Kisruh MRPB dan DPR belum berakhir

Pamflet kritikan oleh MRPB yang dipajang menghadap ke kantor DPR Papua Barat. (Jubi/Hans Arnold Kapisa)
Pamflet kritikan oleh MRPB yang dipajang menghadap ke kantor DPR Papua Barat. (Jubi/Hans Arnold Kapisa)

Papua No. 1 News Portal | Jubi

 Manokwari, Jubi – Polemik antara Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat (MRPB) dan DPR Papua Barat jalur Otsus belum berakhir. Polemik ini berawal dari proses pengesahan tujuh Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Raperdasus) menjadi Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Papua Barat pada pertengahan Maret lalu oleh DPR Provinsi Papua Barat.

Read More

Yang menjadi pokok permasalahan adalah adanya saling klaim kewenangan soal Perdasus Pengangkatan Anggota DPRD Papua Barat dalam Kerangka Otonomi Khusus.

Kedua lembaga ini ngotot mempertahankan kewenangan masing-masing. DPR Otsus dengan fungsi legislasi tetap mempertahankan tujuh raperdasus tersebut, sedangkan MRPB lebih teliti dengan berikan catatan penolakan untuk perbaikan terhadap satu raperdasus yakni Pengangkatan Anggota DPR Papua Barat dalam kerangka Otsus.

Yulianus Thebu anggota MRPB yang juga merangkap sekertaris dalam tim verifikasi  Raperdasus menjelaskan alasan penolakan satu dari tujuh raperdasus itu. Menurutnya, ada sejumlah pasal yang menurut pertimbangan MRPB, tidak mengakomodir kepentingan  masyarakat adat.

“Kami tolak bukan untuk dibatalkan, tapi tolak untuk diperbaiki oleh DPR Papua Barat, karena berdasarkan pertimbangan kami, ada poin-poin di dalam raperdasus itu yang bukan untuk  kepentingan masyarakat adat,” ujar Yulianus dalam wawancara bersama Jubi di Manokwari Sabtu akhir pekan lalu.

MRPB juga mengklaim telah mendapatkan surat resmi berisi pandangan umum dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) melalui Ditjen Otda dengan nomor 188 34/923/OTDA Tanggal 8 Februari 2019. Surat itu, sebagai arahan pemberian  pertimbangan dan persetujuan terhadap Raperdasus pengangkatan anggota DPR Papua Barat dalam kerangka Otsus.

Sayangnya, meski ada rekomendasi untuk perbaikan, namun DPR Papua Barat telah mengesahkan tujuh Raperdasus itu dalam sidang paripurna belum lama ini. Sekarang, tujuh Raperdasus itu tingggal menunggu nomor registrasi dari Mendagri.

Menyikapi adanya sidang penetapan itu, MRPB menilai Raperdasus yang disahkan cacat hukum. Karena DPR Papua Barat telah melanggar ketentuan di dalam Perdasus Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Tugas, Wewenang, Hak dan Kewajiban Majelis Rakyat Papua Barat.

“Kami tetap menolak, karena dalam Pasal 12 ayat (2) Perdasus Nomor 6 Tahun 2012 dikatakan bahwa Raperdasus yang tidak mendapat persetujuan  MRPB sebagaimanana dalam pasal 1 tidak dapat ditetapkan sebagai perdasus,” Ujar Yulianus.

Disisi lain, Ketua DPR Papua Barat jalur Otsus, Yan Anthon Yoteni mengatakan, MRPB tidak punya kewenangan untuk menolak satu dari tujuh raperdasus tersebut. Menurutnya, penolakan MRPB justru baru muncul belakangan. Ia menegaskan, ruang untuk MRPB telah selesai sehingga DPR berhak untuk menetapkan tujuh raperdasus tersebut.

“Jadi tentang surat yang keluar dari Mendagri, itu  sudah kami klarifikasi, dan perintah dari Mendagri adalah kembali dan tetapkan. Yang penting penetapannya itu sesuai mekanisme kedewanan.  Yaitu penetapannya dalam bentuk paripurna dan memenuhi kuorum, maka itu sudah disahkan.  Kita tinggal tunggu ke tahap berikutnya yaitu registrasi ke Mendagri,” tuturnya.

Bagian kedua yang juga jadi polemik antara MRPB dan DPR Papua Barat jalur Otsus, adalah kewenangan lembaga untuk melakukan Pergantian Antar Waktu (PAW) terhadap Anggota DPR Papua Barat di kursi Otsus.

Yan Anthon Yoteni, Ketua DPR Papua Barat jalur Otsus ini mengatakan, lembaga MRPB bukan partai Politik yang punya kewenangan untuk melakukan PAW terhadap Anggota DPR Papua Barat jalur Otsus.

“Usulan dari MRPB itu sudah kami luruskan di Kemendagri, bahwa tidak ada UU yang mengatur MRPB bisa PAW anggota DPR karena kita ini sama-sama atas rekomendasi masyarakat  adat. Jadi nanti masyarakat adat yang usulkan pergantian jika ada pelanggaran,” ujar Yoteni.

Dia  juga berharap, MRPB  cukup menjalankan fungsi kelembagaannya dan tidak melampaui kewenangan lembaga lain. (*)

Editor : Edho Sinaga

Related posts

Leave a Reply