kesimpulan itu,” kata Pastor Allo.

Theo Hesegem ingin seluruh pihak di Wamena lekas berdamai, tapi tak ingin perjanjian damai itu belakangan runtuh karena ada “fakta baru” yang muncul belakangan. Ia mendorong seluruh pemangku kepentingan terus bertemu dan berdialog, namun menegaskan dialog seremonial pemerintah harus dihentikan.

“Hentikan semua seremoni dialog. Lebih baik pemerintah segera membentuk tim pencari fakta yang melibatkan semua pihak, baik itu masyarakat pendatang maupun orang asli Papua, tokoh masyarakat, maupun tokoh agama, juga pemerintah dan aparat keamanan. Tim ini harus mengungkap segala fakta dan kebenaran dalam amuk massa Wamena, menyusulan laporan bersama yang diterima oleh semua pihak. Jika semua fakta telah terungkap, kita akan memiliki pijakan kokoh untuk sebuah rekonsiliasi,” harap Theo Hesegem.

Semua memang ingin bergegas menenun lagi relasi sosial yang terkoyak amuk massa Wamena. Tetapi, kita butuh tenunan kuat yang menyatukan, bukan tenunan serampangan yang justru menimbulkan luka baru di antara para pemangku kepentingan. Kepala dingin semua pihak diperlukan, agar damai di Wamena tak rapuh dan tergadai. (*)

Jurnalis Jubi Victor Mambor, Islami Adisubrata turut berkontribusi dalam penulisan berita ini.

Baca Artikel 1 dari 6 
Baca artikel 2 dari 6
Baca artikel 3 dari 6
Baca artikel 4 dari 6
Baca artikel 5 dari 6

 

Related posts

Leave a Reply