Kisah peredaran kayu ilegal dari hutan Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi ,

Avit Hidayat, Jurnalis Tempo menyampaikan pengalamannya melakukan investigasi mengenai peredaran kayu illegal dari hutan Papua. Avit hadir sebagai salah seorang narasumber dalam diskusi bertema “Hutan Papua dan Sengkarut Legalitas Kayu”.

Diskusi ini dilaksanakan Auriga Nusantara, Eyes on The Forest, Betahita.id, Tempo Institute, Free Press Unlimited, dan Tempo Media Grup di Jakarta, Senin, 28 Januari 2019. Hadir beberapa narasumber lain, seperti Laode M. Syarif (Komisioner KPK), Rasio Ridho Sani (Gakkum-KLHK), Hilman Nugroho (PHPL-KLHK) Muhamad Kosar (JPIK), Timotius Murib, (Majelis Rakyat Papua). Berbagai pihak dari Papua menghadiri diskusi ini. Ada masyarakat adat, DPR Papua, dan Dinas Kehutanan Provinsi Papua. 

Avid mengatakan bahwa penting bagi publik untuk mengetahui tentang kondisi Papua.

“Hutan tropis di Papua adalah yang terakhir di Indonesia, khususnya kayu merbau yang menjadi kayu endemik Papua dan menjadi incaran di Pasar internasional,” ujarnya.

Penelusuran dilakukan di berbagai tempat dan mewawancarai banyak narasumber. Di Papua tim Tempo masuk hingga ke lokasi penebangan. Mereka melihat bagaimana para pekerja yang didatangkan dari luar Papua melakukan aktivitas penebangan liar.

Tim Tempo juga menemui tukang angkut, tukang ukur kayu, sopir, pertugas perusahaan HPH dan industri primer.

“Yang paling penting kami menemui supplier. Supplier ini adalah kaki tangan dari perusahaan-perusahaan industri yang masuk ke hutan menemui ondo–istilahnya ketua adat untuk membayar. Misalkan di dalam satu kampung ada beberapa ulayat, dia yang kafling begitu. Kemudian tiap bulan dia membayar itu ke masyarakat memberikan ganti rugi.”

Menurut Avid, ganti rugi yang diterima masyarakat jumlahnya bervariasi, mulai dari 500 ribu hingga 1,5 juta rupiah.

Tim tempo juga menemui pemilik perusahaan. Pimpinan perusahaan mengakui praktik pembalakan liar ini. Namun, mereka menyebutnya sebagai kayu masyarakat yang tidak ada dalam sistem.

Di Distrik Aroba, Teluk Bintuni, Papua Barat, tim Tempo masuk ke wilayah perusahaan yang mendapat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA). Dulu IUPHHK-HA dikenal sebagai Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Di sana tim ini menemukan banyak barcode (kode batang) yang dipalsukan. Ada kasus dimana barcode untuk kayu ketapang digunakan untuk kayu merbau.

Tim Tempo juga menelusuri industri primer di Papua, Surabaya, Lumajang, Gresik untuk mengikuti aliran kayu-kayu ini. Dari sini mereka mendapat temuan lain, yaitu data pengangkutan palsu dan keterlibatan petugas.

Prakik pungutan liar juga tidak luput dari penelususan Tempo. Dalam perjalanan dari Sarmi hingga Kota Jayapura ditemukan 25 pos pungutan. Pos-pos ini, antara lain, milik adat, polisi (militer), bahkan Dinas Kehutanan.

“Ini fakta yang kami temukan. Cuma waktu itu saya tidak mengabadikan karena terlalu riskan. Bahkan juga kami melihat truk militer yang digunakan untuk mengangkut kayu balok.” 

Tim Tempo menemui perusahaan-perusahaan yang melakukan ekspor. Ada temuan di mana perusahaan mengekspor hingga 6.000 meter kubik per tahun, pahadal dalam Sistem Informasi Penataan Hasil Hutan (SIPUH), mereka hanya menerima produksi sekitar 100 meter kubik.

“Di Surabaya kami ke kapal tongkang. Dia bilang kalau tidak semua kayu berbarcode. Perusahaan  sengaja mensisipkan kayu-kayu yang tidak berbarcode atau kayu-kayu illegal masuk ke situ. Rata-rata pelakunya HPH. Bahkan biasanya menitipkan kayu-kayu dalam bentuk balok, diselipkan dalam bentuk tumpukan kayu bulat.”

Namun temuan-temuan ini tidak ada dalam laporan hasil audit industri yang sudah terdaftar dalam Sistem Verifikasi dan Legalitas kayu (SVLK). Melalui sistem ini, ada Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (LP-PHPL) dan Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LV-LK). Tugas mereka adalah melakukan penilaian kinerja PHPL dan melakukan verifikasi legalitas kayu berdasarkan sistem dan standar yang telah ditetapkan pemerintah.

“Kami juga mendapat informasi keterlibatan LV-LK dan LP-PHPL yang isitilahnya bermain-main dengan perusahaan maupun dengan oknum pejabat di kehutanan. Kalau saya baca sudah pernah diidentifikasi oleh KPK.”

Salah satu narasumber dari Komiter Akreditasi Nasional (KAN) memberi pernyataan bahwa ada suap-menyuap lembaga LVLK. Seringkali laporan audit selesai sebelum dilakukan penilikan di lapangan.

Para peserta yang hadir mengapreasiasi hasil investigasi Tempo ini. Mereka berharap pemerintah segera mencarikan solusi, baik dari sisi regulasi, maupun pengawasan dan penegakan hukum.

Salah satu perwakilan LVLK yang hadir menyanggah isi pemberitaan Tempo terkait suap di LVLK. Namun Avid menyatakan bahwa hingga diskusi ini berlangsung tidak ada satu pun para narasumber yang mencabut pernyataan dan tidak ada pihak yang mengajukan protes atas hasil investigasnya.

Agung Wijaya, redaktur Avid dalam liputan ini mengatakan, sempat khawatir dengan keselamatan Avid selama melakukan investigasi. Namun akhirnya bisa selesai dan dipublikasikan.

Tempo menelusuri kasus ini sejak 2017. Mengeluarkan hasil investigasinya pun menjadi beban moril untuk Tempo. Karenanya Tempo akan terus mengawal isu ini. Tempo juga terbuka jika dilibatkan dalam pertemuan berikut untuk membahasnya lebih jauh.

“Melalui liputan ini, Tempo berusaha melihat secara menyeluruh meskipun tidak memberi jawaban solusi. Solusi ada di bapak-bapak sekalian.” (*)

Related posts

Leave a Reply