Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Vredigando Engelberto Namsa, OFM
Lembaga perwakilan merupakan suatu kekuatan dalam demokrasi, karena lembaga ini menjadi tempat menampung segala keluh-kesah dan aspirasi rakyat. Segenap keinginan atau kemauan masyarakat pada umumnya disalurkan melalui lembaga perwakilan rakyat yang dibentuk secara demokratis, yakni melalui jalan pemilu yang diadakan tiap lima tahun sekali.
Melalui naungan partai politik (parpol), para wakil rakyat dipilih secara langsung oleh rakyat tanpa paksaan pihak lain. Rakyat memilih dengan hati nuraninya untuk menentukan siapa yang akan menjadi wakil-wakilnya dalam roda pemerintahan dan perhelatan parpol. Para wakil itulah yang kelak akan menyuarakan segala keinginan rakyat.
Agar sistem demokrasi dapat berjalan dengan baik, lembaga perwakilan sangat dibutuhkan, karena lembaga perwakilan merupakan wakil rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini berarti rakyat telah mempercayakan segala hal yang berkaitan dengan kelangsungan hidupnya kepada badan perwakilan.
Intinya keberadaan badan perwakilan merupakan karakteristik utama bagi sistem politik yang menganut paham demokrasi. Namun, seiring perkembangan zaman, justru kinerja para perwakilan rakyat telah menuai gugatan dan pertanyaan kritis dari rakyat.
Perkembangan teknologi akibat dari globalisasi justru memperlemah kinerja lembaga perwakilan dan parpol. Hingga kini, kinerja lembaga perwakilan dan parpol menjadi persoalan yang sangat berat dan hangat dibicarakan.
Berikut beberapa polemik yang terjadi:
Pertama, para wakil rakyat yang telah terpilih seringkali lalai melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat. Dengan kata lain, “gelar wakil rakyat” hanya sekadar nama yang tidak berfaedah.
Kelalaian lembaga perwakilan rakyat dapat kita saksikan saat rapat paripurna; banyak anggota yang tidak hadir–yang dapat dibuktikan dengan banyaknya kursi kosong saat rapat. Padahal, rapat paripurna merupakan urusan paling penting, karena di situ akan dibahas persoalan-persoalan masyarakat.
Lantas kita bertanya, kemanakah perginya para wakil rakyat? Tidak hanya itu saja, banyak ditemukan pada saat rapat paripurna berlangsung, banyak anggota dewan perwakilan yang tidak serius mengikuti rapat;
Kedua, kurangnya perhatian lembaga perwakilan terhadap rakyat karena didominasi oleh kepentingan partai mereka.
Selain itu, kurangnya perhatian lembaga perwakilan terhadap kepentingan rakyat disebabkan karena kepentingan partai dan dominasi para elite tertentu.
Misalnya, rakyat menginginkan pendidikan murah, tapi lembaga perwakilan tetap ingin memperoleh keuntungan kelompok dan partainya. Sementara keterlibatan partai hanya untuk menjadikan para pengurus yang telah duduk di lembaga perwakilan tetap bertahan dan menduduki kursi kekuasaan.
Keadaan ini mencolok dalam kondisi kurangnya keterlibatan masyarakat terhadap pengambilan keputusan-keputusan politik. Pengurus partai juga diisi oleh elite-elite yang memiliki modal dan pengaruh kekuasaan dari kader-kader partai;
Ketiga, parpol dijadikan sebagai kekuatan seorang penguasa yang mengatasnamakan rakyat untuk memperoleh kekuasaan. Para politisi yang menjarah uang rakyat lewat perebutan posisi menjadi hal yang sering muncul. Belum lagi bagaimana mereka membuat perundang-undangan yang mengatur sumber daya alam dan uang negara, bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan mereka.
Karier menjadi politisi tidak hanya mendapatkan penghasilan yang tinggi dan harta berlimpah, tetapi juga mampu mendapatkan kekuasaan. Parpol memang menjadi kekuatan yang mengancam rakyat selama tidak digerakkan oleh prinsip demokrasi untuk rakyat, tetapi keinginan untuk mendapatkan untung;
Keempat, agenda dan program parpol belum memenuhi kebutuhan-kebutuhan penting rakyat. Lembaga perwakilan rakyat dan parpol dalam membuat agenda dan programnya belum memenuhi semua kebutuhan penting rakyat. Hal ini terbukti dengan sedikitnya kebutuhan rakyat yang mereka perjuangkan.
Saat terjadi perubahan politik ekonomi dalam negara, respons lembaga perwakilan kerap kali lamban. Beberapa masalah ekonomi seperti kenaikan BBM, tarif listrik yang tinggi, dan tingginya biaya pendidikan kurang mendapat respons yang besar dan luas, padahal tema-tema seperti ini memiliki efek langsung pada kehidupan rakyat sehari-hari.
Agaknya kinerja lembaga perwakilan terhadap kepentingan rakyat kurang diperhatikan. Sementara kepentingan rakyat merupakan sebuah kebutuhan yang mestinya diprioritaskan, sehingga rakyat dapat sejahtera.
Korupsi publik makin menjadi-jadi
Masalah serius yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah korupsi publik, yang pada dasarnya makin menjadi-jadi, meski dicatat bahwa korupsi publik di Indonesia merupakan sebuah pokok besar dan hampir tak mungkin dibahas dalam beberapa halaman saja, yang secara umum diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk mengakumulasi keuntungan pribadi (bdk. Mac Millian Reformasi Korupsi, hlm. 25).
Menurut Frank Volg, korupsi setidaknya melibatkan tiga faktor: Pertama, pencurian dana publik oleh para pemimpin pemerintahan, pejabat publik senior dan kroni-kroninya;
Kedua, sogokan yang dibayarkan kepada mereka yang memegang kekuasaan sektor publik, bahkan hingga sampai pada tingkat terendah dari pelayanan sipil, oleh mereka yang mencari bantuan khusus;
Ketiga, pemerasaan oleh para politisi dan PNS untuk memperoleh pembayaran gelap dari masyarakat biasa dan para pebisnis dengan mengancam bahwa mereka akan mendapat konsekuensi-konsekuensi pahit jika tidak membayar atau dengan tidak memberi mereka pelayanan.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi masalah korupsi. Indonesia tercatat sebagai salah satu negara paling korup di dunia. Pada 1998, tahun kejatuhan rezim Soeharto, tercatat dalam indeks persepsi korupsi dari Transparency International (TI), menempatkan Indonesia pada peringkat 80 dari 85 negara.
Namun, secara berturut-turut, pada 1999, lembaga ini menempatkan Indonesia pada peringkat 96 dari 99 negara, tahun 2000 pada peringkat 85 dari 90 negara dan pada 2001 peringkat 88 dari 91 negara.
Korupsi publik di Indonesia sudah menjadi kanker dan hampir tidak bisa diobati lagi. Meskipun semua upaya sudah dilakukan untuk memberantas korupsi, antara lain, dengan mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2002, sebuah lembaga anti korupsi tersentralisasi, korupsi publik Indonesia masih mewabah di hampir setiap tingkat sektor publik hingga hari ini.
Pada 2012, setelah 10 tahun kerja keras KPK, Indonesia masih menduduki peringkat sebagai salah satu negara paling korup di dunia (posisi ke-118 dari 174 negara). Peringkat korupsi di Indonesia tahun 1998-2012 berada jauh di bawah Denmark, Swedia, dan Singapura, yang sangat bersih dari masalah korupsi.
Masalah ketidakadilan
Masalah ketidakadilan merupakan masalah yang marak dibicarakan di ruang publik. Masalah ketidakadilan di negeri ini lebih didominasi oleh para penguasa yang menekan kaum miskin.
Masalah ketidakadilan di Indonesia adalah sebagai berikut: penyingkiran rakyat miskin karena demokrasi dikuasai oleh kaum kapitalis. Sejenak kita bertanya mengapa rakyat miskin menjadi tersingkir? Bukankah rakyat berhak ikut serta dalam demokrasi?
Penyingkiran terhadap rakyat miskin dikarenakan demokrasi dikemudikan oleh kaum kapitalis yang hanya memberikan uang dan modal untuk mendapatkan kekuasaan. Kelompok miskin menjadi tertindas karena demokrasi tidak begitu mementingkan kebutuhan-kebutuhan mereka. Saat ini demokrasi tidak menunjukkan keberpihakannya pada rakyat.
Demokrasi Pancasila tidak dijalankan sesuai dengan hakikat pancasila karena dijalankan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan sendiri di dalamnya. Saat ini lebih benar jika kita mulai bertanya, sebenarnya dimana demokrasi itu meletakkan keberpihakannya, pada rakyat kecil atau orang-orang kaya?
Di samping itu, ada banyak koruptor yang bisa keluar dari penjara dengan seenaknya karena perlindungan aparat setempat. Mereka itulah kaum-kaum kapitalis yang bisa membeli apa saja demi kepentingan mereka, terutama demi memperoleh kekuasaan. Hal-hal ini menunjukkan kepada kita bahwa demokrasi di Indonesia tidak berjalan dalam koridor yang sebenarnya.
Demokrasi kita masih sangat arkhais, bar-bar dan menyebabkan begitu banyak ketimpangan. Padahal idealnya sebuah tata demokrasi yang sesungguhnya adalah rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Aturan hukum yang dikuasai oleh penguasa
Kekuasaan penjahat demokrasi di Indonesia menunjukkan bagaimana mereka dapat memberikan sumbangan besar terhadap kekuasaan. Kekuasaan penjahat demokrasi yang menindas kedaulatan rakyat makin merajalela ketika wilayah kekuasaan menyebar dan sistem demokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Walaupun terkenal dengan negara yang korup, sedikit sekali koruptor yang dihukum di Indonesia. Inilah kepincangan dan ujian bagi demokrasi di Indonesia, apalagi menjelang Pemilu 2019.
Mirisnya, semakin besar uang yang dikorupsi, semakin besar pula peluang lolos dari jeratan hukum. Semakin banyaknya uang yang mereka dapatkan dari hasil korupsi, semakin mudah bagi mereka membeli hukum di negeri ini. Yang lebih ekstremnya lagi, para koruptor yang memakan uang miliaran hanya sebentar saja dalam penjara, sedangkan rakyat biasa yang mencuri sandal atau ayam tetangganya mendapatkan hukuman yang lebih lama.
Para penegak hukum sangat mudah untuk dibeli, dan itu sebabnya penegak hukum banyak didemo massa, bahkan ada kantor pengadilan yang dibakar massa karena memutus perkara dengan cara tidak adil (Mohammad Ikhsan Mahar, Pemilu 2019 dan Ujian Demokrasi, dalam Kompas, Rabu 4 Juli 2018).
Situasi ini makin menuntut munculnya kepemimpinan yang terdiri dari orang kuat, yakni kepemimpinan yang mampu menangani masalah yang berhubungan dengan rakyat, agar rakyat dapat hidup makmur, sejahtera dan dapat memenuhi harapan rakyat sendiri. Kekuatannya didasarkan pada kemahirannya dalam mencegah penindasan pada kedaulatan rakyat.
Sekarang ini masa di mana para penjahat demokrasi mengubah prinsip kedaulatan. Kedaulatan bukan lagi ada ditangan rakyat, melainkan ada ditangan mereka.
Kekuatan penjahat demokrasi rentan merangsek masuk dalam dunia pemerintahan, terutama pemerintahan militer yang menjadi aparat keamanan bagi rakyat, berubah menjadi aparat keamanan bagi penguasa dan orang-orang berduit. Dengan uang aparat keamanan dapat disogok, sehingga kinerja mereka bukan lagi untuk mengamankan rakyat, melainkan untuk mengamankan kaum kapitalis dan para penguasa. (*)
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana STFT Fajar Timur Abepura, Papua
Editor: Timo Marten