Papua No. 1 News Portal | Jubi
Ratusan pengungsi masih bertahan di posko-posko korban banjir bandang Sentani. Di antara mereka anak-anak usia sekolah yang tetap aktif ke sekolah. Namun mereka membutuhkan tambahan belajar non formal dan kegiatan pemulihan dari trauma.
MASA tanggap darurat banjir bandang di Sentani, Kabupaten Jayapura sudah ditutup setelah 14 hari pasca kejadian 16 Maret 2019. Namun beberapa posko pengungsian masih menerima bantuan, terutama bahan makanan dan perlengkapan tidur.
Hingga kini masih ada ratusan pengungsi yang dikelola posko, terutama di posko Puspenka Hawai dan posko SKB Kemiri. Selain melayani kebutuhan dasar, posko juga melayani pengobatan dan keperluan anak-anak, termasuk siswa.
Pimpinan Transition to Institutional Programs (TITIP) Sentani, Agus Maniagasi, mengatakan pasca bencana perlu dilakukan pendampingan kepada korban, terutama terhadap anak-anak sekolah untuk belajar non formal di posko-posko.
“Pendidikan non formal ini sangat dibutuhkan mereka dan bila koordinator posko mau kami bersedia untuk mengajar mereka dengan mengutus para mahasiswa kami melakukan proses pendampingan, terutama kegiatan belajar mengajar non formal,” katanya.
Selain mengajar non formal, kata Maniagasi, anak-anak pengungsi juga sangat trauma dengan bencana yang mereka lihat sehingga perlu dilakukan trauma hilling guna memberikan mereka penguatan, seperti melalui doa dan ibadah bersama di posko.
Koordinator Posko Kemiri SKB, Selina Monim, mengatakan jumlah korban banjir bandang yang berada di posko hingga sekarang 246 orang. Di antaranya 26 balita, 69 anak-anak, 138 dewasa, 13 lansia, dan 3 ibu hamil.
“Data ini bersifat sementara karena sewaktu-waktu bisa berubah seperti tadi malam banjir di kali Kemiri semua warga langsung mengungsi ke sini,” katanya, Selasa, 9 April 2019.
Pengungsi yang termasuk pelajar, kata Monim, 69 siswa SD, 60 siswa SMP, dan 11 siswa SMA. Bantuan seragam, sepatu, dan alat tulis yang diterima posko sudah disalurkan kepada mereka.
Sedangkan pengungsi di Posko Puspenka Hawai Sentani berjumlah 587 orang.
Koordinator posko, Theopilus Tegai, kepada Jubi mengatakan para pengungsi ditampung di tiga lokasi. Selain di Puspenka yang berjumlah 71 orang, juga di Posko Nendali 389 orang, dan Posko Toladan RT 02 RW XI sebanyak 127 orang.
Anak-anak sekolah yang mengungsi di posko, kata Tegai, tetap aktif ke sekolah untuk belajar, meski mereka sehari-hari tinggal di posko pengungsian.
Sedangkan tim kesehatan, katanya, di masa transisi pasca banjir bandang sudah jarang datang ke posko untuk memeriksa kesehatan pengungsi.
“Kami belum bisa menyampaikan secara detail sakit apa saja karena itu wewenang petugas kesehatan dan dokter yang bertugas di sini, namun mereka tidak masuk hari ini,” katanya.
Pantauan Jubi, para pengungsi di SKB Kemiri dan Puspenka Hawai sangat membutuhkan air bersih untuk keperluan minum, masak, mandi, dan lainnya. Dibutuhkan bantuan Pemkab Jayapura dan Pemprov Papua untuk menyuplai air bersih setiap hari.
Pindah ujian
Sementara itu di Kota Jayapura, gara-gara halaman SMK Negeri 8 Kota Jayapura tergenang banjir pada 2 April 2019, sebanyak 151 siswa SMA PGRI Jayapura batal menumpang untuk UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer).
Akhirnya, 56 siswa jurusan IPA dan 95 siswa jurusan IPS itu pindah menumpang ujian ke SMK Negeri 2 Kota Jayapura.
Hal itu disampaikan Kepala SMA PGRI Jayapura, Janet Berotabui, di Jayapura. Menurut Berotabui, biasanya para siswa SMA PGRI Kota Jayapura mengikuti ujian nasional di SMK Negeri 8 Kota Jayapura, karena SMA PGRI belum memiliki komputer yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan UNBK.
“Tiga tahun belakangan ini biasanya kami mengikuti UNBK di SMK Negeri 8 di belakang Expo Waena, tetapi karena luapan air Danau Sentani di halaman SMK Negeri 8 belum surut, kami tidak bisa mengikuti ujian nasional di situ,” katanya.
Berotabui akhirnya menghubungi Kepala SMK Negeri 2 Kota Jayapura, Elia Waromi, dan meminta izin untuk meminjam kelas SMK Negeri 2 Kota Jayapura sebagai lokasi ujian nasional bagi anak-anak SMA PGRI Kota Jayapura.
“Akhirnya kami menggunakan tempat ini untuk mengikuti ujian nasional,” katanya.
Berotabui menyatakan hingga kini SMA PGRI Kota Jayapura tidak memiliki cukup fasilitas untuk menyelenggarakan sendiri UNBK di sekolah mereka. Ia telah melaporkan masalah tersebut kepada Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua sejak sebelum pelaksanaan UNBK, namun laporannya belum ditindaklanjuti.
Ia mengakui status hukum SMA PGRI yang tidak bernaung di sebuah yayasan membuat SMA PGRI Kota Jayapura kesulitan mencari bantuan dari Pemerintah Provinsi Papua maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Apalagi, tanah tempat gedung sekolah berdiri juga dalam sengketa.
“Karena persyaratannya harus melampirkan badan hukum serta sertifikat tanah untuk mendapatkan bantuan komputer atau bantuan yang lainnya,” ujarnya. (*)
Reporter: Agus Pabika & Hengky Yeimo
Editor: Syofiardi