LIPI: Tim Investigasi harus memiliki pemahaman persoalan HAM di Papua

Papua, LIPI ,Tapol, Gerakan west Papua melawan 2019
Ilustrasi Sampul laporan TAPOL terkait Gerakan West Papua Melawan 2019. Photo. Tapol

 

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Tim investigasi yang telah dibentuk oleh Menkopolhukam harus memiliki pemahaman yang sama tentang persoalan HAM di Papua. Jika ada niatan yang berbeda di dalam tim, maka tim tidak bisa menyelesaikan kasus-kasus tersebut.

Read More

Demikian disampaikan peneliti LIPI, Adriana Elisabeth dalam diskusi publik “Mengulas Tim Investigasi Independen Penembakan Hitadipa” yang diselenggarakan Amnesty International Indonesia live via youtube, Rabu (2/10/2020).

Adriana Elisabeth mengatakan, tim investigasi yang beranggotakan tiga puluh orang tersebut harus mampu menyelesaikan dua kata kunci persoalan di Papua.

Pertama persoalan ketidakadilan dari perspektif korban dan yang kedua bagaimana menghentikan kekerasan di Papua.

“Jangan seperti tim investigasi tahun 2015 yang telah dibentuk tapi tidak menyelesaikan persoalan yang telah disepakati waktu itu,” katanya.

Dari penelitian yang selama ini dilakukan LIPI, menurut Adriana ada solusi dalam menyelesaikan persoalan di Papua, yakni melalui konsultasi publik atau melalui dialog.

“Kita mengumpulkan orang-orang, saling berbicara, mendengarkan. Kalau ada pihak yang bersalah, pihak itu boleh meminta maaf atau diproses secara hukum yang adil,” ujarnya.

Tim investigasi gabungan, jelas Adriana Elisabeth harus menjadi tempat saling mendengar. Bukan kemudian hanya jadi ajang formalitas untuk menghasilkan laporan. Tim juga harus mampu merumuskan produk baru yang menjamin tidak lagi terjadi kekerasan di Papua. Terutama kepada orang-orang Papua.

Anggota Komisi I DPR RI Papua, Yan Mandenas dalam diskusi mengatakan, akan mengawal kinerja dari tim invenstigasi ini. Sehingga tidak terjadi kontra penyelidikan di lapangan terhadap hasil dan fakta-fakta yang disampaikan masyarakat.

“Pemerintah harus membuka diri, mengoreksi diri dan melakukan evaluasi total sehingga tidak terus menerus terjadi penembakan di Papua,” katanya.

Terkait pembentukan tim investigasi Pdt Dora Balubun menyampaikan harus ada kemauan yang sungguh-sungguh dari tim yang dibentuk supaya bisa mengembalikan kepercayaan orang Papua, akan niat baik Pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan persoalan HAM di Papua.

Selain itu kata Pendeta Dora, yang perlu diperhatikan juga adalah nasib para pengungsi yang hari ini berada di hutan. “Presiden harus menjamin agar masyarakat Hitadipa bisa kembali ke kampung mereka,” ujarnya.

Kasus penembakan Pendeta Yeremia, Sabtu (19/09/202), di Kampung Bomba telah menambah daftar lubang hitam kasus pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Papua.

Amnesty International Indonesia dalam pemantauan mencatat dari Februari 2018 – September 2020 terjadi pembunuhan di luar hukum sebanyak 47 kasus dengan 96 korban jiwa.

“7 kasus penyidikan yang sedang berlangsung, 14 kasus penyidikan tidak dipublikasikan, 9 kasus tidak ada penyidikan, 5 kasus mekanisme disiplin internal polisi, 1 kasus lewat penyelesaian adat , 2 kasus melalui pengadilan militer, 2 kasus melalui pengadilan pidana, dan 7 kasus dalam proses verifikasi,” ungkap Amnesty International Indonesia, Ari Pramuditya. (CR7)

Editor: Syam Terrajana

Related posts

Leave a Reply