Papua No.1 News Portal | Jubi
Margaret Teobasi Tadokata mengungkapkan bahwa kekacauan dan kerusuhan mematikan yang sedang terjadi di ibu kota Kepulauan Solomon, Honiara, saat ini memiliki kemiripan dengan konflik antaretnis yang memaksa ia dan segenap keluarga mudanya untuk meninggalkan negara itu lebih dari dua dekade lalu.
Teobasi Tadokata tiba di Australia pada tahun 2000 bersama suaminya dan bayinya yang saat itu baru berusia dua bulan.
Ketegangan antaretnis itu dimulai dari perkelahian antara orang-orang dari Pulau Guadacanal, pulau dimana ibu kota Honiara berada, dan warga dari pulau terpadat di negara itu, Provinsi Malaita.
Dari 1998 hingga 2003 konflik etnis internal antara militan di Malaita dan Pulau Guadalcanal yang berdekatan dikenal sebagai ‘the tensions’.
Diperkirakan ada setidaknya 200 orang yang meninggal dunia selama periode itu.
“Suami saya berasal dari Guadalcanal sementara saya aslinya dari Provinsi Malaita, kami meninggalkan Kepulauan Solomon karena kami tidak bisa bersatu dan tinggal bersama-sama sebagai satu keluarga di sana pada saat-saat itu,” kisah Teobasi Tadokata yang sekarang tinggal di kota Melbourne, Australia.
“Kami tidak bisa pergi ke Guadacanal. Daerah itu tidak aman bagi saya sebagai orang Malaita. Dan kami juga tidak bisa pergi ke Malaita, karena daerah itu tidak aman bagi suami saya. Situasi saat itu sangat tidak aman, sangat menakutkan bagi kami. Jadi oleh karena itu kami melarikan diri dari negara itu dan kami datang ke Australia.”
Masih teringat jelas di benak Teobasi Tadokata ketika pasukan dari Guadalcanal datang ke rumahnya, mencari suaminya untuk melukainya.
“Mereka sebenarnya mencari dia untuk menyakitinya, jadi kami bersembunyi selama beberapa hari sampai kami mendapatkan visa dan kami bisa keluar dari negara itu,” katanya.
Teobasi Tadokata menonton melalui berita di televisi dan pos di media-media sosial ketika kerusuhan pecah di Honiara Rabu lalu (24/11/2021), setelah pengunjuk rasa, yang sebagian besar berasal dari Provinsi Malaita, mendesak Perdana Menteri Manasseh Sogavare untuk segera mengundurkan diri dari jabatannya.
Setidaknya tiga orang telah meninggal dunia – jenazah ketiganya ditemukan di sebuah gedung yang terbakar di daerah Chinatown di Honiara – dan lebih dari 100 orang telah ditangkap karena dugaan penjarahan dan pembakaran.
“Melihat tragedi itu sangat meresahkan hati ini, ketika saya melihat semua hal yang sekarang terjadi dari pos orang-orang di sana,” katanya. “Saat ini benar-benar emosional. Hati kami pilu dan kami benar-benar merasa sangat tidak berdaya.”
Meski ia sekarang tinggal jauh dari negara asalnya itu, dia masih berkomunikasi dengan teman-teman dan anggota keluarga yang tinggal di Honiara, terutama mereka yang menjadi korban kerusuhan baru-baru ini.
“Salah satu paman saya… tokonya musnah karena dibakar,” jelasnya. “Sekarang saya tahu bahwa sumber pendapatan bibi, sepupu, dan paman saya, itu sumber penghasilan mereka, itulah sumber pemasukan keluarga itu. Semua lenyap dalam sekejap. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Keadaan ini benar-benar mengkhawatirkan dan membuat saya stres.”
Komunitas etnis Tionghoa sebelumnya juga pernah menjadi target kekerasan
Bagi Phillip Leong, yang saat ini juga tinggal di Melbourne, menyaksikan kerusuhan di negara asalnya itu sangat meresahkan — tetapi hal ini bukanlah sesuatu yang belum pernah dialami sebelumnya.
Laki-laki kelahiran Brisbane yang berusia 41 tahun itu dibesarkan di Kepulauan Solomon, namun ia juga pindah kembali ke Australia pada 2001, menjelang akhir kerusuhan saat itu.
“Secara umum mereka itu cukup bahagia, tetapi jika menyangkut masalah politik, ada pendirian-pendirian dan ideologi yang berbeda,” menurut Leong. “Yang saya alami saat itu adalah… kalau ada perbedaan pendapat, pasti selalu ada… kerusuhan dan penjarahan, jadi saat-saat itu cukup memprihatinkan. Pengalaman itu sangat menyedihkan bagi saya ketika saya berada di sana pada akhir tahun 90-an.”
Leong sendiri memiliki latar belakang etnis Tionghoa, ia juga merupakan presiden dari asosiasi Kepulauan Solomon di negara bagian Victoria di Australia.
Kakeknya juga adalah orang Tionghoa yang membantu membangun Chinatown Honiara.
Melihat usaha-usaha milik orang Tionghoa juga menjadi sasaran dalam kerusuhan baru-baru ini sangat sulit untuknya.
“Saya sangat sedih karena banyak komunitas Kepulauan Solomon di sini, kami semua masih punya keluarga dan teman di sana,” tambahnya. “Banyak dari kami yang masih memiliki hubungan dengan orang-orang di sana, mereka punya usaha-usaha yang dijarah, dibakar sampai habis.”
Leong juga masih memiliki hubungan yang erat dengan keluarganya di Honiara, ia terutama sangat sedih karena saat ini berada jauh dari ibunya.
“Saya ingin ada kestabilan dan perdamaian di Kepulauan Solomon, dan juga agar setiap orang dari semua latar belakang etnis yang berbeda dapat bekerja bersama-sama.”
Pemerintah dan oposisi saling tuduh
Pemimpin oposisi, Matthew Wale, dituduh Perdana Menteri Manasseh Sogavare bahwa ia turut mendorong orang-orang untuk menyerang Parlemen.
Saat diwawancarai oleh ABC, PM Sogavare juga membantah ada alasan lain dari para pengunjuk rasa tentang pemerintahannya, ia bersikeras bahwa perbedaan pandangan bahwa pengakuan diplomatik atas Tiongkok atau Taiwan adalah satu-satunya sumber konflik.
“Itu satu-satunya persoalannya, satu-satunya masalah, dan sayangnya, itu dapat digunakan dan didorong oleh kekuatan lain,” jelasnya. “Negara-negara yang sekarang mempengaruhi Malaita ini adalah negara-negara yang tidak ingin ada hubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok dan mereka menghalangi Kepulauan Solomon dari menjalin hubungan diplomatik dan mematuhi hukum internasional dan resolusi PBB.”
Sogavare juga menolak desakan dari Pemimpin Oposisi, Matthew Wale, untuk mengundurkan diri dan menegaskan bahwa ia “sangat yakin” bahwa pemerintahannya aman.
“Saya tidak akan tunduk pada siapa pun,” tambahnya. “Kami masih utuh, pemerintah kami utuh dan kami akan membela demokrasi.”
Wale juga sempat mengkritik tuduhan PM Sogavare yang menyalahkan kekuatan asing atas kerusuhan itu. Namun menurut laporan terbaru, belum ada mosi tidak percaya yang diajukan terhadap PM Sogavare. (ABC News)
Editor: Kristianto Galuwo