Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Vredigando Engelberto Namsa, OFM
Hutan dan lautmu yang membisu selalu, cenderawasih burung emas. Kurang lebih pengalan lagu Tanah Papua yang mengema di atas bumi cenderawasih ini. Papua adalah pulau terbesar dalam Negara Kesatuan Repubik Indonesia, pulau yang memiliki kekayaan budaya dan alam yang berlimpah ruah. Papua boleh dikatakan kaya dengan sumber daya alamnya yang melimpah. Namun, hal ini tidak sebanding dengan rakyat Papua yang pada kenyataannya miskin. Di satu sisi memiliki kekayaan alam yang melimpah tetapi di sisi lain miskin.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Provinsi Papua menjadi wilayah dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia pada Maret 2019 dengan 27,53%. Angka ini meningkat 0,1% dari September 2018 yakni sebesar 27,43%. Sebagai perbandingan, angka kemiskinan nasional berada pada angka 9,47%.
Angka kemiskinan di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan pedesaan. Lebih jauh, kemiskinan di perkotaan selalu mengalami kenaikan sejak September 2017. Pada Maret 2019 mengalami kenaikan sebesar 0,19% dibanding September 2018 menjadi 36,84%.
Sementara itu, kemiskinan di pedesaan sempat mengalami penurunan dari September 2017 sebesar 4,55% hingga September 2018 sebesar 4,01%. Namun pada Maret 2019, kemiskinan di pedesaan kembali naik 0,25% menjadi 4,26%.
Dari data ini dapat simpulkan Papua masih berada dalam lingkaran kemiskinan. Label ini hadir sebagai sebuah datum sekaligus faktum. Artinya, apa yang dikatakan dalam pernyataan BPS tidak hanya menjadi pernyataan kosong belaka, melainkan menjadi potret abstraktif tentang kenyataan kehidupan masyarakat Papua.
Siapa yang salah dengan semua ini? Pemerintah atau masyarakat Papua! Tinggal menjadi sebuah pertanyaan yang menantang anak Negeri Cenderawasih ini. Tidak menjadi masuk akal ketika otsus yang sudah berlangsung begitu lama tidak membawa dampak yang signifikan dalam mengatasi persoalan kemiskinan di Papua, banyak program pemerintah yang mengatasnamakan kesejahteraan atau pro masyarakat kecil dilaksanakan, namun semua ini tinggallah cerita indah yang dibungkus dalam bingkai pembelaan penguasa.
Otomoni khusus dan kemiskinan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI): ‘otonomi’ berarti pemerintahan sendiri. Secara luas dapat diartikan bahwa otonomi berarti pemerintah daerah tertentu berhak atau berwenang untuk mengatur daerahnya sendiri. Namun, bagi Provinsi Papua dan Aceh otonomi itu ‘dikhususkan’ lagi. Secara logis akan muncul pertanyaan, mengapa sesuatu yang sudah otonom masih dikhususkan lagi? Tentu kata ‘khusus’ yang diberikan tidak tanpa alasan melainkan karena ada sesuatu yang melatarbelakanginya.
Pada awalnya yang ada hanya otonomi dan otonomi itu ditawarkan oleh pemerintah pusat kepada setiap provinsi yang ada di Indonesia. Tujuan dari otonomi itu sendiri adalah untuk memberikan kewenangan kepada setiap pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola daerahnya masing-masing.
Khususnya di Provinsi Papua, konsep otonomi terjadi pro-kontra oleh berbagai kalangan dan masyarakat pada umumnya. Karena penilaian resmi pemerintah mengenai masalah di Papua (pada umumnya berkaitan dengan pembangunan semata-mata) tidak disetujui oleh tokoh-tokoh gerakan aspirasi Papua merdeka (Gerasim) dan sebagian besar masyarakat pada umumnya, maka tawaran otonomi jelas-jelas gagal menjawab aspirasi masyarakat dan tampaknya semata-mata menjadi sebuah kiat untuk menyangkal masalah-masalah yang nyata-nyata dihadapi.
Selain itu pemerintah dengan jelas bersikap bahwa tidak ada tempat sedikit pun untuk berdiskusi atau berdialog tentang masalah politik Papua. Mustahil mendiskusikan status politik Papua sebagai bagian integral NKRI. Berdasarkan kenyataan tersebut konsep atau kata ‘otonomi’ dengan mudah disamakan dengan ‘segala sikap’ atau orang yang menentang aspirasi murni masyarakat Papua; dan pelan tapi pasti masyarakat terbelah menjadi dua kubu: pro M (Merdeka) dan pro O (Otonomi).
Selama perjalanan 1999-2000, pemerintah betul-betul menutup telinga terhadap segala aksi menentang ‘konsep otonomi’. Sikap tersebut akhir dengan amat memalukan ditampilkan oleh DPRD Provinsi Papua pada Desember 2000, saat menerima tawaran otonomi khusus (otsus) yang dirumuskan oleh pemerintah pusat.
Meskipun secara formal DPRD meminta masukan dari berbagai kalangan sebelum menerimanya, namun para wakil rakyat tidak pernah menanggapi dengan serius dan membuat perubahan mendasar pada rumusan yang di-drop dari Jakarta.
Di dalam persoalan tersebut, sebenarnya otsus Papua bisa menjawab persoalan kemiskinan yang terjadi di Papua. Kenyataan itu tidak sejalan dengan tujuan otsus yang harusnya menyejahterakan orang Papua. Maka sebenarnya tidak heran sampai sekarang ini banyak kalangan yang masih terus bertanya tentang implementasi otsus itu ke mana? Tujuannya untuk apa? Siapa yang harus merasakan semua itu?
Di balik itu angka kemiskinan di Papua menjadi suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri ada dan nyata. Masyarakat kecil masih hidup apa adanya. Hidup dari kekurangan mereka. Sebenarnya siapa diuntungkan dalam kaitan dengan otsus ini?
Freeport dan kemiskinan
Tambang Freeport Indonesia merupakan salah satu tambang emas terbesar di dunia. Tak hanya emas, tambang gunung Grasberg ini juga memiliki kandungan bijih lain, yakni tembaga dan perak. Penemuan harta karun di bumi Papua dimulai dari petualangan penjelajah Belanda, Jean Jacques Dozy pada 1936. Dozy melakukan pendakian di gunung Papua untuk mencari ladang baru eksplorasi minyak saat bergabung dengan perusahaan minyak, Nederlandsch Nieuw Guinee Petroleum Maatschappij (NNGPM).
Pada 1967 kontrak karya ditandatangani pertama kali berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pertambangan. Berikutnya pada 1991 kontrak karya kedua kembali diteken dan berlaku 30 tahun mendatang, dengan opsi perpanjangan dua kali, masing-masing 10 tahun. Pemerintah sempat meminta renegosiasi kontrak karya itu. Sebab beleid baru tentang pertambangan sudah lahir, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Namun Freeport tidak mau mengubah kontrak sesuai akta itu.
Untuk mendapatkan izin dalam kontrak karya tersebut maka Freport mulai mengadakan kegiatan tambangnya di Papua. Kehadiran Frepoort di Indonesia tidak ada sosialisasi kepada masyarakat pemilik hak ulayat (suku Amungme dan Kamoro), proyek ini atas kepentingan orang yang berkuasa dan pihak korporasi. Maka tidak mengherankan jika rakyat tidak diperhitungkan.
Kehadiran Freeport di Papua sudah begitu lama namun angka kemiskinan masih tetap meningkat dari tahun ke tahun. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa Freeport melalu Lembaga Pemberdayaan Masyarkat Amungme dan Kamoro (LPMAK) telah membantu masyarkat, namun hal ini tidaklah sebanding dengan pendapatan Freeport yang berlipat ganda.
Dalam “Bisnis Orang Kuat vs Kedaulatan Negara” yang ditulis Ferdy Hasiman dikatakan; Freeport Indonesia adalah sejarah perdebatan tentang kebijakan ekonomi, keadilan sosial, dan hukum yang selalu dikaitkan dengan pelaksanaan UUD 1945 di NKRI. Isu ini menjadi isu yang terus akan berlangsung didebatkan di dalam kenyataan publik. Entah sampai kapan hal ini akan berakhir dan Freeport benar-benar bisa mengatasi persoalan kemiskinan pada kususnya dan persoalan-persolan kemunusiaan di Papua pada umumnya. Intinya kahadiran Freeport di atas Bumi Cenderawasih ini atas dasar kepentingan yang tidak melibatkan orang Papua.
Polemik keberadaan Freeport Indonesia di Tanah Air kemudian menemui babak baru. Pemerintah yang memiliki ambisi merebut Freeport kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Intinya, melalui aturan ini, pemerintah membuka peluang perusahaan tambang untuk ekspor konsentrat dengan syarat mengubah status Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK.
Selain itu harus tetap membayar bea keluar. Salah satu perusahaan yang pada awalnya getol menolak aturan ini adalah Freeport Indonesia. Presiden dan CEO Freeport-McMoRan Inc., Richard C. Adkerson secara resmi menolak keputusan pemerintah yang mengubah status kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Namun polemik ini tidak mengunjang semangat juang Presiden Jokowi untuk menginventasi 51% salam Freeport ke dalam tangan negara. Semoga niat baik Presiden ini membawa dampak positif bagi Papua
Korupsi dan kemiskinan
Masalah serius yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah korupsi publik yang pada dasarnya makin menjadi-jadi, meski dicatat bahwa masalah korupsi pubik di Indonesia merupakan sebuah pokok besar dan hampir tak mungkin dibahasnya dalam beberapa halaman saja, yang secara umum diartikan sebagai penyalagunaan kekuasaan publik untuk mengakomulasi keuntungan pribadi. (bdk. Mac Millian Reformasi Korupsi, hlm 25). Menurut Frank Volg, Korupsi setidaknya melibatkan tiga faktor:
Pertama, pencurian dana publik oleh para pemimpin pemerintah, pejabat publik senior dan kroni-kroni mereka; Kedua, sogokan yang dibayarkan kepada mereka yang memegang kekuasaan sektor publik, bahkan hingga sampai pada tingkat terendah dari pelayanan sipil, oleh mereka yang mencari bantuan khusus; Ketiga, pemerasaan oleh para politisi dan pegawai negri sipil untuk memperoleh pembayaran gelap dari masyarakat biasa dan oleh para pebisnis dengan mengancam bahwa mereka akan mendapat konsekuensi-konsekuensi pahit jika mereka tidak membayar atau dengan tidak memberi mereka pelayanan.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi masalah korupsi, namun Indonesia tercatat sebagai salah satu negara paling korup di dunia. Pada tahun 1998, tahun kejatuhan rezim Soeharto, tercatat dalam indeks persepsi korupsi dari Transparenci Internasional (TI), menempatkan Indonesia pada peringkat 80 dari 85 negara. Namun secara berturut-turut, tahun 1999 lembaga ini menempatkan Indonesia pada peringkat 96 dari 99 negara, tahun 2000 pada peringkat 85 dari 90 negara dan tahun 2001 peringkat 88 dari 91 negara.
Korupsi publik di Indonesia sudah menjadi kanker dan hampir tidak bisa diobati lagi. Meskipun semua upaya sudah dilakukan untuk memberantas korupsi, antara lain, dengan mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002, sebuah lembaga anti korupsi tersentralisasi, korupsi publik Indonesia masih mewabah di hampir setiap tingkat sektor publik hingga hari ini. Pada tahun 2012, setelah 10 tahun kerja keras KPK, Indonesia masih menduduki peringkat sebagai salah satu negara paling korup di dunia (posisi ke-118 dari 174 negara). Peringkat korupsi di Indonesia dari tahun 1998 hingga 2012 berada jauh di bawah Denmark, Swedia, dan Singapura yang sangat bersih dari masalah korupsi.
Di NKRI korupsi bukan menjadi barang baru yang harus dilihat sebagai suatu masalah melaikan persoalan yang sekian lama sudah berakar dalam sistem kerja di NKRI ini. Papua sekarang ini dijajah oleh aktor-aktor korupsi yang berwajah manis dan penuh dengan janji belaka bila dikaitkan dengan politik. Anggaran yang diperuntukkan untuk rakyat mudah dibelokkan ke kantong-kantong para karuptor ketimbang diarahkan sebagaimana mestinya bagi sejuta masyarakat kita yang tertimpah kemiskinan.
Korupsi memang mudah dikaitkan dengan korporasi penguasa dan pemodal. Rakyat tetap tertindas dengan situasi seperti ini. Sehingga tidak heran korupsi memberi andil dalam angka kemiskinan yang terjadi di Papua.
Konteks berpikir yang sederhana, persoalan kemiskinan memang tidak sepenuhnya menjadi dominan tanggung jawab penguasa lokal maupun penguasa nasional, namun sepatutnya mereka mengambil bagian dalam teladan kesederhanaan dan kejujuran. Teladan kesederhanaan ini kemudian akan terpancar dalam perilaku yang berdampak pada perbaikan mental masyarakat yang serba instan dan terkadang tenggelam dalam budaya pesta.
Pemerintah dan korporasi hendaknya melihat kebutuhan mendasar yang dibutuhkan dari rakyat dengan tujuan rakyat benar-benar menjadi sejahtera, keluar dari degradasi nilai kemiskinan, mampu bersaing dalam kehidupan sosial dan mandiri dalam menentukan jati dirinya. Perlunya dialog terbuka yang melibatkan masyarakat, sehingga hal-hal urgen yang dibutuhkan dapat dijawab oleh pemerintah dan korporasi.
Mungkin ada benarnya kita lupa, bahwa kita dihadapkan pada kuasa dan popularitas. Melawan lupa kini hadir sebagai agenda penting agar ketika tidak terjebak dalam kepentingan mensejahterakan rakyat. (*)
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura, Papua
Editor: Timo Marten