Infografis pengungsi dari Intan Jaya – Jubi
Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani, serta klaim TNI bahwa TPNPB merupakan pelaku pembunuhan itu, menjadi sorotan bahkan kecaman banyak pihak. Pada 21 September 2020 Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengumumkan bahwa pihaknya menerima informasi dari Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) di Papua, bahwa penembakan Pendeta Yeremia Zanambani diduga dilakukan aparat TNI.
“Tidak mudah bagi kami mengklarifikasi peristiwa ini. Untuk itu kami telah menyurati Presiden Republik Indonesia, Kapolri dan Panglima TNI untuk mengusut tuntas kasus ini dengan membawanya ke ranah hukum. Untuk menghindari saling tuduh, sebagaimana sudah terjadi, kami mengusulkan dibentuknya Tim Investigasi yang independen. Kasus ini [harus] menjadi kasus penembakan terakhir,” demikian siaran pers PGI. [1]
Akan tetapi, kekerasan terus terjadi, dan warga sipil terus menjadi korban. Pada 7 Oktober 2020, terjadi penembakan terhadap seorang katekis di Stasi Emondi, Gereja Katolik Keuskupan Timika bernama Agustinus Duwitau. Katekis adalah pembantu Pastor Katolik yang antara lain bertugas menerjemahkan isi doa dan Alkitab dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah setempat. Duwitau ditembak prajurit TNI saat berjalan kaki dari Paroki Bilogai menuju Kampung Emondi, dan tembakan itu mengenai bahu kirinya.
TNI menyatakan Duwitau adalah anggota TPNPB, bahkan menyatakan informasi bahwa Duwitau seorang Katekis adalah hoaks. Keuskupan Timika akhirnya mengonfirmasi bahwa Duwitau adalah seorang Katekis. Saat ini Duwitau masih menjalani perawatan karena luka tembak yang dialaminya.
Pada 9 Oktober 2020, TPNPB menembak anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Intan Jaya, Bambang Purwoko Bambang terluka di bagian kaki dan tangan kiri, dan dirawat di rumah sakit.[2]
Pada 26 Oktober 2020, terjadi penembakan yang menewaskan Katekis Paroki Gereja Katolik Santo Mikael Bilogai, Rufinus Tigau. TNI kembali membuat klaim bahwa Rufinus Tigau adalah anggota TPNPB. Administrator Diosesan Keuskupan Timika, Pastor Marthen Kuayo Pr membantah klaim TNI, dan menegaskan bahwa Rufinus katekis yang bertugas di Kampung Jalai, Distrik Sugapa, sejak tahun 2015.
Kontak tembak antara TNI dan TPNPB kembali terjadi pada 5 November 2020, dan menyebabkan seorang warga sipil bernama Agopabega Sani terluka di bagian kepala. Korban dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Intan Jaya di Sugapa, dan paramedis di sana membuat surat rujukan untuk membawa Agopabega Sani ke rumah sakit di Timika atau Nabire. Saat menunggu kedatangan pesawat yang akan membawa Agopabega Sani, rombongan Sani didatangi serombongan prajurit TNI dari Mamba. Mereka memukul dua kerabat Agopabega Sani, dan menyatakan Agopabega adalah TPNPB.
Pada 6 November 2020, TPNPB dan TNI terlibat kontak senjata di Kampung Titigi, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya. Seorang prajurit TNI, Pratu Firdaus tewas, sementara seorang prajurit TNI lainnya, Pratu Arbi Setiawan terkena tembakan dan luka di kaki kanan.[3]
Mengungsi dari Tanah Sendiri
Pengungsian warga sipil di Intan Jaya sudah terjadi sejak 17 Desember 2019, pasca penembakan dua anggota TNI, Lettu Inf Erizal Zuhri Sidabutar dan Serda Rizky Ramadhan. Wakil Ketua DPRD Kabupaten Intan Jaya, Marten Tipagau, mengatakan baku tembak meluas hingga ke Distrik Sugapa, Distrik Hitadipa dan Distrik Ugimba. “Sekitar 700 sampai 900 keluarga mengungsi ke gunung-gunung dan menyebar ke mana-mana karena terjadi baku tembak,” kata Marten dalam keterangan tertulis pada 20 Desember 2019.
Pastor Paroki Titigi di Intan Jaya, Pastor Yance Yogi menyatakan warga sipil yang mengungsi sejak Desember 2019 terpencar-pencar, mulai dari menempati komplek gereja, tinggal di rumah kerabat mereka, atau bahkan melarikan diri ke hutan. “Saya tidak bisa pastikan situasi [di Intan Jaya] sudah aman dan tidak. Karena [situasi di sini sedikit agak panas. Ada yang ke Nabire dan Timika untuk mencari kenyamanan dan keamanan,” imam Keuskupan Timika itu.[4]
Pasca penembakan Pendeta Yeremia Zanambani, gelombang pengungsian warga sipil dari Intan Jaya semakin besar. “Akibat dari kematian dari Bapak Pendeta [Yeremia], Sekurangnya [jemaat dari] sebelas gereja trauma. Kalau TNI, Polri, atau TPNPB masuk, itu artinya masyarakat pasti akan lari. Banyak juga yang lari ke Biandoga, kampung yang berbatasan dengan [Kabupaten] Puncak. [Ada juga warga yang] lari ke Distrik Agisiga, dan lain-lain. Waktu saya sampai di Hitadipa, saya temukan hanya dua laki-laki saja. Semua sudah tidak ada. Jadi orang ketiga adalah saya. Seluruh orang yang ada di tempat pertumbuhan iman kami di Hitadipa, itu sudah kosong,” kata Bernadus Kobogau.[5]
Pendataan pengungsi yang dilakukan jaringan Gereja Katolik Keuskupan Timika dan Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) pasca penembakan Pendeta Yeremia Zanambani mencatat 367 nama warga Intan Jaya yang mengungsi. Data yang disusun Pemerintah Kabupaten Intan Jaya mencatat 99 nama warga lainnya.
Dari total 466 warga Intan Jaya yang mengungsi itu, sejumlah 113 orang diantaranya mengungsi ke distrik atau kampung tetangga. Sebagian besar dari mereka meninggalkan rumahnya dan mengungsi ke beberapa lokasi seperti kampung Balamai, kampung Janamba, kampung Pugisiga, dan kampung Kulapa yang juga berada di Distrik Hitadipa.
Sejumlah 236 orang lainnya mengungsi ke kabupaten tetangga, seperti Mimika, Nabire, dan Puncak. Sebanyak 117 orang lainnya tidak diketahui pasti tujuan pengungsiannya.
Kendati jumlah pengungsi yang telah diketahui identitasnya berjumlah 466 orang, jumlah total pengungsi diperkirakan lebih banyak lagi. Pendataan jumlah total pengungsi sulit dilakukan karena warga sipil yang mengungsi dari konflik bersenjata di Intan Jaya cenderung menyebar dan takut untuk melaporkan diri kepada instansi pemerintah. Banyaknya patroli aparat keamanan di Distrik Sugapa dan Distrik Hitadipa juga membuat para Gembala Gereja kesulitan mendata persebaran pengungsi secara menyeluruh. Berbagai masalah pengungsi konflik bersenjata terdahulu, seperti para pengungsi dari Kabupaten Nduga misalnya, juga menunjukkan kecenderungan banyaknya warga sipil yang mengungsi ke hutan, menjauhi pusat permukiman atau pemerintahan yang menjadi lokasi markas aparat keamanan.
Kondisi warga Intan Jaya yang mengungsi sejak Desember 2019 tergambar dari kesaksian para warga Kampung Ndugusiga, Distrik Sugapa, yang saat ini berada di Nabire. Meskipun berasal dari kampung yang sama dan akhirnya sama-sama bertahan di Nabire, para warga mengungsi secara terpisah dan berpencar. Selama dalam pengungsi di Nabire itu, sudah ada empat warga Ndugusiga yang meninggal. Mereka adalah Alberto Weya (siswa kelas 5 SD YPPK Titigi), Yufinia Weya (siswa kelas 1 SD YPPK Titigi), Monce Mirip (siswa kelas 1 SD YPPK Titigi ), dan Yakofita Kogore (dewasa).
PM (29, perempuan), menuturkan ia mengungsi pada akhir Desember 2019, setelah kontak tembak terjadi di Kulapa pada 17 Desember 2019 meluas ke sejumlah kampung seperti Yoparu, Sogandugu, Ndugusiga, Mamba, Iguwagitapa, dan Yokatapa.
Setelah kontak tembak terjadi di Sogandugu, PM dan puluhan warga sempat mengungsi ke halaman Gereja Paroki Ndugusiga. Merasa tidak aman, mereka akhirnya berjalan kaki menuju Gereja Paroki Titigi, dan sempat bermalam tiga hari di sana. “Saya tinggalkan ndugusiga karena tidak aman dengan kehadiran militer,” kata PM.
PM dan para warga Ndugusiga mengungsi lagi ke Bilogai, Bilal, Gepelo, hingga tiba di Enarotali, ibu kota Kabupaten Paniai. Dari Paniai, PM dan sembilan kerabatnya menyewa mobil menuju Nabire. Mereka tiba di Nabire pada 1 Januari 2020. Sejak itu, PM tinggal di Nabire, bersama puluhan pengungsi asal Ndugusiga lainnya, menggantungkan kebutuhan hidupnya kepada kerabat dan donasi.
“Kami di sini tidak tinggal di satu tempat. Kami tinggal di keluarga kami yang ada di sini. Ada pengungsi yang sakit dan juga ada pengungsi yang meninggal. Kami sangat membutuhkan bantuan bahan makanan dan pakaian, karena di Nabire kami menumpang di keluarga. Kami sangat perasaan dan takut, idak punya apa-apa,” kata PM.
YW (40, laki-laki), warga Ndugusiga lainnya, juga bertahan di Nabire, namun mengungsi secara terpisah. Ia tiba di Nabire dengan mengendarai sepeda motor semalaman menembus hujan. Ia nekat bersepeda motor setelah berpindah-pindah lokasi pengungsian dari Beoga, Pugisiga, Kulapa, dan sempat tinggal beberapa hari di Jaindapa. Ia sempat kembali ke Ndugusiga, dan mendapati kampungnya kosong. Ia lalu mengungsi ke Titigi, namun ketakutan karena aparat keamanan menyisir Titigi dan mencari “muka baru” di Titigi, hingga akhirnya memilih bersepeda motor ke Nabire.
“Saya hanya ingin pulang ke kampung. Saya minta tolong Gubernur Papua untuk kasih pulang kami. Tapi aparat harus keluar dari kami punya kampung dulu. Karena, saya punya pikiran itu ada di kampung, tapi aparat masih ada, jadi kami tidak bisa apa-apa,” kata YW.
YWE (18, laki-laki), sempat mengungsi ke Titigi selama enam bulan, dan menjadi saksi saat prajurit TNI mengambil semua lampu bantuan pemerintah yang ada di rumah warga Titigi. Selain menjarah lampu bantuan pemerintah, YWE juga melihat prajurit TNI merusak barang di dalam rumah warga. Pagar kayu kebun (untuk memagari kebun agar tidak dirusak babi) juga dirusak prajurit TNI, dijadikan kayu bakar. YWE takut pulang ke Ndugusiga yang telah kosong, namun juga takut bertahan di Titigi, karena prajurit TNI telah menduduki dua rumah warga Titigi. Setelah enam bulan bertahan di Titigi, YWE akhirnya mengungsi ke Nabire.
PM sangat berharap para warga Ndugusiga segera bisa kembali ke kampungnya. “Kami mau pulang kembali ke kampung, tapi ada TNI. Jadi kami takut untuk pulang. Saya minta tolong untuk bisa kasi pulang ke kami punya kampung,” kata PM.
Selama mengungsi ke kompleks gereja, rumah kerabat, atau bahkan memasuki hutan yang sulit dijangkau, para pengungsi tidak dapat menggarap kebun mereka, sehingga kehilangan akses sumber bahan pangan. Para pengungsi juga kehilangan akses terhadap layanan pendidikan dan kesehatan. Penanganan para pengungsi secara menyeluruh akan sulit dilakukan selama TNI masih menempatkan pasukan atau berpatroli di Distrik Hitadipa dan Distrik Sugapa.
Jika kekerasan baru kembali terjadi di Intan Jaya, situasi warga sipil di sana akan semakin buruk. Dokumentasi Tim Kemanusiaan memperlihatkan fakta konflik bersenjata itu mengorbankan warga sipil, menunjukkan para aktor konflik bersenjata di Intan Jaya gagal mengendalikan ekses konflik bersenjata tersebut.
Dari berbagai kasus kekerasan di Hitadipa, kasus pembakaran rumah dinas tenaga kesehatan di Taundugu menjadi perkara pertama yang mencapai tahap penyidikan. Pusat Polisi Militer TNI Angkatan Darat (Puspomad) menetapkan delapan prajurit TNI AD sebagai tersangka kasus pembakaran itu.[6]
Pembakaran rumah tenaga kesehatan di Taundugu itu merupakan bagian dari rangkaian peristiwa yang terjadi di Hitadipa pada 19 September 2020. Lokasi rumah dinas tenaga kesehatan yang dibakar para tersangka itu juga relatif dekat dengan lokasi kandang babi Pendeta Yeremia Zanambani di Bomba, berjarak kurang dari 1 kilometer.
Kedelapan tersangka itu adalah Kapten Inf SA, Letda Inf KT, Serda MFA, Sertu S, Serda ISF, Kopda DP, Pratu MI, dan Prada MH. Mereka menjadi tersangka dalam perkara bersama-sama melakukan pembakaran secara sengaja dan membahayakan keamanan barang, dan diduga melanggar pasal 187 ayat 1 KUHP dan pasal 55 ayat 1 KUHP.
Komandan Puspomad, Letjen TNI Dodik Wijanarko menyatakan penetapan delapan tersangka itu didasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan tim gabungan yang terdiri atas Puspomad, Satuan Intelijen Angkatan Darat (Sintelad), Pusat Intelijen Angkatan Darat (Pusintelad) dan Direktorat Hukum TNI AD (Ditkumad) dengan tim Kodam XVII/Cenderawasih. Mereka telah memeriksa 11 anggota TNI dan seorang warga sipil. “Saat ini Tim Gabungan dan Kodam XVII/Cenderawasih sedang melengkapi berkas perkaranya. Apabila telah memenuhi syarat formal dan materiil, akan segera dilimpahkan ke Oditur Militer III-19 Jayapura,” kata Dodik.[7]
Kini, publik menantikan hasil penyelidikan dan penyidikan Puspomad, Satuan Intelijen Angkatan Darat (Sintelad), Pusat Intelijen Angkatan Darat (Pusintelad) dan Direktorat Hukum TNI AD (Ditkumad) dengan tim Kodam XVII/Cenderawasih dalam perkara pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani.
Pemerintah Provinsi Papua bersama-sama Pemerintah Kabupaten Intan Jaya harus aktif berkomunikasi dengan para pihak yang bertikai, baik TPNPB maupun TNI-Polri, mendorong kesepakatan penghentian konflik bersenjata, atau menyepakati jeda kemanusiaan untuk menangani dampak konflik terhadap masyarakat sipil.
Catatan kaki
[1] http://pgi.or.id/wp-content/uploads/2020/09/Siaran-Pers-Kasus-Penembakan-Pdt-Yeremias.pdf
[2] https://nasional.okezone.com/read/2020/10/17/337/2295247/anggota-tgpf-dan-personel-tni-korban-penembakan-kkb-masih-dirawat-di-rspad
[3] https://news.okezone.com/read/2020/11/06/340/2305549/tni-kontak-tembak-dengan-kkb-di-intan-jaya-1-prajurit-gugur
[4] https://arsip.jubi.id/warga-sipil-di-intan-jaya-masih-mengungsi/
[5] Wawancara, Bernadus Kobogau, 24 Oktober 2020.
[6] https://arsip.jubi.id/papua-delapan-oknum-tni-ad-tersangka-pembakaran/
[7] https://arsip.jubi.id/papua-delapan-oknum-tni-ad-tersangka-pembakaran/