Aparat kemanan di Sugapa, Intan Jaya – Dok. Jubi
Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – “Jika sudah meninggal mohon tunjukan di mana kuburnya, agar keluarga bisa berduka. Jika masih hidup, mohon dikembalikan.”
Pernyataan tegas itu disampaikan Pendeta Yeremia Zanambani dalam pertemuan yang diselenggarakan Bupati Intan Jaya, Natalis Tabuni di Markas Kepolisian Sektor Sugapa pada 14 Mei 2020. Pernyataan itu disampaikan Pendeta Yeremia menyikapi kasus hilangnya dua anggota keluarga Zanambani.
Pada 21 April 2020, sekelompok prajurit TNI di Sugapa melakukan sweeping dengan alasan pemeriksaan pemenuhan protokol kesehatan Covid-19. Namun Satgas Covid-19 Intan Jaya menjelaskan bahwa sweeping yang dilakukan oleh TNI itu bukan bagian dari penanganan pandemi oleh Satgas Covid-19 Intan Jaya.
Dalam ‘sweeping’ itu, TNI menangkap tiga orang warga sipil. Seorang diantaranya telah dilepas, namun Apinus Zanambani (22) dan Luther Zanambani (23) dibawa ke Markas Koramil Sugapa. Belakangan, Apinus dan Luther dinyatakan hilang, dan belum ditemukan hingga kini.
Awalnya, pihak keluarga menduga bahwa Apinus dan Luther positif terinfeksi Virus Corona Covid-19, sehingga menduga mereka akan dikarantina selama dua minggu. Sepanjang waktu itu, keluarga tidak pernah menerima pemberitahuan apapun dari aparat yang berwenang. Selepas dua minggu, keluarga akhirnya mendatangi Koramil Sugapa, dan mencari keberadaan Apinus dan Luther.
Para prajurit TNI di Koramil Sugapa mengakui mereka sempat membawa Apinus dan Luther Zanambani, namun mengaku tidak mengetahui keberadaan Apinus dan Luther. Keluarga Apinus dan Luther akhirnya meminta tolong Pendeta Yeremia Zanambani untuk ikut mengurus pencarian Apinus dan Luther.
Bupati Intan Jaya akhirnya menggelar pertemuan yang dihadiri para pejabat kepolisian dan TNI serta keluarga Apinus dan Luther. Dalam pertemuan di Polsek Sugapa itu, Pendeta Yeremia Zanambani menyampaikan permintaan agar para prajurit TNI memberitahukan keberadaan Apinus dan Luther. “Jika sudah meninggal mohon tunjukan di mana kuburnya, agar keluarga bisa berduka. Jika masih hidup, mohon dikembalikan.”
Para saksi yang ditemui Tim Kemanusiaan mengaitkan pernyataan tegas Pendeta Yeremia Zanambani itu dengan pernyataan Wakil Komandan Koramil Persiapan Hitadipa Alpius Hasim Madi yang pada 19 September 2020 menyebut Pendeta Yeremia sebagai “musuh dan lawan”. Pernyataan itu disampaikan Alpius saat ia mengumpulkan warga sipil di halaman Gereja Imanuel Hitadipa pada 19 September 2020, beberapa jam sebelum Pendeta Yeremia terbunuh. Pendeta Yeremia Zanambani ditembak dan ditusuk saat berada di kandang babi miliknya, menyusul kontak tembak antara TPNPB dan TNI.
Berikut rentetan peristiwa yang terjadi di Distrik Hitadipa pada 19 September 2020:
- Sekitar pukul 09.00 WIT, warga sipil Hitadipa dikumpulkan oleh anggota TNI di halaman Markas Koramil Persiapan Hitadipa.
- Para anggota TNI itu menyatakan warga Hitadipa memiliki waktu dua hari untuk mengembalikan senjata yang dirampas TPNPB pada 17 September. Jika SS1 itu tidak dikembalikan dalam dua hari, TNI akan membuat operasi penumpasan.
- Para prajurit TNI itu juga menyuruh dua orang pemuda Hitadipa untuk mencari Melianus Wandagau, kepala suku Moni di Sugapa Lama—lokasi perampasan senjata pada 17 September 2020.
- Pengumpulan warga itu berulang pada pukul 12.00 WIT, saat Wakil Komandan Rayon Militer (Wadanramil) Alpius Hasim Madi mengumpulkan warga sipil di halaman Gereja Imanuel Hitadipa. Siang itu, Alpius menyebut para gembala Gereja di Hitadipa “tidak mengajarkan 10 perintah Allah” yang melarang pembunuhan.
- Salah satu warga yang ditemui Tim Kemanusiaan menuturkan Alpius menuding para warga Hitadipa memusuhinya, dan itu berarti para warga memusuhi TNI. “Ada 6 pernyataan yang disampaikan oleh Pak Alpius. Dia bilang, parang yang ada di samping [jenazah Serka Sahlan] adalah [parang] Bapa Pendeta punya. Dia bilang begitu saja, tidak sebut namanya. Dia bilang, TNI memberikan kesempatan kepada dua desa dan tiga gereja [yaitu Gereja Sugapa Lama, Gereja Hitadipa 1 dan Gereja Hitadipa 2 untuk kembalikan senjata yang diambil pada 17 [September] itu. ‘Kalau tidak, saya akan bunuh kamu semua.’ Itu pernyataan yang dia sampaikan. Berikutnya lagi, ‘musuh saya yang pertama lawan saya adalah Zimi Sani, yang kedua Bapak Pendeta Yeremia Zanambani, ketiga Bapak Pendeta Yakobus Maiseni, keempat Ibu Naomi Maiseni, kelima Ibu Amoi Wandagau, keenam Roy Mujijau. Jadi keenam orang ini adalah musuh saya selama hidup di Hitadipa.’ [Pernyataan] itu [disampaikan] jam 12.00 WIT,”kata salah satu warga kepada Tim Kemanusiaan.[1]
- Sejumlah warga menceritakan, pernyataan Alpius itu membuat para warga yang hadir di halaman Gereja Imanuel Hitadipa menangis di depan Alpius.
- Pengumpulan warga itu tidak dihadiri Pendeta Yeremia Zanambani. Sejak pagi, Pendeta Yeremia Zanambani dan Mama Miriam Zoani pergi ke Bomba, sebuah kampung kecil di selatan Hitadipa. “Pada Sabtu, 19 September itu, Bapa dan saya sama-sama pergi ke kebun yang satu lokasi dengan kandang babi. Bapa selesaikan pagar di kandang babi itu, sedangkan saya gali ubi,” kata Mama Miriam Zoani. [2]
- Pada pukul 13.00 WIT, TPNPB menyerang Markas Koramil Persiapan Hitadipa. Serangan itu menewaskan Pratu Dwi Akbar Utomo, prajurit Batalion Infantri 711/Raksatama yang bermarkas di Provinsi Gorontalo, Sulawesi.[3] TNI membalas dan segera mengejar TPNPB yang berada di Taundugu, sebuah kampung kecil di belakang Markas Koramil Persiapan Hitadipa, di seberang Sungai Hiyabu.
- Warga yang ditemui Tim Kemanusiaan menyebut para prajurit TNI berusaha mengevakuasi Pratu Dwi Akbar. “Mereka penyisiran dulu [ke arah hulu] dua sungai itu. Mereka tembak sampai habis dulu. [Sekitar pukul] 14.30 WIT, dorang mau evakuasi [Pratu Dwi Akbar Utomo], jadi dorang mulai jaga. Dorang datang [dan] bakar fasilitas kesehatan [di Taundugu] itu. Kurang lebih empat motor [TNI] evakuasi temannya yang ditembak,” kata saksi yang ditemui Tim Kemanusiaan.
- Warga yang ditemui Tim Kemanusiaan menyatakan rumah dinas tenaga kesehatan di Taundugu ditinggali warga setempat. Pembakaran rumah dinas itu membuat sejumlah warga kehilangan tempat tinggal, Ijazah SD dan SMP dan perlengkapan rumah tangga. Satu unit motor warga ikut terbakar.
- Mama Miriam menuturkan, kontak senjata di Markas Koramil Hitadipa terdengar hingga Bomba. “Ketika dengar bunyi tembakan itu, kami masuk ke kandang babi dan tutup pintu, karena TNI sudah bilang ke kami bahwa kalau dengar bunyi tembakan harus masuk rumah dan kunci pintu,” kata Mama Miriam.[4]
- Sekitar pukul 15.00 WIT, Mama Miriam Zoani yang dalam perjalanan pulang dari kandang babi di Bomba berpapasan dengan rombongan tentara di ujung lapangan terbang Hitadipa. “Sekitar jam 15.00 WIT, saya minta sama Bapa untuk pulang ke rumah. Tetapi Bapa bilang ke saya, [Bapa] masih tunggu babi pulang kandang. Nanti Bapa kasih makan babi dan tutup pintu kandang, baru Bapa menyusul mama. Jadi mama duluan jalan. Sampai di ujung lapangan terbang, mama bertemu rombongan TNI dengan perlengkapan senjata. Saya tidak tahu jumlah mereka, karena saya juga takut sehingga tidak hitung jumlah mereka. Mereka banyak,” kata Mama Miriam.[5]
- Mama sedikit lega ketika melihat pasukan TNI itu dipimpin Alpius. “Karena lihat ada Alpius, rasa takut saya mulai hilang. Saya kenal Alpius, dan saya anggap sebagai anak. Dia biasa datang mandi di kami punya rumah. Kalau dia minta sayur, saya dan Bapa biasa kasih juga. Jadi saya dan Bapa sudah anggap dia sebagai anak begitu. Alpius ini biasa panggil saya juga ‘mama’, Bapa juga dia panggil ‘bapa’. Waktu [saya dan Alpius] baku lihat, dia tanya ‘apakah mama ada lihat orang sepanjang jalan ini ka?’ Saya jawab tidak ada orang, yang ada adalah saya dan suami saya, kami ada di kandang babi. Bapa masih tunggu babi pulang, kasih makan, tutup pintu kandang baru pulang. Saya sampaikan begitu ke Alpius. Dia [tanya lagi], ‘jadi bapa ada di kandang?’. Setelah itu saya langsung pulang. Saya sampaikan jujur begitu karena suami saya mengajarkan kami untuk menjawab orang dengan jujur, terus terang, jangan menipu orang. Saya juga tidak tambah-tambah dan saya bilang yang jujur,” kata Mama Miriam.[6]
- Sekitar pukul 15:30 WIT, pasukan TNI itu melintasi Jembatan Induk Sungai Hiyabu, dan sampai di Taundugu, dan berjaga di sana. Sejumlah warga melihat Alpius bersama tiga prajurit TNI berjalan kaki menuju Bomba, mendekati kandang babi Pendeta Yeremia Zanambani. “Kejadiannya sore, masih terang, jam 15.00 WIT. Jadi banyak masyarakat di Hitadipa melihat empat orang tentara itu datang. Dua tentara [berjaga] di Jalan [Induk Intan Jaya], dan dua tentara masuk [menuju kandang babi Pendeta Yeremia]. Itu dorang [masyarakat] juga lihat,” kata salah satu warga yang bersaksi kepada Tim Kemanusian.[7]
- Sekitar pukul 18.00 WIT, Mama Miriam pergi lagi ke Bomba, untuk menyusul Pendeta Yeremia Zanambani. “Sampai jam 18.00 WIT, bapa belum pulang-pulang jadi saya beranikan diri untuk pergi ke bapa di kandang babi. Dari rumah bisa lihat kandang babi itu. Saya lihat pintu kandang babi itu masih terbuka, [sementara hari] sudah mulai gelap,” kata Mama Miriam.[8]
- Saat tiba di kandang babi, Mama Miriam menemukan Pendeta Yeremia tertelungkup di tanah. Tubuhnya berlumuran darah karena luka tembak di lengan kiri dan luka tusuk di punggung. Pendeta Yeremia masih bisa berbicara dan menceritakan kekerasan yang dialaminya. “Posisi Bapa, kepala Bapa di pintu kandang babi, sedangkan kakinya di pintu dapur, posisinya tengkurap. Waktu saya ketemu bapa, saya lihat banyak darah yang mengalir lewat tangan dan kepala. Saya bilang ke Bapa, ‘kenapa Bapa seperti ini, Bapa bela kayu dan kena kampak ka?’ Bapa bilang, ‘bukan kena kampak, tetapi orang yang biasa kita kasih makan, tentara yang bertugas di Hitadipa, rombongan Alpius yang datang. Saya angkat tangan, tetapi mereka tembak saya di tangan lalu tikam saya di punggung belakang leher.’ Bapa suruh saya untuk angkat Bapa, tetapi saya tidak bisa karena saya badan kecil. Saya berpikir, harus bawa Bapa pulang untuk rawat di rumah, jadi saya harus panggil orang untuk bantu angkat Bapa. Karena siang sudah ada bunyi tembakan, masyarakat semuanya takut. Jarak rumah dengan kandang babi sekitar kurang lebih 1 kilometer, ditempuh selama 20 menit dengan jalan kaki. Menurut kesaksian orang yang lihat dari jauh, ada empat orang yang [datang]ke [kandang babi] Bapa. Dua orang ke kandang babi dan dua orang jaga di jalan,” kata Mama Miriam.[9]
- Mama Miriam mendatangi rumah Yulita Zanambani yang tinggal di dekat dengan lokasi kandang babi Pendeta Yeremia. “Saya titip kunci kandang babi ke Mama Yulita dan bilang supaya tolong lihat dan jaga Bapa di sana. Saya mau ke rumah, panggil orang dulu untuk angkat Bapa pendeta,” kata Mama Miriam.
- Mama Miriam kemudian pergi ke rumah Yusak Zanambani, salah seorang warga Hitadipa. Di sana Mama Miriam bertemu banyak warga sedang berdiam karena rasa takut. “Saya ke rumah warga yang ada di sekitar, panggil mereka bantu angkat Bapa, tetapi mereka semuanya takut. Saya juga takut sehingga tidak pulang lagi ke kandang babi,” kata Mama Miriam.
- Menurut Yulita Zanambani, Pendeta Yeremia Zanambani meninggal dunia sekitar tengah malam.
- Pada 20 September 2020, sekitar pukul 07.00 WIT, mantan kepala desa Tom Kobogau dan mantri Enos Kobogau memimpin rombongan warga untuk mengevakuasi jenazah Pendeta Yeremia Zanambani. “Sekitar jam 07.00 WIT pagi, mantan kepala desa Pak Tom Kobogau dan Pak Mantri Enos Kobogau [meminta] izin TNI. Sekitar enam orang pergi evakuasi Bapa pendeta,” kata warga yang ditemui Tim Kemanusiaan.[10] (*)
Catatan kaki
[1] Wawancara, saksi, 24 Oktober 2020.
[2] Wawancara, Miriam Zoani, 23 Oktober 2020.
[3] https://news.okezone.com/read/2020/09/20/340/2280867/2-prajurit-tni-gugur-ditembak-kkb-di-intan-jaya-papua
[4] Wawancara, Miriam Zoani, 23 Oktober 2020.
[5] Wawancara, Miriam Zoani, 23 Oktober 2020.
[6] Wawancara, Miriam Zoani, 23 Oktober 2020.
[7] Wawancara, Warga Intan Jaya, 24 Oktober 2020.
[8] Wawancara, Miriam Zoani, 23 Oktober 2020.
[9] Wawancara, Miriam Zoani, 23 Oktober 2020.
[10] Wawancara, Warga Intan Jaya, 23 Oktober 2020.