Kriminalisasi Kebebasan Demokrasi, Suatu Bentuk Kejahatan Kemanusiaan di Papua

Rasisme Diskriminasi Papua
Foto ilustrasi. - pixabay.com

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Sebuah refleksi atas potret kebebasan demokrasi di Papua

Oleh: Sebedeus Giyaikoto Mote*

Read More

Kriminalisasi kebebasan demokrasi adalah bentuk kejahatan kemanusiaan yang dipraktekkan oleh Negara Indonesia sampai saat ini. Niat ini muncul dan terlintas di dalam pikiran negara, karena bertumbuh bersama naluri tidak manusiawi dalam tubuh negara sendiri.

Tujuan mengkriminalisasikan kebebasan demokrasi oleh Indonesia serasa ialah meredam aspirasi kemanusiaan dalam hal menegakkan martabat manusia. Bangsa Indonesia yang beragam dengan berbagai latar belakang budaya seharusnya menghormati hak-hak dasar masyarakat pribumi. Bangsa yang besar seharusnya juga menghargai pejuang-pejuang demokrasi.

Akan tetapi, kian sering kita melihat negara melalui aparaturnya merepresi pergerakan kebebasan berekpresi. Kebebasan berekspresi di semua aspek selalu dinilai kriminal.

Negara ini banyak mencetuskan hukum dan pasal-pasal untuk mengekang dan menakut-nakuti rakyat. Jika dibiarkan, bangsa Indonesia ini sedang menuju kepunahan pemikiran akal sehat. Aparatur negara terlalu gampang mengkriminalisasikan orang asli Papua, tanpa memperhatikan masa lalu, masa kini, dan masa akan datang Indonesia di hadapan bangsa yang lain di dunia.

Sistem “demokrasi” yang dipraktikkan Indonesia justru menjadi sumber permasalahan. “Demokrasi” ala aparatus negara, dan khususnya di Papua, lebih memberikan kesempatan kepada pemilik modal, dan para kapitalis. “Demokrasi” itu tidak memberikan kesempatan kepada orang Papua.

Baca juga: Memungkinkan Pikiran Allah Melalui Kasih di Papua

Karena tidak sesuai keinginannya, rakyat Papua terus berbicara, berekspresi. Akan tetapi, Indonesia tetap menangkap, memborgol, lalu memasukkan orang Papua ke dalam penjara, karena di mata Indonesia ekspresi orang Papua itu sebuah perlawanan.

Indonesia menjadi negara yang menjunjung tinggi ekonomi dan mengabaikan nilai kemanusiaan, sungguh ngeri Indonesia. Keberadaan Indonesia untuk Papua saat ini tidak mengutamakan persamaan hak dan kewajiban. Keberadaan Indonesia untuk Papua juga tidak menciptakan  perlakuan yang sama sebagai bagian dari warga negaranya sendiri.

Orang Papua pada dasarnya hidup dalam kebebasan, damai, dan tidak pernah mengganggu bangsa lain. Nilai yang mengutamakan hidup yang bebas dan damai itu terlihat jelas seperti alam Papua sendiri. Indonesia datang dengan caranya sendiri, merobohkan, mematahkan, menghancurkan, mengkotak-kotakkan, termasuk mengkriminalisasikan orang Papua.

Semua ini dilakukan untuk merampas, mencuri, memperkosa, mencederai, mengikis, mempersempitkan, dan menggiring orang Papua menuju suatu hidup yang tidak dibayangkan oleh manusia Papua. Sadar atau tidak, bangsa Papua kini menuju kepunahan. Itu adalah jalan bagi Indonesia untuk menguasai Tanah Papua.

Setiap manusia pada dasarnya memiliki kebebasan manusiawi. Dalam hal ini, Negara Indonesia kurang cermat menyikapi  dan memetakan mana kebebasan manusiawi yang masuk di akal sehat, dan mana “kebebasan” yang tidak sehat. Kebebasan berekpresi yang disampaikan orang asli Papua dinilai Indonesia sebagai upaya menghancurkan negara. Kalau dimengerti secara akal sehat, orang asli Papua itu sebenarnya mempertanggungjawabkan kesadarannya sebagai manusia.

Baca juga: Tanah Kami, Mama Kami – Perspektif Teologis tentang Sumber Kehidupan Orang Papua

Indonesia yang selalu dan mencari cara atau teknis tertentu untuk mengkriminalisasikan kebebasan itu. Aparatus Indonesia tidak sadar akan kemanusiaannya sendiri. Ketika manusia itu lupa diri, disitulah muncul cara mengambil kebijakan atau musyawarah yang tidak tepat dan akurat, sadar setelah diberitahu oleh pihak lain, begitu juga sebaliknya.

Ketidakpedulian Indonesia atas kebebasan demokrasi di Papua juga menambah konflik. Menyepelehkan semua bentuk perjuangan kemanusiaan adalah pengabaian terhadap nilai bentuk hidup bersama sebagai satu bangsa. Persis disinilah muncul pertanyaan, dimanakah letak atau cara menghargai kebebasan demokrasi sebagai manusia?

Jika tidak sadar sebagai manusia, yang pada dasarnya memiliki kebebasan dalam diri, bahaya untuk bangsa ini, ada di depan mata. Kebebasan berdemokrasi manusia Papua dipinggirkan oleh Indonesia, seolah kebebasan itu tidak berharga di mata Pencipta kebebasan “Allah”. Bahkan, kebebasan itu dikriminalisasi. Hal itu persis melawan Allah.

Indonesia sudah bukan sebuah negara yang menjamin harkat dan martabat manusia. Rakyat Papua bertanya, kalau demikian apa yang Allah mau bagi kami, bangsa Papua masa kini? Manusia melawan manusia sedang terjadi atas kebebasanNya. Negara Indonesia, letak kemanusianmu ada dimana?

Banyak tahanan politik di penjara, misalnya dalam kasus rasisme yang terjadi tahun lalu, mengalami kriminalisasi yang hingga hingga kini belum selesai, dan sedang terjadi.  Hal ini mau menunjukan bahwa Indonesia tidak bisa menghargai kebebasan, dan tidak bisa mencari solusi yang tepat. Indonesia bahkan mengenakan pasal makar, demi membungkam isu-isu kemanusiaan yang terus-menerus dicederai oleh Indonesia.

Baca juga: Omnibus Law menghancurkan Papua

Maaf Indonesia, ini adalah saatnya kembali merefleksi kebebasan demokrasi  yang ada di Indonesia. Kebebasan demokrasi dalam penerapannya di Indonesia tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan, kebenaran, dan juga Hak Asasi Manusia yang mestinya dijunjung tinggi.

Ada berbagai produk hukum Indonesia yang dilahirkan untuk mempertahankan kekuasaannya, dengan mengabaikan kebebasan  demokrasi yang sejati, dan mengabaikan kebebasan berpendapat. Berbagai aturan hukum Indonesia mengabaikan tuntutan dan hak penentuan nasib sendiri, serta mengabaikan hakikat dasar martabat manusia, dan kesemuanya itu dilakukan untuk penyelamatan negara (Bobii, Selpius; seri WSC II, Politik, Hukum, HAM, dan Demokrasi: 2012).

Kebebasan demokrasi itu seharusnya tidak diganggu oleh siapa pun, entah kekutan militer yakni TNI/POLRI. Para tahanan politik Papua yang ada, seharusnya dibebaskan tanpa syarat. Mereka melakukan kebebasan demonstrasi damai, apa lagi menyuarakan ujaran rasisme.

Di Indonesia, demonstrasi dijadikan kriminal, karena negara mengganggapnya sebagai ancaman. Sungguh, negara memangsa rakyat Papua dengan tidak memperhitungkan hakikat dasar sebagai manusia.

Indonesia mengenakan pasal makar terhadap para mahasiswa dan aktivis politik Papua yang memprotes tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Salah satu tahanan politik itu, Yakobus  Uropmabin mengatakan rasisme adalah tindakan yang ditolak di seluruh dunia. Akan tetapi, di Indonesia, tindakan para aktivis melawan rasisme justru diperhadapkan dengan hukum, dan dijadikan tersangka makar. ( Jubi, Hengky Yeimo, 11/11/2019).

Baca juga: Merawat Ingatan atas Tragedi Wamena 6 Oktober 2000

Sungguh ngeri bangsa Indonesia, akibat dari sikap hidup kekanak-kanakan, akal sehat pun terganggu, dan hukum pun dijadikan rasis, demi melayani kepentingan penguasa Indonesia. Akibatnya, hukum gagal memberi keadilan hukum kepada orang Papua yang menjadi korban. Orang Papua dianggap tidak pantas dibela hak-hak kebebasannya sebagai manusia. Hukum akhirnya hanyalah sebuah sarana membunuh akal sehat manusia Papua ( Victor Yeimo dalam SuaraPapua.com, diakses pada 18 Agustus 2020).

Penerus bangsa Indonesia masa kini terus mencederai bangsa Indonesia, tidak memperhitungkan karya baik para pendahulu. Salah satu contohnya adalah mengkriminalisasikan kebebasan demokrasi, tanpa memperhitungkan karya termasyur para pendahulu bangsa.

Indonesia selalu punya satu ketakutan, yakni keraguan akan nilai kebebasan demokrasi untuk Papua. Indonesia  juga membatasi penerbitan buku-buku menyangkut Papua, tetapi memperbolehkan buku-buku yang mendukung Indonesia untuk berkembang ke arah yang diimpikan oleh Indonesia.

Bukankah Indonesia saat ini memajukan pendidikan humanis dan kebebasan demokrasi? Kalau memang demikian bebaskanlah kebebasan demokrasi itu tanpa bersyarat. Kalau tidak demikian, pengekangan demokrasi itu akhirnya menjadi bentuk kejahatan kemanusiaan.

Kita tak boleh diam atas keputusan yang tidak manusiawi. Kebiadaan negara wajib kita robohkan. Indonesia bahkan tidak memberikan senyuman dan harapan untuk melihat dunia yang lebih baik dari Indonesia untuk Papua.

Setiap keputusan negara perlu direvisi kembali. Sekali lagi, stop mengkriminalisasikan kebebasan berdemokrasi dan kemanusiaan di Papua. Seandainya hal itu terus dilakukan, lebih baik negara Indonesia membuka pendidikan akal sehat.

* Penulis adalah Mahasiswa STFT “Fajar Timur”

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply