Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Bupati Merauke, Frederikus Gebze mengajak semua bupati dan wali kota di Provinsi Papua duduk bersama dengan Lembaga Masyarakat Adat atau LMA se-Papua, untuk menyusun rekomendasi bersama terkait alokasi khusus untuk orang asli Papua untuk duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota. Gebze mengusulkan agar rekomendasi bersama itu dibahas dalam rapat tikar adat yang diikuti semua bupati, wali kota, dan LMA di Papua.
Hal itu disampaikan Frederikus Gebze di Jayapura, Kamis (16/5/2019), menyikapi hasil Pemilihan Umum 2019 yang bisa membuat banyak calon anggota legislatif (caleg) orang asli Papua (OAP) gagal terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten/kota. Gebze menyatakan pihaknya siap menalangi dulu biaya kursi alokasi khusus OAP di DPRD Kabupaten Merauke.
“Kabupaten Merauke siap untuk menggagas dan membiayai kursi 15 orang ini (terlebih dahulu), sambil menunggu anggaran dana Otsus (untuk membiayai kursi khusus OAP itu),” kata Frederikus Gebze di Jayapura, Kamis (16/5/2019).
Gebze menyatakan minimnya jumlah OAP yang lolos menjadi legislator DPRD kabupaten/kota dalam Pemilu 2019 menjadi alasan utama memperjuangkan alokasi khusus kursi DPRD kabupaten/kota bagi OAP. Gebze mencontohkan hasil Pemilihan Umum 2019 di Kabupaten Merauke, di mana banyak caleg OAP gagal terpilih, sehingga DPRD Kabupaten Merauke akan dikuasai oleh orang non-Papua.
Gebze meminta seluruh pemangku kepentingan di Papua mendesak Presiden RI menerbitkan Instruksi Presiden tentang representasi OAP dalam DPRD kabupaten/kota di Papua. “Saya ingin mengajak para bupati dan wali kota agar mengambil langkah. Sebab kalau tidak bisa dipastikan 2024 OAP akan menjadi penonton di tanahnya sendiri,” ujarnya.
Bupati Frederikus Gebze menambahkan, jika disetujui Inpres itu akan mengatur tentang mekanisme Pileg. Jadi mungkin ada OAP yang diangkat melalui jalur adat. “Khusus di kabupaten/kota ini kita tidak bisa bersaing dengan kemampuan yang ada, dengan kondisi geografis yang sulit dan harga mahal ini fenomena baru yang kita temukan, sehingga perlu ada satu rekomendasi khusus bagi OAP,” katanya.
“Meskipun demikian, saya tetap mengapresiasi kepada masyarakat Papua, karena pelaksanan Pilpres dan Pileg berjalan aman sesuai mekanisme. Hal ini menunjukan demokrasi yang diharapkan sesuai karakteristik dan budaya Papua,” sambungnya.
Sebelumnya, anggota komisi bidang pemerintahan, politik, hukum dan hak asasi manusia Dewan Perwakilan Rakyat Papua atau DPRP, Yonas Nusy menyatakan keinginannya agar ada kursi khusus untuk OAP di DPRD kabupaten/kota di Papua. Alokasi kursi khusus bagi OAP itu dapat memakai sistem pemilihan yang menyerupai pemilihan 14 kursi pengangkatan DPRP yang mewakili lima wilayah adat di Papua.
Keinginan itu muncul lantaran Nusy khawatir keterwakilan OAP di DPRD kabupaten/kota pada periode 2019 – 2024 semakin berkurang. Hasil Pemilu 2019 dikhawatirkan membuat sejumlah DPRD kabupaten/kota di Papua akan didominasi orang non-Papua.
Nusy mencontohkan hasil Pemilu 2019 telah memunculkan protes OAP di Kabupaten Merauke. Masyarakat khawatir hanya ada satu atau dua caleg OAP yang terpilih menjadi anggota DPRD Merauke. Jika itu terjadi, keterwakilan OAP dalam DPRD Kabupaten Merauke yang memiliki 30 anggota DPRD itu bakal kurang dari 10 persen.
Tokoh Marind-Buti Hendrikus Hengky Ndiken, menilai gagasan kuota kursi bagi OAP di DPRD kabupaten/kota itu tidak akan ada polemik jika diperjuangkan bersama-sama dan didukung DPRP. “Bagi saya, semua orang akan memberikan dukungan. Karena mereka menginginkan adanya perwakilan orang asli Marind di lembaga legislatif,” kata Ndiken. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G