Papua No. 1 News Portal | Jubi
Nabire, Jubi – Koalisi Masyarakat Sipil Papua yakni Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua menilai, pemindahan tapol Papua ke Kaltim melanggar hukum. Para koalisi antara lain, PAHAM Papua, LBH Papua, ALDP, SKPKC Fransiskan, KPKC Sinode GKI Papua, Posbakum Madim, Kontras Papua, Elsham Papua, Yadupa dan lain sebagainya.
Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua selaku kuasa hukum Buktar Tabuni dan kawan – kawan yang ditersangkakan dengan Pasal 106 KUHP atau pasal makar, dikejutkan dengan tindakan pemindahan tersangka dari Rutan Polda Papua ke Rutan Polda Kalimantan Timur yang dilakukan oleh penyidik Polda Papua pada tanggal 4 Oktober 2019, sebagaimana surat Direskrimum Polda Papua Nomor : B/816/X/RES.1.24/2019/Direskrimum, tertanggal 4 Oktober 2019.
“Sikap penyidik Polda Papua yang tidak komunikatif dengan Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua terlihat pada tanggal 3 Oktober 2019 dimana saat salah satu Penasehat Hukum ke Ditreskrimum Polda Papua namun tidak diinformasikan perihal pemindahan di atas. Hal itu dibuktikan lagi pada saat pemindahannya pada tanggal 4 Oktober 2019 tidak didampingi oleh Penasehat Hukum dari Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua,” ujar Emanuel Gobay dari LBH Papua melalui rilis yang digterima Jubi. Jumat (4/9/2019).
Terlepas dari itu, dijelaskan Gobai, pada prinsipnya kebijakan perpindahan Pengadilan pemeriksa suatu tindak pidana dari wilayah hukum pengadilan negeri satu ke wilayah hukum pengadilan negeri lain dengan alasan keadaan daerah diatur pada Pasal 85, UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Acara Pidana atau yang sering disingkat dengan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, Berikut isi Pasal 85 KUHAP :
‘Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala` kejaksaan negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain daripada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud’.
“Sesuai dengan bunyi Pasal 85 KUHAP diatas, secara tegas tidak menyebutkan Institusi Kepolisian sebagai pemohon atau pengusul kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk menunjuk Pengadilan Negeri lainnya sehingga Pernyataan mantan Kapolda Papua Irjen Pol Rudolf A Rodja melalui media online suarapapua.com tertanggal 3 Oktober 2019 terkait ‘Persidangan sejumlah pentolan KNPB dan ULMWP akan dipindahkan ke Kalimantan Timur’ diragukan dasar hukumnya,” jelas dia.
Atas ketidakjelasan dasar hukum itu sampai saat ini, Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua selaku kuasa hukum Buktar Tabuni dan kawan – kawan yang ditersangkakan dengan pasal makar belum mendapatkan informasi terkait status mayoritas tersangka menjadi P-21.
Namun pada tanggal 4 Oktober 2019, Tim Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua menerima surat Direskrimum Polda Papua Nomor : B/816/X/RES.1.24/2019/Direskrimum, tertanggal 4 Oktober 2019, Perihal : Pemberitahuan Pemindahan Tempat Penahanan.
Tersangka antara lain, Buktar Tabuni, tersangka Agus Kosay, tersangka Fery Kombo, tersangka Alexander Gobay, tersangka Steven Itlai, tersangka Hengki Hilapok dan tersangka Irwanus Uropmabin. Akan dipindahkan tempat penahanannya dari Rutan Polda Papua ke Rutan Polda Kalimantan Timur di Balikpapan sambil menunggu penetapan pengalihan tempat persidangan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.
“Berdasarkan status tersangka yang belum P-21 tersebut, tindakan pihak penyidik Polda Papua diatas jelas – jelas bertentangan dengan Pasal 85 KUHAP sebab belum ada pengusulan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat (Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura) atau Kepala Kejaksaan negeri Setempat (Kejaksaan Negeri Jayapura) kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk pemindahan Buktar Tabuni dkk,” jelasnya.
Begitu pula belum ada pengusulan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia kepada Menteri hukum dan HAM Republik Indonesia untuk mengeluarkan penetapan atau persetujuan untuk pemindahan kepada Pengadilan Negeri lain. Sampai pada pemindahan tersangka Buktar Tabuni dkk dari Rutan Polda Papua ke Rutan Polda Kalimantan Timur tanggal 4 Oktober 2019 Mentri Hukum dan HAM Republik Indonesia belum menerbitkan Surat Penetapan atau Persetujuan untuk pemindahan tersebut.
Atas dasar itu secara jelas menunjukan bahwa Kapolda Papua dan Penyidik Polda Papua secara bersama-sama melakukan penyalahgunaan Pasal 85 KUHAP.
Gustaf Kawer, dari PAHAM Papua, menambahkan, berdasarkan tindakan Penyidik Polda Papua di atas secara jelas menunjukkan tindakan di luar dari arahan Pasal 13 huruf b dan Pasal 14 ayat (1) huruf l, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, sebagai berikut :
Pasal 13 huruf b :
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah menegakkan hukum;
Pasal 14 ayat (1) hurif l :
Dalam melaksanakan tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Atas dasar itu, jelas-jelas membutikan bahwa Kapolda Papua dan Penyidik Polda Papua secara terang-terang melanggar Pasal 6, huruf q, PP Nomor 2 tahun 2003 tentang peratuiran disiplin Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai berikut :
Pasal 6 huruf q :
Dalam melaksanakan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang menyalahgunakan kewenangan.
“Berdasarkan uraian diatas, kami Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua selaku kuasa hukum Buktar Tabuni dkk menegaskan kepada : pertama, Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia segera menegur Kapolri, Kapolda Papua dan Ditreskrimum Polda Papua untuk tidak menyalahgunakan Pasal 85 KUHAP. Kedua, Kapolri Cq Kapolda Papua Cq Ditreskrimum Polda Papua wajib menghentikan penyalagunaan kewenangan sebagaimana dalam pasal 6 huruf q PP Nomor 2 tahun 2003 serta menghargai tugas pokok penegakan hukum sebagaimana Pasal 13 huruf b, UU Nomor 2 Tahun 2002 dalam mengimplementasikan Pasal 85, UU nomor 8 tahun 1981. Ketiga Kapolda Papua untuk memerintahkan kepada Ditreskrimum Polda Papua untuk menghentikan Pemindahan Tempat Penahanan tersangka an Buktar Tabuni dkk sebagai bentuk penghargaan terhadap UU nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Acara Pidana. Dan keempat, Kapolri Cq Kapolda Papua Cq Kapolda Kalimantan timur wajib menghargai hak-hak tersangka khususnya hak atas bantuan hokum,” tuturnya.(*)