Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Hari Suroto
Pesan tidak terduga tiba-tiba muncul di instagram. Pesan singkat dari Tantowi Yahya, penyanyi country sekaligus duta besar Indonesia untuk Selandia Baru. Pesan ini tidak jauh-jauh dari urusan kopi. Beliau adalah penyuka kopi.
Dalam pesan singkatnya itu beliau bercerita bahwa Juni nanti akan ada Pacific Exposition 2019 di Auckland. Event ini akan diikuti 20 negara di Pasifik Selatan dan akan dihadiri sekitar 10.000 pengunjung.
Dalam pameran tersebut, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Selandia Baru akan memamerkan kopi dari Indonesia timur. Dalam pikiran saya, kopi apa yang dari Papua yang bisa dipamerkan di acara tersebut?
Setelah itu saya berdiskusi dengan komunitas kopi Papua melalui whatsapp, dan mereka siap bantu untuk menyukseskan event tersebut.
Kebetulan di siang harinya ada beberapa mahasiswa antropologi Universitas Cenderawasih yang datang konsultasi nilai ujian semester lalu.
Mereka bercerita bahwa di kampungnya, Jayawijaya, orang tuanya adalah petani kopi. Jadi, klop sudah. Jalan sudah terbuka, solusi di depan mata.
Jadi kopi-kopi apa yang terkenal dari Papua? Jika buka aplikasi penjualan online, kopi yang muncul adalah kopi Baliem, kopi Kiwirok, kopi Moanemani, dan kopi Amungme.
Kelebihan kopi Papua adalah ditanam secara organik oleh petani tradisional di kampung-kampung. Sebagian besar kopi ini ditanam dalam lahan pekarangan rumah atau di kebun yang tidak begitu luas.
Varietas kopi yang ditanam di Papua sebagian besar adalah Arabika, tidak ada yang Robusta.
Kopi-kopi Papua kualitasnya sudah tidak diragukan lagi, permintaan pasar sangat besar namun kuantitas produksi kurang. Hal ini terjadi karena kopi hanya dihasilkan oleh petani-petani dengan lahan yang tidak luas.
Kopi-kopi ini kadang ditanam di lahan yang sulit seperti lereng pegunungan, yang hanya bisa dijangkau dengan jalan kaki, atau ditanam di tengah hutan, sehingga akan kesulitan akan membawa hasil panennya. Selain itu juga mahal di ongkos angkutnya.
Misalnya saja kopi Amungme, untuk mengangkutnya ke Timika harus menggunakan helikopter, sewa per jam 3.000 US Dollar. Agar efisien maka sekali terbang, helikopter langsung mengambil kopi di kampung yang berbeda kemudian dibawa ke Timika.
Di tengah trennya kopi Papua, produksi kopi Papua dari tahun ke tahun peningkatannya sangat sedikit, pesanan kopi Papua dari luar tak dapat disanggupi oleh petani.
Petani lokal selama ini tak mendapatkan bimbingan atau pelatihan apapun tentang kopi, mereka hanya mengandalkan keterampilan turun-temurun.
Petani tradisional Papua tidak paham dan tidak mengerti, berapa hektare atau berapa pohon yang harus mereka kelola hingga bisa menghasilkan uang, untuk menambah penghasilan hidup bagi keluarganya.
Kopi Papua berbuah tak mengenal waktu musim hujan ataupun musim kemarau. Petani di kampung dalam setahun hanya bisa panen kopi sebanyak dua kali. Satu pohon kopi biasanya menghasilkan 1 kilogram biji kopi basah.
Bimbingan bagi petani kopi tradisional Papua, bisa dilakukan dengan studi banding di perkebunan kopi yang lebih besar di Indonesia bagian barat, atau untuk lebih hematnya dengan cara meminjamkan dua petani andalan dari setiap distrik untuk diajari keterampilan mengelola kebun kopi. Nantinya, petani yang dilatih dapat mengajarkannya ke petani lain di kampungnya.
Selama ini kendala kopi Papua kurang populer di Jayapura, yaitu kurangnya informasi soal penanaman, perawatan, dan panen yang baik hingga manajemen pengelolaan kepada petani kopi tradisional Papua, selain itu pemasaran di Jayapura dan daerah Papua lainnya kurang, belum adanya pengolahan kopi milik petani sendiri atau kelompok tani, kemudian infrastruktur jalan atau jembatan antar kampung penghasil kopi di Papuabelum terhubung, serta faktor permodalan. (*)
Penulis adalah peneliti di Balai Arkeologi Papua
Editor: Timo Marthen