Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Seorang perupa asal Indonesia yang saat ini bermukim di London, inggris memamerkan karya instalasinya yang berkisah tentang korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Papua melalui platform digital instagram. Karya instalasi ini sudah dipamerkan di High Holborn, London, Inggirs pada tanggal 29 Februari sampai 11 Maret dalam sebuah pameran berjudul “Paradise Island”.
“Pameran ini menceritakan kehidupan masyarakat Papua. Dibalik pantai yang indah dan budaya yang kaya, masyarakat Papua ditindas dan tanah mereka dieksploitasi. Karena pandemic()Covid-19) ini tidak memungkinkan saya untuk menunjukkan pameran secara fisik, saya sedang mencoba untuk membuat pameran digital,” jelas Henri Affandi, perupa yang sat ini masih menempuh studinya di Wimbledon College of Arts, University of the Arts London kepada Jubi melalui pesan WhatsApp, Selasa (2/6/2020).
Henri mengerjakan karya seninya itu karena terdorong oleh pernyataan Mahfud MD atas dokumen yang berisi nama 243 korban sipil yang tewas di Nduga sebagai sampah. Pernyataan ini, lanjutnya mencerminkan pandangan negara terhadap orang Papua yang berkulit hitam, termasuk anak-anak yang bahkan tidak bertahan satu hari pun.
“Sayangnya, hal ini hanya satu dari banyak kasus lain yang nama korbannya tidak tercatat,” ujar Henri yang kerap berkolaborasi dengan seniman manca negara lainnya memproduksi karya seni pertunjukan yang menggabungkan seni musi, seni tari, seni teater dan seni rupa..
Material yang digunakan untuk karya instalasinya selama ini cukup bervariasi karena bergantung pada jenis konsep yang ingin dia sampaikan. Sejauh ini, dia telah merangkai instalasi menggunakan kain batik, tenun, cetak saring , lukisan, karya suara, dan juga 3d digital modeling.
Karya instalasi tentang pengungsi Nduga ini diberikan judul “Sampah (Rubbish)”. Instalasi ini menggunakan resi/struk sebagai material utama. Ide ini, jelas Henri, lahir dari konsep pemberian ganti rugi, di mana pihak yang bertanggung jawab atas kematian warga sipil yang terjebak dalam baku tembak seharusnya memberikan ganti rugi. Namun mencantum harga kepada nyawa yang hilang seakan-akan memberikan implikasi bahwa pemerintah dapat menyelesaikan masalah tersebut hanya dengan memberikan sejumlah uang kepada keluarga yang ditinggalkan. Henri menukar angka tersebut dengan umur para korban untuk memberi pernyataan bahwa pemerintah telah merampas masa depan mereka. Resi yang ada di karya “Sampah” tidak hanya berisi nama-nama korban Nduga, namun juga terdapat nama korban kekerasan di Papua dari tahun 1960.
“Karya tersebut akan terus berkembang, dimana saya akan menambah nama-nama korban yang selama ini belum diketahui dan belum didokumentasi,” jelas Henri.
Dalam deskripsi karyanya, Henri memberikan hastag #BlackLivesMatter dan #Papualivematter. Gerakan #BlackLivesMatter, kata Henri, adalah respon terhadap rasisme yang dibangun secara sistematis sejak era kolonial Eropa. Sayangnya, sistem opresif ini masih berlangsung hingga kini, dan dapat dijumpai di banyak lokasi.
“Orang-orang yang berkulit hitam, terlepas dari mereka berada di Minneapolis atau Jayapura, mengalami ketidakadilan yang sama,” tegasnya.
Menurut perupa asal Bandung ini, apa yang sedang terjadi di Amerika Serikat bukanlah konflik yang terisolasi. Sebab kita telah melihat banyak kasus serupa di Inggris, Brazil, Italia, Tiongkok, dan negara-negara lain di mana seseorang menjadi sasaran karena warna kulitnya.
“Untuk mengabaikan rakyat Papua dan mengatakan bahwa yang dialami mereka tidak ada korelasinya dengan gerakan BLM sama dengan meremehkan apa yang mereka telah dan sedang alami,” lanjut Henri.
Henri mendefiniskan karyanya sebagai sebuah upaya menilai kembali sikap bias masyarakat terhadap nasionalisme. Ia berharap bahwa karyanya dapat membuat orang-orang yang melihatnya bertanya-tanya apakah yang mereka ketahui (tentang Papua) adalah kebenaran atau buah dari propaganda.
“Berakar dari konsep-konsep politik and budaya, karya saya bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan isu imperialisme budaya dan hak masyarakat adat,” jelasnya.
Henri mengaku menjadikan kejadian yang dialami mahasiswa asli Papua di Surabaya pada Agustus lalu sebagai riset awalnya tentang Papua dan sejarahnya. Karena pemahamannya masih sangat terbatas, ia menghabiskan waktu kurang lebih sembilan bulan untuk mendalami isu-isu tentang Papua, baik dari sisi politik maupun antropologi.
“Saya percaya bahwa sebagai senimal visual, saya bertanggung jawab untuk mendidik masyarakat luas melewati karya. Dan saya sendiri mempunyai tanggung jawab untuk melawan penindasan terhadap masyarakat Papua,” ungkap Henri.
Henri menyadari bahwa isu Papua sangat sensitif bagi pemerintah Indonesia. Beberapa aktivis yang menyuarakan isu Papua bahkan menjadi korban kriminalisasi. Namun sebagai seorang seniman, ia mengumpulkan fakta dan data, dan menuangkannya ke dalam karya visual. Pada akhirnya, ia ingin karyanya menjadi topik perbincangan dan bisa membuat orang-orang berpikir secara independen.
“Karena karya saya memiliki arti dibaliknya, saya rasa itu cukup untuk memperkenalkan suatu isu kepada orang-orang yang melihatnya. Saya tau bahwa mungkin seni tidak dapat mengubah dunia, tetapi saya percaya bahwa penikmatnya dan respon mereka terhadapnya sanggup untuk melakukannya,” ujar Henri. (*)