Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Johan Djamanmona
Dalam catatannya Asmara Nababan (1999) mengatakan bahwa ketika rasa takut berkurang atau menghilang, maka yang muncul ke permukaan adalah rasa benci dan dendam, serta hilangnya kepercayaan kepada pemerintah. Sebenarnya bahkan semua warga tanpa disadari selama puluhan tahun hak asasinya tidak dihormati. Hak-hak yang dilanggar menyangkut hak-hak sipil dan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Keadaan demikian itu telah menimbulkan keragu-raguan apakah benar seseorang itu punya hak asasi, bahkan orang tidak tahu bahwa ia mempunyai hak asasi yang tidak dapat dikurangi atau dihapuskan.
Tujuan pengesahan konvensi internasional hingga pembuatan undang-undang yang bertujuan untuk perlindungan terhadap HAM secara retorik menunjukkan niat yang baik dari pemerintah tetapi bersifat paradoks dengan kenyataannya. Niat dari perlindungan tersebut tidak terlaksana—pelanggaran terhadap HAM terus terjadi, bagai aliran sungai yang terus mengalir tanpa perubahan kondisi. Pelanggaran tanpa penyelesaian terus dilakukan oleh pemerintah lewat aparat sipil dan militer seperti bagian berikut:
Jeritan derita dari Amungsa
Dalam buku Perjuangan suku Amungme juga menyatakan bahwa hingga 1999 suku Amungme dan Kamoro telah kehilangan lahan seluas 2,6 juta hektare untuk wilayah eksplorasi perusahaan asal Amerika Serikat, yang adalah gabungan dari beberapa anak perusahaan. Juga disebutkan dalam buku yang sama bahwa aneksasi yang paling parah terjadi ketika berpindah tangannya satu juta hektare lahan untuk para pendatang yang didatangkan dari luar Papua lewat program transmigrasi.
Kini suku Amungme hanya tinggal meratapi gunung suci Ngga Pulu (puncak Cartenz) yang dijaga nenek moyang mereka, yang ditelanjangi dan dibongkar demi investasi yang dilakukan dengan dasar UUD 1945 Pasal 33 ayat (3). Eksplorasi yang dlakukan oleh PT Freeport kalau dilihat sebenarnya ilegal, karena saat penetapan eksplorasi di Jakarta tidak ada perwakilan suku Amungme yang dihadirkan dalam perundingan antara pemerintah dan pihak Freeport.
Selain itu, penentuan pendapat rakyat (Pepera) yang menjadi dasar bahwa orang Papua secara sah diakui sebagai bagian dari NKRI baru dilakukan pada 1969. Sebelumnya wilayah Papua memiliki status quo (tidak berpemerintahan). Namun pada 1967 sudah dibuat KK (kontrak karya) oleh rezim Orde Baru yang dibantu Amerika untuk mengkudeta presiden pertama Indonesia dan kebijakan KK itu paten berlaku hingga kini.
Rakyat Nduga yang mengungsi
Pada 2016 Presiden Jokowi mengunjungi Kabupaten Nduga. Dua tahun kemudian terjadi tragedi. Sejak 2018 hingga 2020 rakyat sipil mengungsi. Hal tersebut terjadi karena diduga ada rencana investasi dengan dalih demi kepentingan pembangunan.
Sudah ada korban jiwa dari peristiwa ini. Bahkan di antara korban jiwa ada juga anak-anak. Rakyat sipil di Nduga harus mengungsi meninggalkan kampung-kampung mereka akibat merasa tidak aman di wilayah mereka sendiri akibat kehadiran aparat militer, yang bukan hadir sebagai pemberi rasa amanm, tetapi menjadi momok bagi keamanan warga sipil yang merasa tertekan secara psikis.
Wakil Bupati Nduga yang menyatakan pengunduran diri dengan menggunakan pengeras suara di depan rakyatnya, karena sopirnya yang mati tertembak tidak diperhatikan oleh negara sebagai persoalan yang sudah seharusnya diperhatikan.
Penembakan terhadap aparat militer dan pekerja non-Papua adalah akibat dari penolakan yang dilakukan oleh para tentara OPM yang memang tidak ingin sumber daya alam di Tanah Papua diambil hanya untuk investasi, sedangkan rakyat Papua menderita di atas tanahnya sendiri.
Jadi, pemerintah yang harus lebih sadar dalam menanggapi persoalan Papua, bukan menjadi konservatif dengan membangun isu bahwa apa yang terjadi adalah ulah kelompok separatis ataupun GPK, sehingga tentara OPM dan TPNPB yang mayoritasnya orang Papua disalahkan.
Marga Kami’ menolak lalu ditangkap
Pemerintah selalu seenaknya saja mencaplok hak ulayat dari masyarakat adat untuk dijadikan lahan investasi, padahal mereka tahu bahwa masyarakat Papua adalah satuan masyarakat hukum adat yang secara sah sebagaimana dalam UU 1945 pasal 18B menyatakan, bahwa pemerintah mengakui daerah yang bersifat khusus dan menghormati satuan masyarakat hukum adat.
Pada 2017 Pemerintah Kabupaten Sorong mengeluarkan kebijakan untuk menetapkan 500, 23 hektare tanah milik marga Kami’—salah satu marga asli suku Moi yang mendiami wilayah Kabupaten Sorong. Hak ulayat mereka ditetapkan sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) yang direncanakan akan menyerap tenaga kerja sekitar 15.000-an orang dengan enam anak perusahaan besar yang akan berinvestasi. Satu diantaranya yang sudah beroperasi, yakni PT Semen Tonasa.
Baru satu perusahaan yang sudah mulai beroperasi tapi dampaknya sudah sangat dirasakan. Laut yang menjadi tempat mencari bagi para nelayan sudah mulai terganggu, sehingga ikan dan udang teri (bahan dasar terasi) yang menjadi mata pencaharian masyarakat sudah berkurang secara perlahan.
Selain itu, salah satu pangkalan marinir sudah dibangun, entah untuk menjaga keamanan atau untuk menjaga proyek negara yang akan dijalankan. Kalau untuk keamanan sangat tidak mungkin, karena daerah tersebut bukan daerah rawan konflik ataupun daerah perbatasan tetapi dengan adanya KEK maka pangkalan militer harus dibangun.
Pada tahun 2017 marga Kami’ menuntut ganti rugi atas 170 hektare tanah yang sudah diambil untuk lahan KEK, dan menolak pembangunan wilayah KEK di keseluruhan tanah mereka yang tersisa 330,23 hektare, karena anak cucu mereka ke depannya akan kesusahan untuk mencari tempat tinggal yang sudah habis dibangun perusahaan.
Tapi karena tuntutan ini mereka yang ikut dalam aksi penolakan tersebut (termasuk perempuan dan anak) ditangkap lalu dibawa ke pos polisi atas komando bupati. Setelah itu mereka dipulangkan lagi tanpa alasan, padahal marga Kami’ hanya meminta apa yang menjadi hak milik mereka. Walaupun dikuasai oleh negara tapi tidak bisa mengesampingkan masyarakat adat yang sudah ada sebelum negara ada.
Diamanatkan tapi dilangkahi
Dengan alasan menentang kebijakan negara mereka akan dikriminalisasi. Entah kebijakan negara itu untuk siapa, tetapi itulah alasan lazim yang sering digunakan oleh pemerintah (aparat sipil dan militer) untuk mengkriminalisasi rakyat. Sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28i mengamanatkan setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.
Jika terjadi perlakuan yang demikian, maka akan melanggar ayat selanjutnya dalam UU tersebut yang mengatakan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. Seperti kata Soekarno dan Soepomo dalam sidang BPUPKI/PPKI bahwa negara justru akan melindungi warga negaranya. Argumen tersebut dikatakan pada saat menentang argumen Hatta dan Yamin yang ingin memasukkan pengakuan dan perlindungan HAM secara tegas dalam UUD 1945. (*)
Penulis adalah volunteer di LBH Kaki Abu
Editor: Timoteus Marten