Papua No. 1 News Portal | Jubi
Nabire, Jubi – “Perang” menyangkut status dan situasi West Papua tak hanya terjadi di pedalaman hutan Pegunungan Tengah Tanah Papua. Perang wacana menyangkut status dan situasi West Papua juga secara daring atau online di berbagai platform media sosial. Menariknya, kontra propaganda isu kemerdekaan West Papua itu menggunakan pola baru, termasuk dalam usaha mereka menyasar pengguna media sosial di Belanda dan Jerman.
Agustus lalu, Profesor David Robie tak habis pikir kenapa unggahan beritanya terkait isu West Papua, dengan ilustrasi foto salah seorang peserta demonstrasi mengenakan koteka, dicabut secara sepihak oleh Facebook. Professor Robie adalah Direktur AUT Pacific Media Centre dan editor Pacific Journalism Review (PJR).
Ia sempat memrotes Facebook karena telah menyensor foto yang jadi bagian isi berita terkait kebebasan media West Papua. Berita yang dimaksud menyoroti peningkatan perhatian terhadap kebebasan media di Melanesia yang dipublikasikan oleh International Federation of Journalists (IFJ) dalam Pacific Journalism Review pada edisi terbaru mereka.
Baca juga: Foto terkait West Papua disensor, Pasific Media Centre protes Facebook
Profesor Robie awalnya menuding facebook telah menerapkan “tirani algoritma” dalam kebijakan “laporan komunitas” mereka. Dua surat protesnya, bersama protes-protes dari kelompok pengadvokasi kebebasan pers seperti Reporters Without Borders (RSF) dan International Federation of Journalists (IFJ) lama diabaikan tanpa respon.
IFJ menyebut tindakan penyensoran Facebook ini sebuah “ironi yang jahat”. “Sebagai sebuah organisasi kebebasan pers, IFJ sangat mengutuk pencabutan unggahan ini atas dasar alasan yang kejam. Tindakan itu sama saja dengan penyensoran.”
Ia menambahkan, West Papua memang berada di bawah bayang-bayang blokade media internet. Akses ke wilayah Papua sangat dibatasi, sehingga salah satu dari sedikit cara membuat informasi Papua bisa diketahui publik adalah melalui media sosial.
Baca juga: Facebok sensor artikel tentang West Papua, RSF imbau kembalikan artikel tersebut
“Sangat mungkin penyensoran [itu terjadi] karena peliputan isu West Papua yang kritis terhadap situasi represif di provinsi ini … Memahami latar belakang penyensoran berkepanjangan itu sangat penting,” kata Profesor Robie.
Laporan protes lanjutannya dimuat Asia Pacific Report 18 Agustus lalu. Dalam laporan itu, Profesor Robie juga menyimpulkan ada alasan politis dibalik semua penyensoran itu.
Perang daring: bajak tagar hingga foto akun palsu
Seorang jurnalis dan peneliti forensik daring/online, Benjamin Strick dalam wawancaranya dengan RNZ Agustus lalu mengungkap hasil investigasinya terhadap kampanye disinformasi dan blokade media pada tahun lalu. Strick menyimpulkan kampanye disinformasi itu seiring dengan meningkatnya pergolakan di Papua.
Menurut Strick, “perang itu benar-benar daring”. Perang yang dimaksudnya adalah disinformasi yang diduga sengaja disebar oleh Pemerintah Indonesia, merespon berbagai aksi protes menuntut kemerdekaan West Papua.
Jurnalis yang juga jadi bagian tim investigasi BBC pemenang Peabody Award 2018 itu berhasil membuktikan pola penyebaran informasi menyesatkan itu. Penyebaran informasi menyesatkan itu dilakukan dengan cara membajak berbagai tagar populer demi sebuah perang propaganda.
“[Perang informasi itu] berpusat pada rangkaian peristiwa protes anti rasisme pada Agustus 2019 lalu, yang membangkitkan pergolakan dan tuntutan separatisme di West Papua. Menariknya adalah, [akses] internet di Papua segera dipadamkan, seiring peristiwa itu. Saya lalu menginvestigasi dugaan pikiran saya ini: ‘pasti pelanggaran hak asasi manusia akan meningkat, karena setelannya sudah pas’.”
Baca juga: Represi media di kawasan Melanesia, termasuk Papua jadi perhatian IFJ
Selama masa pemadaman akses internet di Papua itu, Strick menemukan dalam perselancarannya iklan-iklan wisata komersil ke Papua. Strick juga menemukan berbagai video keberhasilan pembangunan pemerintah Indonesia di Papua yang disebar di Facebook dan Twitter. “Mereka menggunakan tagar-tagar yang tak ada hubungannya, seperti ‘west papua genocide’ dan ‘free west papua’.”
Hasil penelusuran Strick itu dibahas lengkap pada November tahun lalu di bellingcat.com, Strick mendapati ratusan akun berbeda itu menyebarkan video, tagar dan isi teks yang sama persis.
Strick menyimpulkan berbagai konten disinformasi persoalan Papua itu diunggah ke internet dengan bot, akun media sosial yang menggunakan robot/program untuk bertindak secara otomatis. “Ini sudah pasti bots karena unggahannya disetel waktu, disebar berdasarkan algoritma otomatis. Tapi yang susah memang menemukan siapa yang bekerja dibalik lahirnya bots itu,” ujarnya.
Model baru disinformasi West Papua
Tepat setahun setelah penelusuran tersebut, Bellingcat meluncurkan hasil penelusuran terbaru mereka terkait operasi daring ‘anti West Papua merdeka’. Menurut laporan terbaru mereka, operasi pemengaruh daring yang baru itu bermaksud melawan gerakan pro kemerdekaan West Papua yang bermunculan di situs media sosial yang menonjol.
Terdapat 100 sampai 200 akun pemengaruh, menggunakan semua media sosial utama seperti Twitter, Facebook, Youtube dan Instagram. Walaupun sejauh ini tak banyak berdampak, namun mereka menggunakan metode yang sebelumnya tidak diamati dan didokumentasikan dalam percakapan daring seputar kemerdekaan Papua.
Salah satu hal yang baru dalam disinformasi persoalan Papua itu adalah kemunculan banyak akun dengan foto profil palsu yang dibuat menggunakan mesin pembelajaran yang disebut Generative Adversarial Network (GAN). Berbagai akun tersebut secara khusus menggunakan bahasa Belanda dan Jerman dalam unggahannya.
Baca juga: Internet diblokir, tapi Dewan Pers sebut Indeks Kebebasan Pers di Papua naik
Dalam unggahannya, berbagai akun palsu itu bahkan menyertakan tagar spesifik tiap kota di Belanda. Tampaknya cara itu memang dirancang untuk memengaruhi perdebatan di luar negeri, khususnya di Belanda dan Jerman.
Penelusuran tersebut juga terungkap bagaimana berbagai akun palsu dengan berbagai foto palsu, infografis anti kemerdekaan, dan situs berita buatan sendiri. Berbagai akun palsu itu menyebarkan konten yang mendukung Otonomi Khusus Papua, guna melawan kemerdekaan.
Jaringan paling terbaru yang digunakan untuk kemerdekaan isu West Papua pertama kali teridentifikasi di Twitter melalui tagar #WestPapua dan #PapuanLivesMatter. #PapuanLivesMatter digunakan paling banyak seiring dengan aksi-aksi protes di West Papua yang mengambil inspirasi dari Gerakan Black Lives Matter di AS awal tahun ini.
Tak butuh waktu lama untuk mengidentifikasi sejumlah akun dengan pengikut paling sedikit menggunakan tagar ini juga untuk “menyampahi” tagar tersebut dengan konten yang sama. Berbagai akun palsu itu juga membajak tagar #PapuanLivesMatter untuk mengacu ke situs buatan sendiri.
Baca juga: Disinformasi, kaburkan fakta tentang Papua
Hal serupa juga dijelaskan oleh penelitian Leiden University di Belanda. Mereka mengungkapkan temuan ini awal bulan November. Mengutip pemberitaan Nieuwsuur pada 10 November lalu, Peter Burger dari Universitas Leiden mengungkapkan wacana yang digulirkan berbagai akun palsu di media sosial.
“Dalam setiap pesannya mereka bersikeras bahwa West Papua tak boleh merdeka. Untuk itu mereka mendorong Otonomi Khusus di kedua provinsi Papua,” kata pengajar Universitas Leiden itu.
Penelusuran para ahli menyimpulkan berbagai akun bot itu adalah bukti pertama yang paling tampak di negara Belanda. Akun-akun itu berupaya membuat pengaruh politik yang begitu terkoordinasi. Menteri Dalam Negeri Belanda, Kajsa Ollongren, sudah lebih dulu memperingatkan platform kampanye media sosial semacam itu yang sering terjadi belakangan ini. Namun dia hanya menyontohkan berita palsu dari Rusia yang menyebarkan disinformasi terkait MH17.
3DUniversum, sebuah perusahaan yang berbasis di Amsterdam, Belanda menelusuri lebih lanjut 100 akun palsu yang dijadikan sampel penelitian mereka. Hasilnya, dari 100 akun itu ditemukan 35 foto tampak dibuat melalui mesin. “Orang-orang dalam foto itu tidak ada di dunia nyata.”
Baca juga: Berikut 5 gaya represi internet di Republik Indonesia versi SAFEnet
Penelusuran 3DUniversum juga menemukan foto-foto itu tampak seperti orang-orang yang tinggal di negara barat, namun 70 persen cuitan mereka dikirim dari server di Papua dan wilayah lain di Indonesia. Statistik juga memperlihatkan jumlah cuitan akun “orang barat” itu menurun tajam pada malam hari waktu Indonesia.
Dari data Bellingcat juga menunjukkan banyaknya akun-akun spam Twitter yang dibuat belum lama, disekitar bulan Juni, Juli dan Agustus 2020. Tanda petunjuk dari sebuah operasi pemengaruh (influencer) memang berupa beberapa akun dengan sedikit pengikut, dibuat diwaktu yang sama dan dengan fokus isu satu dan itu-itu saja.
Yang paling jelas dari semua bukti diatas adalah, ada sebuah operasi informasi baru yang menargetkan isu kemerdekaan West Papua. Operasi itu berupaya membanjirinya dengan narasi-narasi pro Indonesia. Operasi itu telah dijalankan di berbagai jaringan media sosial utama beberapa bulan terakhir ini. Walau sejauh ini dampak dari jaringan terkoordinasi ini masih kecil, namun penggunaan foto profil palsu dan menggunakan bahasa Belanda dan Jerman merupakan cara-cara baru.
Baca juga: Pemerintah mestinya minta maaf kepada warga Papua atas kasus pemblokiran internet
Nieuwsuur meminta University of Amsterdam memetakan pasukan bot di Twitter. Seperti halnya penelusuran Bellingcat, mereka menemukan sebagian besar akun dibuat sekitar bulan Juni. Akun-akun itu mencuit hampir 45.000 tweet, 12.000 diantaranya berbahasa Belanda. Cuitan-cuitan itu mendapatkan 35,000 shares dan likes, yang terhitung kecil secara dampak.
Twitter telah menghapus setengah dari akun-akun tersebut, setelah dilaporkan oleh Nieuwsuur. Namun, baru-baru ini sejumlah belasan akun baru bermunculan lagi.
Lebih dari 150 akun bot di Facebook dan Instagram masih tak terdeteksi oleh kedua pihak. Daftar ringkasan berbagai bot dapat dilihat di sini. Menurut, Nieuwsuur, YouTube mengatakan mereka masih menginvestigasi video-video oleh akun-akun palsu ini.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G