Kritikan Johann Baptist Metz atas peran Gereja dan upaya mengakhiri kekerasan kemanusiaan di Tanah Papua (1/2)

papua
Warga sipil yang mengungsi di Kabupaten Maybrat. - IST

Oleh: Pastor Bernardus Bofitwos Baru, OSA*

Siapa Johann Baptist Metz dan apa peran Gereja?

Read More

Johann Baptist Metz lahir pada tanggal 5 Agustus 1928 di Auerbach, Jerman, dan meninggal dunia 2 Desember 2019. Ia adalah seorang imam Katolik dari Serikat Yesus (SJ). Ia pernah masuk militer pada tahun 1944. Kemudian ia meninggalkan dunia militer, masuk pendidikan imam, dan ditahbiskan menjadi imam tahun 1954.

Ia kemudian menyelesaikan studinya, dan mengajar teologi fundamental di Universitas Münster, Jerman, hingga akhir hayatnya. Metz juga adalah seorang figure peletak dasar lahirnya teologi politik dan teologi pembebasan.

Pada bulan Oktober, baik Gereja Katolik, maupun Kristen Protestan, khususnya Gereja Kristen Indonesia di Tanah Papua (GKI) merayakan hari masuknya Injil atau Pekabaran Injil ke Tanah Papua di tiap wilayah.

Misalnya, perayaan jubileum 70 tahun Teofani di wilayah A-3 (Ayamaru, Aitinyu, dan Aifat), 21 Oktober, 26 Oktober HUT GKI di Tanah Papua, 27 Oktober hari masuknya Injil ke tanah Moi, dan 28 Oktober 2021 ditahbiskan atau diberkatinya gedung gereja baru Paroki St.Benediktus Abas di Fef, ibu kota Kabupaten Tambrauw.

Perayaan-perayaan ini pada hakikatnya adalah ungkapan syukur dan kegembiraan atas kehadiran Gereja secara spiritual, sekaligus institusi di tanah Papua. Demikian pula perayaan tersebut sebagai memori atas makna sejarah kehadiran Gereja di Tanah Papua.

Namun, tersimpan sejumlah pertanyaan, apakah Gereja sudah sungguh-sungguh memainkan perannya sebagai pembawa kabar gembira kepada umatnya? Sejauh mana Gereja secara institusi aktif menyelesaikan konflik politik ideologi yang bermuara pada kekerasan bersenjata yang terus berkecamuk di Bumi Cenderawasih ini? Apakah para pemimpinnya sudah bersuara lantang tentang kekerasan bersenjata yang terus berdesiran di Tanah Papua ini?

Sesuai hakikatnya, Gereja berada di dunia ini sebagai tanda dan sarana, yaitu sakramen Allah kepada dunia (sacramentum mundi). Gereja sebagai wajah Allah yang nyata di dunia ini.

Karena itu, Gereja berada dan hidup di dunia ini tidak untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk sesama dan alam raya (micro dan macro cosmos). Keberadaan Gereja harus mampu berperan sebagai tanda dan sarana keselamatan Allah kepada manusia dan alam raya. Gereja tidak mencari keselamatan dirinya sendiri, tetapi sebagai mediator keselamatan Allah kepada dunia (manusia dan makhluk ciptaan yang lainnya).

Oleh sebab itu, Gereja harus berperan aktif di dunia ini, aktif mewujudkan proyek keselamatan Allah kepada dunia. Maka Gereja harus mengambil peran yang lebih signifikan guna mengupayakan terwujudnya perdamaian, keadilan, kesatuan dan keutuhan ciptaan dalam hidup bersama di planet yang satu dan sama ini (the common home).

Secara khusus Gereja harus proaktif dalam memerangi ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh sistem (politik-ekonomi-agama-budaya) yang lebih kuat dan berkuasa untuk menindas mereka yang lemah dan tak berdaya.

Peran utama Gereja adalah sebagai pembawa damai dan penegak keadilan, serta kebenaran. Gereja tidak boleh membisu—bungkam ketika berhadapan dengan kenyataan di mana terdapat penderitaan dan penindasan, di mana terjadi praktik ketidakadilan dan perampasan atas hak-hak dasar kaum lemah.

Tugas Gereja adalah harus bersuara untuk mereka yang tak bersuara (the voice of voiceless). Tugas Gereja adalah harus menjadi promotor keadilan, kebenaran, dan perdamaian.

Para pemimpin Gereja harus lebih proaktif terlibat memperjuangkan keadilan, kebenaran dan perdamaian, bukanya diam membisu dan menghindari persoalan hidup umatnya, mencari kenyamanan diri di tembok-tembok gedung mewah.

Maka pada pokok artikel ini lebih difokuskan pada kritikan atas sikap Gereja saat ini yang kurang berperan aktif memperjuangkan persoalan atau krisis kemanusiaan yang melanda dunia, khususna di Tanah Papua. Kritikan Metz sangat relevan bagi Gereja-Gereja di Tanah Papua yang sedang menghadapi persoalan/konflik/kekerasan bersenjata .

Saat ini, umat sangat mengharapkan agar semua Gereja (gereja secara institusi) di Tanah Papua proaktif memainkan perannya. Gereja harus proaktif mencari solusi terbaik untuk mengakhiri konflik bersenjata di tanah ini.

Kurang lebih 58 tahun konflik politik ideologi antara orang asli Papua (OAP) dan Pemerintah Indonesia berlangsung. Konflik ini memicu lahirnya kekerasan bersenjata di Tanah Papua hingga hari ini.

Kekerasan ini telah memakan ribuan bahkan jutaan nyawa manusia yang tak bersalah, baik masyarakat sipil dan TNI-Polri, maupun TPNPB-OPM. Oleh karena itu, sangat diharapkan agar Gereja institusi (hierarki atau pemimpinnya) yang ada di Tanah Papua mengambil peran aktif untuk mencari solusi damai, sehingga konflik kemanusiaan dapat diakhiri.

Kritik atas sikap Gereja saat ini

“Dalam panorama postmodern saat ini semua Gereja dilihat sebagai pohon pribadi yang dirawat dan jaganya. Dari apa ia memperoleh kekuatannya? “ (Metz, Memoria Passionis 2009: 73). Penegasan Metz ini tentang krisis yang dihadapi oleh Gereja di Eropa-Amerika, dimana, hampir sebagian besar umat “tidak simpati” lagi dengan Gereja dan ajarannya.

Mengapa mereka tidak bersimpati dengan Gereja dan ajarannya? Apa penyebabnya? Salah seorang filsuf besar yang pernah menegaskan bahwa Tuhan sudah mati (God is dead) adalah Friedrich Nietzsche. Mengapa ia membuat pernyataan tsersebut? Apa sebenarnya yang mau dikatakannya dengan ide “Tuhan mati”?

Lahirnya sikap tidak percaya umat terhadap otoritas Gereja dan formulasi Nietzsche tentang “Tuhan mati” adalah krisis yang dialami oleh Gereja secara institusi dan gereja sebagai umat Allah. Menurut Metz persoalan ini adalah krisis yang melanda semua umat Kristen, tidak hanya umat Kristen Eropa-Amerika saja, tetapi juga umat Kristen di seluruh dunia.

Bagi Metz, krisis yang melanda Gereja pada abad ke-21 adalah krisis identitas Gereja (identitas sebagai umat Allah), karena Gereja kehilangan visi dan misinya di dunia ini sebagaimana diultimatumkan oleh Yesus. Menurut Metz, bila Gereja tidak mampu mewujudnyatakan tugas perutusannya di dunia ini sebagaimana diberikan oleh Yesus, yaitu misi pembebasan manusia dari segala belenggu penindasan politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya, maka Gereja akan kehilangan “kepercayaan” dan “diingkari” umatnya.

Gereja harus hadir secara nyata melalui upaya-upaya konkret yang membawa perubahan dan kemajuan bagi hidup manusia, baik di bidang sosial-politik, ekonomi, agama dan budaya, maupun aspek spiritualitasnya. Gereja harus terlibat secara langsung dalam realitas kehidupan umatnya—yang diliputi atau diselimuti oleh berbagai persoalan: kemiskinan, politik penindasan dan ketidakadilan, perbedaan kelas di dalam kehidupan sosial, dll.

Tugas Gereja bukan hanya “berkhotbah” atau berteori saja di mimbar, dan pengajaran dogma abstrak, tetapi lebih dari itu, Gereja harus terjun ke tengah-tengah jemaat yang hidup dalam kemiskinan, penindasan, dan penganiayaan.

Dalam bahasa Paus Fransiskus, Gereja harus keluar dari dirinya dan pergi ke periferia (pinggiran kota). Artinya, Gereja melalui para pemimpinya harus keluar dari zona nyaman, terjun untuk memperjuangkan hak-hak dasar masyarakat kecil, lemah dan tak berdaya.

Hakikat Gereja berada di dunia ini bukan sibuk mengurusi kebutuhan dirinya sendiri, melainkan harus keluar dari dirinya sendiri, bukan sibuk mengurusi persoalan dunia (umat manusia dan alam semesta). Karena itu, Gereja “diutus” (missio) ke luar, ke luar dari rasa aman, rasa “enak” di kantor, biara, pastoran, dan di gedung gereja luks (mewah), tetapi harus terjun ke dalam realitas problematik umat manusia.

Bagian 2: Kritikan Johann Baptist Metz atas peran Gereja dan upaya mengakhiri kekerasan kemanusiaan di Tanah Papua 

Para pemimpin Gereja (paus, uskup, kardinal, imam, pendeta, diakon, biarawan/ti, katekis, guru jemaat), harus “berani” ke luar dari tembok-tembok yang membuatnya merasa “nyaman”, sehingga “tidak mau” atau “tidak berani” ke luar untuk bertemu dan berada di tengah-tengah umat yang sedang menangis dan bingung dengan masa depannya, umat yang sedang kehilangan jati dirinya dan terancam nyawanya. Di sanalah tempatnya, di sanalah eksistensi Gereja menjadi berarti bagi dunia, manusia, dan alam.

Misi Gereja menurut Dokumen Konsili Vatikan II, yang dituangkan dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dalam dunia dewasa ini (Gaudium et Spes) menegaskan, bahwa Gereja harus mampu membaca tanda-tanda zaman dan mengartikannya dalam terang pewahyuan Allah di dalam diri manusia Yesus.

Dalam bukunya, Mistica Degli Occhi Aperti per una Spiritualità Concreta e Responsabile 2013 (Mistik dengan Mata Terbuka, Suatu Spiritualitas Nyata dan Bertanggung jawab), Metz menegaskan bahwa hidup religius atau hidup membiara bukan suatu hidup yang “menutup mata hati” terhadap realitas manusia yang terjadi di sekitar biara (convento) atau di sekitar keuskupan, melainkan suatu hidup yang harus “membuka mata hati dan budi” terhadap berbagai persoalan yang sedang terjadi dalam kehidupan masyarakat di sekitar kita, dan turut mengambil bagian, serta secara aktif berpartisipasi mencari solusinya.

Hidup membiara atau hidup religius bukan hidup untuk mengurung atau menyembunyikan diri di balik tembok egoisme dan kepentingan diri sendiri (kepentingan ordo atau kongregasinya sendiri atau wilayah keuskupannya sendiri).

Model hidup Gereja perdana (jemaat perdana), dilandasi oleh semangat solidaritas tinggi, saling membantu dan membagi hak milik serta suka dan duka (Kis 2: 42-47), bukan Gereja yang mengurung diri di dalam kepentingan dirinya sendiri. Semangat hidup Gereja perdana bersifat otonom, tetapi saling merasakan ketergantungan dan keterikatan satu sama lain, dan saling keterkaitan tetapi bukan Gereja yang “terpusat” (sentralisasi), dan mendominasi serta menggeserkan mereka yang lemah.

Keberadaan Gereja seharusnya membuka mata budi dan mata hati terhadap sesama yang menderita, bukan Gereja yang menutup mata hati dan telinga terhadap sesama yang sedang dililit berbagai persoalan hidup.

Karena itu, Metz menegaskan, “iman kita kepada Allah bukanlah iman yang menutup mata hati dan budi kita, melainkan iman yang membuat kita mampu membuka mati hati dan mata budi kita terbuka melihat realitas sesama kita yang ada di sekitar kita, yang sedang bergulat dengan berbagai persoalan hidupnya. Iman yang memampukan kita saling memandang wajah dengan wajah atau “face to face” (Metz, Mistica degli Occhi Aperti 2013: .92).

Gereja harus mampu melihat, merasakan, mengalami dan terlibat secara langsung ke dalam situasi umatnya, dan bersama mereka mencari jalan keluar atau solusi atas berbagai persoalan yang sedang mereka hadapi. Para pemimpin Gereja dan tokoh-tokohnya harus berinisiatif mengambil peran terdepan guna mencari solusi atas persoalan-persoalan nyata yang dialami manusia pada zaman ini, khususnya di sekitar kita, tidak mengambil jarak, menghindar, atau lari dari kenyataan ini (bdk. Pernyataan Paus Fransiskus tentang 15 Dosa Curia Romana).

Gereja bukan institusi moral sentimentil yang suka menilai perbuatan umatnya dan memvonisnya, tetapi Gereja adalah tempat di mana umat menemukan harapan (hope) melalui Sabda Tuhan. Gereja bukan juga tempat institusi politik kekuasaan, melainkan Gereja adalah sakramen dunia (sacramentum mundi).

Melalui Gereja umat manusia berjumpa dengan wajah Tuhan Yesus di dalam diri sesama, khususnya yang lemah, miskin, tak berdaya, sakit dan yang tersingkirkan. Orang-orang miskin dan tertindas adalah “sakramen” kehadiran Allah yang tak terlihat (tak kelihatan) di hadapan kita. Bersambung. (*)

*Penulis adalah Direktur SKPKC-OSA, tinggal di Biara Tagaste, Sorong, Papua Barat

Editor: Timoteus Marten

Related posts

Leave a Reply