Kisah empat penyelamat pangan lokal, Chatto dari Papua

papua
Charles Toto saat menjadi pembicara pada webinar yang diadakan The Samdhana Institute -Dok. Jubi.

Papua No.1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi– Empat pemuda di Indonesia menginisasi penyelamatan pangan lokal untuk mengatasi krisis sosial ekologi. Mereka adalah Maria Loretha dan Dicky Senda di Nusa Tenggara Timur, Charles Totto di Papua, dan Modesta Wisa di Kalimantan Barat.

Read More

Mereka berbagi cerita perjuangan yang mereka lakukan dalam acara Seri Diskusi “CangKir KoPPI” atau “Berbincang dan Berpikir Kreatif Kelompok Perempuan dan Pemuda Inspiratif”. Acara webinar yang dimoderatori Paramita Iswari tersebut diadakan The Samdhana Institute pada Senin (23/11/2020).

Dalam diskusi dengan topik “Ketahanan Pangan Lokal untuk Mengatasi Krisis Sosial Ekologi”, Maria Loretha menceritakan perjuangannya mengumpulkan benih tanaman lokal di Flores sejak 2007.

Benih seperti sorgum, jelai, beras hitam, dan jewawut ia bagi-bagikan kepada petani untuk ditanam kembali demi menyelamatkan tanaman lokal.

“Kita omong kosong berdaulat pangan tanpa berdaulat benih… omong kosong juga jika memiliki bank benih atau lumbung benih, tetapi tidak menanamnya,” kata Maria Loretha yang pernah mendapat penghargaan KEHATI Award kategori Prakarsa Lestari Kehati pada 2012.

Menurut Loretha, Flores memiliki benih lokal yang sangat adaptif dan tahan terhadap kondisi kekeringan. Termasuk jenis padi yang tahan dengan kekeringan.

Benih seperti itu sangat cocok di Flores yang sangat terbatas air dengan tanah berbatu. Selain itu Flores juga memiliki iklim tropis yang sangat panas dengan curah hujan yang sangat rendah. Bahkan di daerah tertentu hujan lebat hanya tiga minggu.

Meski dengan kondisi seperti itu, ternyata masyarakat tradisional Flores memiliki kekayaan benih lokal yang masih mereka pelihara, terutama di daerah-daerah yang jauh dari jangkauan.

“Di sinilah muncul kekuatan bahwa benih-benih lokal tersebut masih ada, masih disimpan, masih dirawat, masih dilestarikan dan ditanam oleh petani-petani yang mencintai benih lokalnya,” katanya.

Maria Loretha tidak hanya mengumpulkan benih lokal, tetapi juga menanam dan menjadikan makanan olahan.

Dicky Senda menggunakan pendekatan seni-budaya untuk menyelamatkan pangan lokal dan mengatasi krisis sosial ekologi di kampungnya, wilayah Pegunungan Mollo di Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT.

Dicky adalah sastrawan dengan sejumlah karya, di antaranya buku kumpulan cerpen Kanuku Leon (2013) dan Hau Kamelin dan Tuan Kamelasi (2015). Ia memilih berhenti menjadi guru di sebuah sekolah dan memutuskan pulang kampung beraktivitas bersama masyarakat dengan mendirikan komunitas Lakoat.Kujawas.

“Kami memulai langkah-langkah strategis kami sebagai orang muda masyarakat adat dengan kerja-kerja pengarsipan, pendokumentasian, semangat revitalisasi kampung atau desa,” katanya.

Kegiatan itu dinamai ekosistem warga aktif (active citizen) dengan model kewirausahaan. Pengalaman Dicky sebagai sastrawan, penulis, dan penggiat komunitas kesenian memuluskannya mengajak warga melalui kegiatan seni-budaya.

“Ternyata dengan memakai medium seni-budaya sangat efektif masuk ke dalam gerakan berbasis masyarakat,” ujarnya.

Dicky dan Lakoat.Kujawas aktif menggali dan mengaktualkan pangan lokal. Selain itu juga melakukan kegiatan literasi, budaya, dan ekowisata.

Dicky pernah terpilih sebagai salah satu tokoh muda “Drivers to Change” dan mengikuti pembelajaran kewirausahaan sosial di Inggris yang difasilitasi British Council.

Charles Toto adalah pemuda Papua yang terkenal sebagai perawat kuliner Papua. Pendiri “Papua Jungle Chef Community” (PJCC) ini berkeliling ke pedalaman Papua dan hutan belantaranya untuk mengeksplorasi kuliner tradisional. Tujuannya agar kuliner Papua tidak punah dan bisa mendunia.

“Pekerjaan saya adalah tukang masakan yang mengumpulkan resep-resep tradisional Papua, mulai dari wilayah selatan Papua hingga utara Papua,” kata Charles Toto yang terkenal dengan panggilan “Chato”.

Chato mengisahkan kegiatan yang dimulainya sejak 1997. Waktu itu ia mendapat kesempatan membantu sebuah agen perjalanan melakukan trip mengantar turis asing berkeliling wilayah Papua. Mereka melihat budaya, alam, dan mengekplorasinya untuk penelitian.“Di wilayah selatan Papua kami mengumpulkan dari Merauke, paling ujung wilayah Indonesia, terus ke wilayah Sorong dan Raja Ampat, kegiatan kami mendata resep-resep tradisional, baik di daerah pegunungan maupun rawa sampai di daerah pesisir pantai,” katanya.

Dari kegiatan tersebut Chato menyadari masih banyak resep tradisional Papua yang perlu diangkat.

“Selama ini orang Indonesia hanya mengenal kuliner khas Papua adalah papeda dan ikan kuah kuning, padahal kedua makanan itu adalah degradasi masakan Papua yang dipengaruhi masakan Sulawesi dan Maluku,” ujarnya.

Dengan pengetahuan kuliner yang dimilikinya, Chato bisa membawa cita rasa Papua ke mana-mana. Di antaranya ke Festival Slow Cooking Terramadre di Torino, Italia.

Modesta Wisa adalah perempuan muda Dayak yang aktif mendorong pewarisan tradisi. Ia memelopori pendirian Sekolah Adat Samabue (SAS) untuk anak muda agar memiliki kesadaran kritis pentingnya melestarikan adat, budaya, kearifan lokal, dan menjaga lingkungan.

Melalui SAS, Wisa menggagas gerakan pulang kampung untuk ketahanan dan kedaulatan pangan di Menjalin, Kalimantan Barat. Gerakan pulang kampung ditujukan kepada anak-anak muda yang sudah pergi ke kota agar bisa kembali ke kampung ikut melanjutkan kegiatan orang tua.

“Agar anak-anak muda pulang kampung terlibat dengan kegiatan orang-orang tua di ladang mereka, sebab kami masih punya sawah-ladang dan ritual-ritual adat yang harus diwariskan,” katanya.

Wisa menyampaikan keprihatinan melihat kondisi masyarakat di kampungnya yang mulai kehilangan tanaman lokal. Ia mencontohkan beras yang didatangkan dari luar.

“Dulu kami punya padi palawang dan beras cidane, sekarang tidak banyak lagi,” katanya.

Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri Dr. Hari Nur Cahya Murni dalam sambutannya mengatakan pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling vital.

“Sebab jika manusia tidak makan bisa mati, ini bisa disejajarkan dengan kebutuhan terhadap air, jika manusia tidak minum bisa mati, tapi di Republik Indonesia soal pangan dan air dari sisi dukungan kebijakan penganggaran tak ada persentase secara khusus yang mendukung ini,” ujarnya.

Ia membandingkan dengan pendidikan yang diwajibkan melalui regulasi anggaran 20 persen. Sedangkan untuk pangan dan air yang merupakan kebutuhan manusia paling utama tidak ada pengaturan terkait itu. Tidak ada regulasi dari pusat hingga daerah yang mengaturnya.

“Menurut saya harus ada dan harus menjadi perhatian kita bersama,” ujarnya.

Menurutnya pemerintah pusat dan pemda juga bertanggung jawab atas ketersediaan pangan di daerah dan pengembangan produksi pangan lokal di daerah. Selain itu pemerintah daerah juga berkewajiban mewujudkan penganekaragam konsumsi.

Terkait isu pangan, Hari juga menyinggung para calon kepala daerah di 270 daerah yang akan dipilih pada pilkada seretak 9 Desember 2020.

“Ketika tidak mencantumkan pangan lokal menjadi program prioritas mereka di dalam visi dan misi, maka tidak usah dipilih,” ujarnya.

Deputy Director The Samdhana Institute Dr. Martua Sirait dalam pembukaan webinar mengatakan wilayah adat merupakan lumbung pengetahuan dan lumbung pangan dalam menghadapi krisis sosial dan ekologi.

Karena itu semangat dan kisah para pemuda yang menginisasi mengangkat pangan lokal perlu dibagi untuk menjadi pembelajaran bersama. (*)

Editor: Syofiardi

Related posts

Leave a Reply