Jubi | Portal Berita Tanah Papua No. 1,
Jayapura, Jubi – Meski Chappy Hakim belum resmi menjabat Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (Presdir PTFI) lantaran masih menunggu keputusan pemegang saham. Namun peluang mantan jenderal bintang empat dari Angkata Udara tersebut duduk sebagai Presdir PTFI sudah didepan mata dan hanya tinggal menunggu waktu.
Legislator Papua, Laurenzus Kadepa menduga, dipilihnya mantan Kepala Staf Angakatan Udara itu sebagai Presdir PTFI tak lepas dari kepentingan perpanjangan Kontra Karya (KK) tambang emas dan tembaga asal Amerika tersebut yang akan berakhir pada 2021 mendatang.
"Hingga kini manajemen Freeport masih belum mendapat kejelasan apakah Kontrak Karya yang akan berakhir 2021 itu akan diperpanjang atau tidak. Kini masih terjadi pro kontra. Dalam kondisi seperti itu, sulit Orang Asli Papua mendapatkan posisi Presdir. Harus orang yang dekat dengan kalangan pemerintah. Orang yang dekat dengan kalangan istana. Saya menduga, ini unsur memuluskan perpanjangan Kontra Karya Freeport," kata Laurenzus Kadepa kepada Jubi di Kantor DPR Papua, Rabu (23/11/2016).
Baca “Malu-malu kucing”, calon OAP untuk Presdir Freeport akhirnya tumbang
Menurut anggota Komisi I DPR Papua, komisi yang membidangi politik, pemerintahan, keamanan, hukum dan HAM itu, faktor kedua direkomendasikannya Chappy Hakim lantaran masalah keamanan. Para pemegang saham Freeport menilai Papua belum aman sehingga selama ini lebih cenderung memilih orang yang berasal dari kalangan militer menduduki posisi Presdir.
"Dalam kondisi seperti itu, peluang orang sipil sangat sulit. Terlebih orang asli Papua. Pemegang saham PTFI berpandanga, Papua daerah konflik. Saya rasa itu salah satu pertimbangan pemegang saham. Faktor keamanan. Hanya saja kita tak tahu siapa yang selama ini sering membuat situasi tak aman di sekitar area Freeport," ucapnya.
Katanya, pemilik saham PTFI tak peduli, apakah orang yang akan ditempatkan sebagai Presdir itu memiliki kemampuan atau tidak. Pemegang saham hanya ingin "lahan" uangnya tetap aman. Namun lanjut dia, ini juga menggambarkan pemilik saham Freeport belum percaya kepada Orang Asli Papua.
"Pesan saya kepada Orang Asli Papua, kedepan kalau mau duduk sebagai Presdir jangan dengan cara-cara yang tak pantas. Jangan sesama Orang Asli Papua saling jegal. Mengkotak-kotakan. Itu justru mempersulit mendapat posisi Presdir," katanya.
Dalam situasi seperti itu kata politisi Partai NasDem tersebut, Gubernur Papua dan Bupati Mimika serta masyarakat pemilik ulayat memegang peranan penting mendorong Orang Asli Papua untuk diajukan sebagai calon Presdir PTFI.
Baca Gubernur : Saya Sudah Kirim Dua Nama OAP Calon Presdir Freeport
"Gubernur Papua, Bupati Mimika serta pemilik ulayat harus duduk bersama membuka ruang. Siapa kira-kira Orang Asli Papua yang pantas diusulkan untuk memimpin Freeport. Hapus anggaran OAP tak mampu. Tak bisa dipungkiri, lebel ini masih ada. Tak hanya pada orang luar Papua, tapi diantara sesama orang asli Papua sendiri," imbuhnya.
Dikatakan, semua pihak harus bersatu. Duduk bersama dan saling mendukung. Ubah stigma tak mampu terlebih dahulu. Yang dijual adalah kemampuan. Tunjukkan kepada pihak lain dan para pemegang saham Feeport kalau OAP juga mampu.
"Jangan main kucing-kucingan lagi seperti lalu. Ketidak kompakan sesama OAP sendiri merupakan peluang untuk menghentikan OAP merebut posisi Presdir PTFI. Kejar posisi Presdir itu nomor dua. Pertama harus menghapus stigma OAP belum mampu memimpin Freeport atau bidang lainnya. Itu pesan saya," katanya.
Keinginan OAP untuk menempatkan OAP menduduki jabatan Presdir PTFI pertama kalinya akhirnya pupus. Perusahaan tambang emas asal Amerika itu lebih memilih menempatkan Chappy Hakim menggantikan posisi yang ditinggal mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Maroef Sjamsoeddin.
Kini posisi Chappy Hakim sebagai Presdir PTFI tinggal menunggu persetujuan pemilik saham. Meski ia belum resmi menduduki jabatan Presdir PTFI, namun surat Interoffice Memorandum dari President and Chief Executive Officer Freeport McMoran, Richard C. Adkerson yang bocor dan ditujukan kepada PTFI, Sabtu (19/11/2016) jelas mengumumkan akan ditunjuknya Chappy Hakim sebagai Presdir PTFI. Demikian juga konfirmasi dari Vice President (VP) Corporate Communications PTFI Riza Pratama kepada Jubi, Minggu (20/11/2016), menegaskan penunjukan Chappy hanya menunggu persetujuan para pemegang saham perusahaan yang berpusat di Arizona, AS ini.
Baca Tim Pemberdayaan Tujuh Suku Siapkan Calon Presdir Freeport
Keinginan OAP menempatkan wakilnya sebagai Presdir PTFI dianggap terlalu dini oleh Senior Advisor PTFI, Michael Manufandu. Mantan duta besar Indonesia untuk Kolombia ini mengatakan keinginan tersebut sah-sah saja namun harus dilihat lagi soal Sumber Daya Manusia (SDM) Papua, apakah cukup pantas untuk duduk dalam jabatan tersebut atau belum?
“Saya pribadi melihat SDM kita belum siap, namun itu belum final karena ada kebijakan dari pemerintah untuk jabatan tersebut,” kata Manufandu kala itu.
Katanya, penentuan dalam satu perusahaan selalu dilakukan oleh pemegang saham. Meskipun ada suara-suara yang mengatakan orang Papua adalah pemilik tanah yang bisa disebut sebagai saham, tetapi teknologi untuk mengambil tanah tersebut memerlukan biaya besar yang dikeluarkan oleh pemegang saham.
PTFI menurut Manufandu adalan sebuah perusahaan yang sangat modern dan tidak ada di dunia lain, sehingga harus memiliki seorang pemimpin yang mempunyai kemampuan manajerial tinggi, wawasan yang luas dan kemampuan untuk menggerakan resources yang ada.
Baca Michael Manufandu: SDM Papua Memadai untuk Jadi Presdir Freeport
Sementara itu Direktur Jenderal Mineral dan Batubara. Bambang Gatot Ariyono memaparkan dalam diskusi publik bertema Menimbang untung rugi perpanjangan izin tambang Freeport beberapa lalu di Jakarta sebagaimana dilansir detik.com mengatakan jikapemerintah melakukan perpanjangan perjanjian Kontrak Karya PT Freeport Indonesia, kerugiannya adalah sebagai berikut, pengendalian usaha tambang masih di pihak asing, terjadinya pencatatan investasi yang tidak transparan dan pengutamaan barang dan jasa dalam negeri. Menurut dia Kontrak Karya PT Freeport Indonesia (PTFI) akan berakhir pada 2021. Perusahaan tambang raksasa yang berbasis di Amerika Serikat ini terus berupaya melobi pemerintah agar memperpanjang kontraknya hingga tahun 2041.
"Kerugiannya itu pengendalian usaha tambang masih dipihak asing, sehingga operasional dikuasai oleh pihak asing dan dapat mempengaruhi aspek lain seperti keamanan dan sosial, kemudian dimungkinkan terjadinya pencatatan investasi dan pembiayaan lainnya yang tidak transparan dan tidak terkontrol dengan baik, pengutamaan barang dan jasa dalam negeri masih kurang diperhatikan oleh Freeport, hal ini tidak sejalan dengan Kontrak Karya Pasal 24 tentang Nawacita," jelas Bambang.
Sementara itu, kata dia apabila perjanjian Kontrak Karya ini dilanjutkan pemerintah, masih akan mendapat keuntungan. Keuntungannya sebagai berikut masih terdapat potensi keuntungan dari belanja negara, investasi, tidak terjadi PHK pada ribuan orang. Multiplier effect dan perekonomian dan pembangunan daerah berlanjut serta peningkatan keahlian Tenaga kerja Indonesia.
"Apabila KK ini dilanjutkan, pemerintah masih akan dapat keuntungan yaitu belanja barang dalam negeri sebesar US$ 1,2 M/tahun, Investasi sebesar US$ 1,4 M/tahun, 22.732 orang tidak di PHK, kegiatan operasi dan produksi berjalan sesuai peraturan, pengembangan usaha setempat bisa dilakukan, siklus perekonomian dan pembangunan daerah dapat dilakukan secara berkelanjutan, alih teknologi dapat dioptimalkan, dan peningkatan keahlian tenaga kerja Indonesia melalui program Indonesianisasi," kata Bambang.
Baca Penunjukan Chappy Hakim sebagai Presdir PTFI tunggu persetujuan pemegang saham
Selain itu, keuntungan perpanjangan kontrak Freeport ini dari aspek teknik antara lain,akan diproduksi 71 juta ton konsentrat (2021-2041)
potensi penerimaan negara sebesar US$ 3,77 miliar dan rehabilitasi lahan
"Keuntungan dari aspek teknik yaitu teroptimalkan potensi cadangan yang dapat ditambang, akan ada 71 juta ton konsentrat dari tahun 2021-2041, tidak tertundanya potensi penerimaan negara dari iuran produksi sebesar US$ 3,77 miliar, rehabilitasi (kegiatan reklamasi dan pasca tambang) akan berjalan secara kontinyu, tetapi kerugiannya apabila dilanjutkan tidak terjadi transfer knowledge secara optimal kepada tenaga lokal," ungkap Bambang.(*)