Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Pada Jumat, 6 September 2019,Jaringan Masyarakat Sipil Semarang berkumpul untuk meresponi Penangkapan yang dilakukan kepada 8 aktivis Papua dan beberapa aktivis lain yang terancam akan dikriminalisasi. Penangkapan 8 Aktivis Papua dan ancaman kriminalisasi terhadap beberapa aktivis lain menjadi pukulan terhadap demokrasi Indonesia.
Pukulan ini menjadi titik balik bagi jaringan masyarakat sipil Semarang untuk kembali mempertanyakan apakah Demokrasi benar-benar dihormati di Indonesia atau hanya mainan para pihak yang berkepentingan. Dari hasil refleksi ini kemudian
Jaringan Masyarakat Sipil Semarang memutuskan untuk membuat sebuah wadah yang bertujuan untuk mewujudkan demokrasi yang sebenarnya dimana hak-hak rakyat dan suara rakyat dihormati. Wadah ini kemudian dinamai Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi (KMSD).
Yanuarius Adii koordinator KMSD kepada jurnalis Jubi melalui rilisnya mengatakan 8 aktivis ditangkap tanpa surat penangkapan, salah satu mahasiswi yang ditangkap bahkan dipukul ketika penangkapan. “Mereka terancam Kriminalisasi dikenai tuduhan Makar, “jelas dia, Selasa (10/9/2019).
“ Makar berasal dari bahasa Belanda “annslag” yang berarti “serangan” sehingga penyampaian pendapat baik pada aksi demo maupun media sosial bukanlah perbuatan makar,”
Menurutnya makar harus dikembalikan kepada makna sebenarnya karena sesat pikir kepolisian dalam memaknai makar sangat berpotensi terhadap berbagai pelanggaran hak asasi manusia.
Misalkan pemblokiran internet di Papua, menurutnya itu merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945. Karena setiap orang berhak untuk memperoleh informasi, hak ini dijamin didalam Pasal 28F UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Konsekeunsi dimuatnya hak ini memberi tanggung jawab kepada Pemerintah agar setiap warga terlindungi haknya. Bukan justru dilanggar.
Pembatasan hak tersebut dapat dilakukan namun dengan ketentuan yang telah diatur di dalam UU No 12 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa pembatasan dapat dilakukan apabila negara dalam keadaan darurat. Keadaan darurat tersebut harus ditetapkan secara resmi oleh Presiden sehingga pemblokiran internet yang dilakukan tanpa ketetapan darurat resmi dari Presiden. Dan Saat ini Pemerintah Mengklaim telah memulihkan akses internet di beberapa Provinsi di Papua namun masih ada delapan provinsi lagi yang belum di buka akses internetnya oleh Pemerintah.
Bahkan di beberapa wilayah yang telah pulih akses internet masih tetap terjadi pemblokiran terhadap beberapa website dan portal berita lokal .
Adii menjelaskan ada pemberitaan sepihak oleh media dan mengancam demokrasi. Ruang Demokrasi adalah ruang dimana masyarakat menjaga pemerintah berlaku sewenang-wenang. Segala upaya untuk menutup ruang demokrasi harus dilawan.
Pemberitaan sepihak dari Pemerintah melalui media mainstream adalah hegemoni narasi yang berpotensi menyuburkan praktik-praktik pelanggaran HAM. Media seharusnya menjadi ruang demokrasi bagi rakyat menyampaikan pendapatnya, bukan menjadi media pembentuk basis moral Pemerintah dan Korporasi untuk melegalkan pelanggaran HAM yang dilakukan.
Merujuk beberapa hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi (KMSD) Menuntut Pemerintah Indonesia untuk ;
1. Membebaskan Para Aktivis Papua yang telah ditahan dan bertanggung jawab atas pemulihan nama baik para aktivis.
2. Menghentikan segala upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh pemerintah kepada para Aktivis Papua.
3. Membuka akses internet di seluruh provinsi di Papua.
4. Membuka ruang demokrasi yang seluas-luasnya di Papua
5. Membuka akses jurnalis nasional dan internasional di Papua.
6. Menghentikan dan mengusut tuntas seluruh pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.
Sebelumnya Juru bicara internasional Komite Nasioal Papua Barat atau KNPB, Victor Yeimo meminta pengacara HAM Veronica Koman dan Jennifer Robinson untuk meminta para pelapor khusus Perserikatan Bangsa-bangsa untuk urusan pemenuhan hak asasi manusia atau HAM segera memberikan pandangan terkait situasi HAM di Papua. Pandangan itu dinilai penting di tengah maraknya upaya polisi melakukan penangkapan terhadap para aktivis politik dan HAM di Papua.
Yeimo berharap pengacara HAM Veronica Koman dan Jennifer Robinson dapat memberikan laporan perkembangan situasi Papua terhadap para pelapor khusus Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk urusan kebebasan berekspresi, pembunuhan kilat, perlindungan terhadap pembela HAM, kebebasan berkumpul, masyarakat adat, dan anti-rasisme.(*)
Editor: Syam Terrajana