Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Florentinus Tebai
Salah satu tujuan dari dibentuknya program “Kita Cinta Papua” (selanjutnya akan disebut KCP) adalah memajukan pendidikan dan keagamaan di Tanah Papua, baik melalui pendidikan, maupun rumah ibadat. “Melalui program ini, Kemenag memajukan pendidikan dan keagamaan di Papua. Kemenag juga akan memberi beasiswa kepada generasi muda Papua untuk mengikuti pendidikan di berbagai kota di Indonesia (Nasional.Sindonews.Com, Selasa, 14 Juli 2020).
Selain itu, program ini bertujuan untuk membangun relasi bersama para tokoh masyarakat. “Program lainnya adalah memperkokoh hubungan dengan tokoh-tokoh masyarakat adat di Tanah Papua.”
Artinya bahwa Kemenag telah mengambil komitmen untuk membangun dan memajukan Tanah Papua melalui pendidikan dan keagamaan serta para tokoh adat pada penghujung otsus sesuai UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua dan masifnya korban pelanggaran HAM, diskriminasi dan rasisme, ekspoitasi dan eksplorasi sumer daya alam (SDA) dan beragam persoalan lainnya.
Bila berpatokan pada paragraf di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa selama ini Pemerintah Indonesia tidak mencintai Papua. Pemerintah Indonesia (selanjutnya akan disebut Jakarta) tidak pernah berkomitmen untuk membangun dan memajukan Tanah Papua dalam segala aspek kehidupan masyarakat di Tanah Papua, dan itu sudah terbukti dalam era otsus nomor 21 tahun 2001, seperti, masifnya korban pelanggaran HAM, diskriminasi dan rasisme, ekspoitasi dan eksplorasi SDA, dan beragam persoalan lainnya.
Berdasarkan fakta inilah, maka penulis beranggapan bahwa program KCP adalah sebuah slogan yang digunakan oleh Jakarta untuk menutupi kesalahan dan keburukan yang dilakukan di Papua. Program “Kami Cinta Papua” sebagai slogan memusnahkan OAP.
Program KPC merupakan upaya Kemenag dalam menutupi beragam kejahatan yang sudah dan sedang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, seperti hiruk-pikuk dan masifnya isu pelanggaran (HAM) di West Papua, penolakan otsus, rasisme, tujuh tahanan rasisme, eksploitasi dan eksplorasi SDA, dialog Jakarta-Papua, marjinalisasi dan depopulasi OAP, dan dinamika persoalan sosial lainnya di Tanah Papua.
Program KCP juga merupakan upaya Jakarta untuk meredam suara kenabiaan yang diserukan oleh beragam denominasi Gereja di Tanah Papua, terutama para imam OAP lima keuskupan yang dimotori RD John Bunay untuk menyuarakan suara kenabian dengan mengeluarkan seruan untuk mengutuk rasisme, menolak ketidakadilan dan segala bentuk kekerasan kepada umat Tuhan di Tanah Papua pada 8 Juni 2020. Seruan ini kemudian dikenal dengan seruan 57 imam pribumi Papua.
Seruan 57 imam pribumi dari lima keuskupan itu sangat berpengaruh di tingkat lokal, nasional, maupun internasional, sebab baru kali inilah sejumlah besar imam Katolik OAP bersuara (secara terbuka) tentang situasi umat Tuhan di Tanah Papua.
Tahun 2020, wacana berakhirnya UU Otsus Papua menguat. Rakyat Papua gencar melakukan demonstrasi, aksi mimbar bebas dan menjalankan petisi penolakan otsus jilid 2.
Rakyat Papua menolak otsus dan meminta referendum. sebab, bagi rakyat Papua otsus bukanlah solusi atau penyelesaian konflik di Papua. Otsus hanya gula-gula politik Jakarta, sehingga rakyat Papua menuntut referendum sebagai solusi demokratis atas konflik yang terjadi di Papua.
Dengan melihat situasi ini pula, 57 imam OAP dari lima keuskupan mengeluarkan seruan Jilid II: 57 Pastor Katolik Pribumi Lima Keuskupan se-Regio Papua: Otonomi Khusus Jilid II Papua: “Tambah Dana untuk Membunuh Kami atau Menghargai—Mengangkat Harkat Martabat Orang Asli Papua Dalam NKRI di Tanah Warisan Leluhurnya.” (21 Juli 2020).
Dua hal utama dalam seruan 57 imam itu adalah:
Pertama, menggelar dialog antara pemerintah Jakarta dan UMLWP. “Sejauh yang kami lihat dan dengar dan ikuti di media sosial, semua elemen masyarakat akar rumput di Papua, mereka meminta pemerintah Indonesia untuk berdialog dengan ULMWP yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral, sebagaimana (dialog) yang dilakukan (pemerintah) dengan GAM di Aceh”,
Kedua, menggelar referendum bagi rakyat Papua. “Pemerintah membuat suatu keputusan politik yang spektakuler dan sangat prestisius untuk memberikan kesempatan referendum bagi Papua. Pemerintah menerima hasil apapun dari referendum Papua itu dan akan membantu sepenuhnya pembebasan Papua pasca keputusan politik yang hebat itu. Hal-hal ini jangan dipikirkan tentang untung atau rugi atas sumber daya alam di Papua.”
Akhirnya program KPC hanyalah slogan yang diluncurkan oleh Jakarta melalui Kemenag untuk menutupi segala bentuk kejahatan Jakarta terhadap OAP di Tanah Papua. Oleh karena itu, Gereja-Gereja, yayasan dan lembaga-lemba pendidikan di Tanah Papua yang bernaung di bawah lembaga keagamaan, mesti memikirkan dampak dari program KPC di Tanah Papua.
Program tersebut hanya sebagai sebuah slogan yang dibangun oleh Jakarta untuk meredam suara kenabian yang diserukan oleh denominasi Gereja di Tanah Papua, sekaligus bertujuan untuk menurunkan harkat dan martabat, kemitraan, roh, dan jati diri kemandiriannya dari denominasi Gereja di Tanah Papua, yang selama ini berdiri sendiri dengan berpegang teguh pada nilai-nilai injili dan kemanusiaan bagi kaum yang tertindas dan terpinggirkan.
Jika Kemenag “mencintai Papua”, maka Kemenag sebagai lembaga keagamaan harus mendukung seruan kenabiaan dari denominasi Gereja di Tanah Papua dengan mengangkat dan menyerukan empat akar persoalan utama (pelanggaran HAM, rasisme dan diskriminasi, ekploitasi dan eksplorasi SDA, serta pembangunan dalam bidang ekosob) di Tanah Papua.
Selain itu, semua pemangku kepentingan ikut bertanggung jawab dalam memajukan kualitas pendidikan di Tanah Papua. kementeriaan pendidikan nasional, dinas pendidikan dan kebudayaan provinsi dan kabupaten/kota di papua, dewan guru. Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Adat Papua (DAP), DPR Papua dan DPRD, LSM dan lembaga keagamaan dan yayasan pendidikan mempunyai hati dan tanggung jawab yang besar dalam menentukan maju –mundurnya kualitas pendidikan di Tanah Papua. (*)
Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura, Jayapura
Editor: Timoteus Marten