Oleh: Bernardus Bofitwos Baru, OSA
Kritik F. Nietzsche terhadap krisis iman dan moral para pemimpin Gereja
“Tuhan sudah mati”, kata Friedrich Nietzsche (1900), seorang filsuf Jerman. Nietzsche lebih lanjut menegaskan, “Peristiwa luar biasa yang terjadi bahwa Tuhan sudah mati, dan iman orang Kristen kepada Tuhan Yesus mulai mengalami bayang-bayang kelabu di Eropa” (J.B. Metz, Memoria Passionis Un Ricordo Provocatorio nella Società Pluralista, Queriniana, Brecia 2009, 73). Afirmasi Netzhe ini bukalah tanpa argumentasi yang mendasarinya. Penegasan Nietzhe bahwa Tuhan sudah mati, karena ia melihat iman dan moralitas umat, terlebih khusus para pemimpinnya sebagai suatu bayang-bayang kelabu.
Argumentasi mendasarnya bahwa iman orang Kristen Eropa pada saat itu, terlebih para pemimpin, dilihatnya sebagai iman kepada Tuhan Yesus, sekedar sebagai janji-janji abstrak yang bersifat hayalan belaka. Para pemimpin Gereja, khususnya hirarki dalam khotbah-khotbahnya berisi janji-janji muluk, abstrak, yang tidak berkar dalam realitas sosial, budaya, politik, dan ekonomi kehidupan umatnya. Dunia nyata dipisahkan dari penghayatan iman yang sebenarnya. Bagi Nietzsche iman orang Kristen pada saat itu bukanlah iman yang hidup tetapi iman yang mati. Karena iman yang tidak berakar dalam koteks realitas persoalan kehidupan umatnya. Karena itu, bagi Nietzsche, Tuhan sudah mati, Tuhan Yesus tidak lagi hidup dalam diri orang Kristen pada saat itu, apa lagi para pemimpinnya. Orang Kristen pada saat itu tidak mampu menghidupi Kristus dalam hidup mereka. Mereka tidak mampu menghadirkan Kristus dalam keterlibatan mereka memperjuangkan nilai-nilai keadilan, kebenaran, kebaikan, dan perdamaian bagi umat manusia.
Para pemimpin Gereja, khususnya pihak hirakhi berkhobah di gereja-gereja sekedar bernarasi tentang Yesus yang sudah mati ribuan abad lalu, bukan Kristus Yesus yang hadir pada konteks saat ini. Para hirarkhi memanipulasi pengajaran Yesus sekedar sebagai justifikasi kekuasan, kenyamanan, dan status kedudukan mereka. Mereka sendiri tidak mampu menghadirkan Kristus yang telah disalibkan dua ribu tahun lalu ke dalam realitas kehidupan umat manusia pada saat kini (hic et nunc). Kemandulan iman dan moralitas inilah yang menjadi kritikan Nietzhe kepada orang Kristen. Menurut Nietzhe, iman sejati – benar adalah ketika orang Kristen mampu menghadirkan kembali Kristus yang pernah hidup dan berkarya dua ribu tahun lalu dalam konteks riil kekinian, yaitu situasi riil kehidupan masyarakat saat ini.
Bila iman demikian yang dihayati oleh orang Kristen, khususnya para pemimpinya, maka Tuhan bukan sudah mati, melainkan Tuhan tidak mati tetapi tetap hidup untuk selama-lamanya melalui dan di dalam hidup dan karya para murid-Nya, terlebih para pemimpin-Nya, orang-orang pilihan-Nya. Ketika para pemimpin (hirarkhi) mampu tampil menyurakan keadilan, kebenaran, perdamaian, dan persaudaraan sejati antara manusia, berarti Tuhan Yesus sendirilah yang hadir, bersuara, dan bertindak. Maka dengan demikian, Tuhan bukan sudah mati melainkan Tuhan tetap hidup. Namun ketika para pemimpin Gereja, khususnya hirarkhi bungkam suara hati dan mulutnya terhadap ketidakadilan, kejahatan, pembunuhan, dan penindasan, berarti benar afermasi Nietzhe bahwa Tuhan sudah mati.
Bagi Nietzsche, kebenaran iman dan moral bukan terletak pada seremonial liturgis, bukan pula pada penegakan aturan dan hukum Geraja serta kesibukan administratif, melainkan kebenaran iman dan moral sejati terletak pada kemampuan para pengikut Kristus, terlebih para pemimpinnya mampu mewujudnyatakan visi dan misi Kristus, yaitu Kerajaan Allah melalui karya-karya dan perbuatan nyata yang memihak dan membela kaum tertindas, miskin, dan lemah (option for the poor). Ketika para murid Kristus, khususnya para pemimpin Gereja (kaum hirarkhi) tidak mampu menghadirkan Kristus secara nyata melalui perbuatan, perkataan dan sikap hidupnya, khususnya keterlibatan nyata memperjuagkan hak-hak dan martabat manusia, terlebih mereka yang lemah dan miskin, maka disimpulkan bahwa Tuhan sudah mati. Artinya peran iman dan kekuatan moral Gereja melalui para pemimpinnya sudah mati, tidak hidup lagi. Jika demikian, maka keberadaan para pemimpin, khususnya hirarkhi ikut membunuh atau menyalibkan Tuhan Yesus untuk sekian kalinya, seperti yang pernah dilakukan oleh para pemimpin agama Yahudi, raja Herodes dan Kaisar Romawi terhadap Yesus dua ribu tahun lalu.
Afirmasi, Tuhan sudah mati adalah kritikan Nietzsche yang tajam terhadap krisis iman dan moral yang terjadi dalam tubuh Gereja. Persoalan krisis iman dan moral dalam tubuh Gereja ini, khususnya para pemimpinya, digarisbawahi oleh John Baptist Metz, “krisis yang menimpa umat Kristen Eropa pada saat itu, pada tempat pertama diarahkan kepada Gereja, khususnya para pemimpinnya atau kaum hirarkhinya” (J. Baptist Metz, Memoria Passionis 2009, 73).
Peristiwa Auschwitz Tanda Krisis Iman dan Moral Pemimpin Gereja Eropa
Apa yang dimaksud dengan peristiwa Auschwitz? Mengapa peristiwa Auschwitz dikatakan sebagai tanda krisis iman dan moral pemimpin Gereja Eropa?
Auschwitz adalah nama yang digunakan untuk mengidentifikasi tiga kamp konsentrasi kedudukan Nazi Jerman pada saat diktator Adolf Hitler. Auschwitz adalah kamp utama dari 40-50 sub-kamp. Nama ini diambil dari versi Jerman, yaitu nama sebuah kota di Polandia di dekat Oswicim, terletak 60 Km barat daya Krakow.
Pada tahun 1979, kamp ini masuk ke dalam salah satu daftar Situs Warisan Dunia oleh UNESCO, untuk menghormati para tawanan yang meninggal dunia sebagai bukti akibat holokaus. Juga dikenang sebagai monumen peringatan (memoria) atas peristiwa krisis kemanusiaan yang mengerikan yang dilakukan oleh sebuah rezim yang menekan kebebasan dan menghendaki lenyapnya keseluruhan suatu ras manusia. Kamp konsentrasi ini adalah tempat bersejarah sebagai kenangan (memoria) kelabu kejahatan terhadap manusia yang tak berdosa, yang pantas dikenang oleh seluruh umat manusia atas pembantaian karena kebijakan rasis yang dimotori oleh Adolf Hitler. Peristiwa Auschwitz ini adalah sejarah kekelaman kemanusiaan, sebagai tanda peringatan atas sikap dan kebijakan tragis yang dihipnotis oleh ideologi ekstrem dan penolakan terhadap ras lain, bahkan martabat manusia disamakan dengan binatang.
Nazi Jerman mulai membangun beberapa kamp konsentrasinya dan kamp pemusnahan di wilayah Auschwitz pada tahun 1940. Kamp-kamp ini merupakan bagian utama dari Holocaust.
Ketiga kamp utama itu adalah: Auschwitz I, kamp konsentrasi orisinal yang digunakan sebagai pusat administrasi bagi seluruh kompleks itu, dan merupakan tempat kematian sekitar 70.000 orang Polandia, kaum homoseksual dan tawananan perang Soviet. Auschwitz II (Birkenau), sebuah kamp pemusnahan dan tempat kematian sekitar 1 juta orang Yahudi, 75.000 orang Polandia, homoseksual, dan sekitar 19.000 orang Gipsi. Auschwitz III (Monowitz), yang digunakan sebagai kamp kerja paksa untuk perusahaan IG Farben. Jumlah keseluruhan korban Nazi di sini masih diperdebatkan, namun pada umumnya diperkirakan sekitar 1-1,5 juta orang.
Sekitar 700 tawanan berusaha melarikan diri dari kamp-kamp Auschwitz selama kamp itu digunakan, dan sekitar 300 orang berhasil. Hukuman yang biasa dijatuhkan bagi mereka yang berusaha lari adalah hukuman mati dengan dibiarkan lapar; keluarga dari mereka yang melarikan diri kadang-kadang ditangkap dan ditahan di Auschwitz dan dengan sengaja dipertontonkan kepada tawanan yang lain untuk menakut-nakuti mereka. (“Kamp konsentrasi Auschwitz” – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas).
Menggunakan kacamata iman dan moral, John Baptist Metz menginterpretasikan peristiwa kekelaman kemanusiaan di Auschwitz ini, sebagai suatu tanda krisis iman dan moral terbesar yang melanda umat Kristen Eropa pada saat itu, terlebih khusus para pemimpinnya atau kaum hirarkhi (bdk. J. Baptist Metz, Memoria Passionis 2009, 43). Bagi Metz, krisis kemanusiaan di Auschwitz adalah tanda zaman (il segno del tempo) bagi umat Kristen secara umum, namun secara khusus para pemimpinnya. Mengapa peristiwa ini menjadi tanda zaman bagi umat Kristen, khususnya para pemimpinnya? Sebab peristiwa Auschwitz ini adalah tragedi kemanusiaan terbesar, selain peristiwa pemboman di Nagasaki – Jepang oleh Amerika Serikat pada bulan Agustus 1945 pada saat perang dunia kedua.
Menurut Metz, peristiwa Auschwitz ini hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi orang Kristen, khususnya bagi para pemimpinnya agar lebih proaktif memperjuangkan penegakan terhadap hak-hak asasi manusia dan martabatnya yang secitra dengan Allah. Gereja sebagai umat Allah, tubuh mistik Kristus, sekaligus sebagai institusi iman dan moral, harus lebih bertanggung jawab memperjuangankan perlindungan terhadap martabat manusia dan hak-hak dasarnya. Gereja melalui para pemimpinnya tidak boleh bisu dan bungkam suara hatinya terhadap berbagai tragedi kemanusiaan di berbagai belahan dunia ini, apalagi di tempat di mana ia diutus. Umat Kristen, khususnya para pemimpinnya harus belajar dari tragedi kemanusiaan di Auschwitz ini. Para pemimpin Gereja harus lebih berperan memperjuangkan dan mengadvokasi hak-hak asasi manusia dan martabatnya. Para pemimpin Gereja harus lebih berperan aktif menciptakan perdamaian, yang berlandaskan keadilan dan kebenaran bagi seluruh umat manusia. Para pemimpin Gereja tidak boleh diam dan membisu terhadap berbagai tragedi kemanusiaan yang terjadi di depan matanya. Sangatlah naif kalau para pemimpin Gereja absen terhadap berbagai tragedi kemanusiaan yang terjadi di depan matanya. Bila sikap diam yang diambilnya, maka para pemimpin Gereja ini secara tidak langsung menyetujui tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Apa lagi jika para pemimpinya “bermain mata” dengan para penguasa politik, berarti para pemimpin Gereja yang demikian adalah para pemimpin yang menghianati misi perutusan yang dimeteraikan oleh Tuhan Yesus sendiri, melalui Sakramen-Sakramen-Nya. Pengabdian para pemimpin Gereja bukan kepada kepentingan politik kekuasaan dan kekayaan ekonomi semata, melainkan pengabdian kepada Kristus Yesus yang hadir di dalam diri orang-orang yang miskin, tertindas, teraniaya dan terjajah hak-haknya. Inilah prinsip utama perutusan yang diserahkan oleh Tuhan Yesus sendiri kepada para pemimpinnya.
Tragedi Kemanusiaan di Tanah Papua dan Sikap Membisu Para Pemimpin Gereja Katolik Indonesia
Berbicara tentang tragedi kemanusiaan, yaitu kekerasan terhadap hak-hak asasi orang Papua dapat digolongkan ke dalam empat (4) periode. Periode pertama dimulai pada tanggal 1 Mei 1963 yaitu kedudukan Pemerintah Indonesia di tanah Papua atau periode sebelum PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat). Periode kedua yaitu setelah kedudukan Indonesia atas Papua atau sesudah PEPERA. Periode ketiga, yaitu setelah PEPERA hingga jatuhnya resim diktator Presiden Soeharto. Dan Periode keempat yaitu dari 1998 hingga saat sekarang (N. Tebay, ASIANEWS, No. 9 Nov 2002).
Sejarah kekerasan para aparat keamanan (security forces) terhadap orang Papua, bukan secara kebetulan dan parisal terjadi, melainkan secara terencana, terorganisir, sistematis – terstruktur, dan berkontinou terhadap orang asli Papua di seluruh tanah Papua hingga saat ini. Sistem kekerasan para aparat ini akan terus berlanjut pada waktu yang akan datang. Semua kekuatan keamanan telah dan sedang menguasai seluruh wilayah Papua, baik Provinsi Papua maupun Papua Barat. Sebagaimana ditegaskan oleh Elisabeth Brundige, Winter King, Dkk, bahwa kampenye dan operasi kekerasan militer serta pembunuhan-pembunuhan yang tidak dapat diselesaikan secara hukum menjadi bagian dari faktor yang diindikasikan sebagai penyebab kepunahan (genoside) orang asli Papua (E. Brundige, W. King, S. Vladeck, and their friends, Indonesian Human Rights Abuses in West Papua: Application of the Law of Genocide to the History of Indonesian Control, A Paper prepared for the Indonesia Human Rights Network, by Allard K. Lowenstein International Human Rights Clinic, Yale Law Scool, USA, 2003, 1).
Sejarah kekerasan oleh para aparat keamanan terhadap orang Papua, terjadi karena perosalan status politik orang Papua. Sejak terjadinya “aneksasi” oleh Pemerintah Indonesia, melalui peristia Trikora yaitu tiga komando rakyat yang diprakarsi oleh Presiden pertama NKRI, Soekarno pada 19 Desember 1961 di Alun-alun Yogyakarta (D. N. Pigay, Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik di Papua, PT Penebar Swadaya, Jakarta 2000, 222).
Sejak saat itu, seluruh pasukan aparat (militer) dikerahkan dan diterjukan ke seluruh daratan Papua. Tujuannya adalah mengagalkan rencana kemerdekaan orang Papua dari penjajahan Belanda. Soekarno mengirim bebarapa pasukan khusus ke seluruh daratan Papua agar mengagalkan rencana kemerdekaan orang Papua. Pasukan-pasukan tsb di antaranya: Komando Mandala, 2 Januari 1962, Pasukan Operasi Kerbau I, 26 April 1962, Pasukan Operasi Kerbau II, 26 Mei 1962, Operasi Garuda 16, 17, 29 Mei 1962 di wilayah Fakfak dan Kaimana, Operasi Srigala, 17 Mei 1961 di wilayah Teminabuan, Operasi Naga, 24 Juni 1962 di wilayah Merauke, Operasi Lumba-lumba (D. N. Pigay, Evolusi Nasionalisme, 222). Karena kekerasan para aparat ini, mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menangkapi persosalan ini, sehingga PBB menetapkan sebuah Resolusi No. 1752 (XVII) pada tgl 21 September 1962, yang memadatkan berdirinya United Nations Temporary Executive Administration atau UNTEA (J.F. Saltford, UNTEA and UNRWI: United Nations Involvement in West New Guinea the 1960’s, (being a Thesis submitted for the Degree of Doctor of Philosophy in the University of Hull), U.S.A, April 2000, 25).
Walaupun adanya intervensi dari PBB, kekerasan: intimidasi, ancaman, penghilangan dan pembunuhan yang dilakukan oleh pihak aparat terus diterjadi. Hal ini terbukti dengan adanya hasil pemilihan penentuan nasib sendiri (act of free choice) oleh orang Papua, cacat hukum. Karena prosedural pemilihan yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia saat itu, tidak menggunakan prosedur “one man one vote” (satu orang satu suara), tetapi menggunakan prosedur, “many men one vote” (banyak orang satu suara).
Kekerasan militer terhadap orang Papua terus berlanjut hingga saat ini. Ribuan nyawa orang Papua: tua-muda, pria-wanita, remaja, anak-anak hilang di depan moncong senjata dan di tanggan para aparat TNI – POLRI. Menurut catatan para pejuang HAM, bahwa sejak tahun 1969 hingga hari ini, ribuan orang Papua dibunuh, disiksa, ditahan, dipenjarakan, dianiaya, diracuni, dan dihilangkan secara misterius, tanpa jejak oleh para aparat TNI-POLRI (A. Douw, The World’s Riches Island of West Papua Under International System in the 21st Century, Halaman Moeka, Jakarta 2016, 5). Misalnya laporan yang dikeluarkan oleh Institut Studi dan Advokasi Hak-Hak Asasi Manusia (ELSHAM) yaitu selama 1998 – 2002, telah terjadi 136 kasus pembunuhan yang tidak diselesaikan secara hukum dan 838 kasus sewenang-wenang, termasuk pembunuhan Ketua Presedium Papua, Theys Hiyo Eluay pada tgl 10 November 2001 di Jayapura (ELSHAM, Annual Report, 21 Januari 2001). Berhubungan dengan kematian Theys ini, pada tanggal 29 November 2001, sebanyak warga Papua melakukan aksi protes di luar gedung PBB di Jakarta. Mereka menuduh ada konspirasi antara Pemerintah dan militer dalam kasus pembunuhan Theys (Sekretariat Keadilan dan Perdamain, Keuskupan Jayapura, Memoria Passionis di Papua, Kondisi Sosial Politik dan Hak Asasi Manusia 2001, 141).
Selain itu, sejumlah tokoh intelektual Papua yang mati terbunuh di tangan militer, di antaranya dosen antropologi Univeritas Cenderawasih (Uncen) Arnold Ap, yang dibunuh pada tanggal 22 April 1998, Dr. Thom Wangai, yang dibunuh pada tahun 1988, dan dosen Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) “Fajar Timur”, Obeth Badii yang dibunuh pada bulan Oktober 1998. Masih banyak tokoh intelektual dan politik Papua yang dibunuh secara misterius.
Kejadian hangat yang masih dalam ingatan kita, yaitu pada tangggal 1 Desember 2016, telah terjadi kekerasan terhadap orang Papua oleh para aparat TNI-POLRI. Kekerasan ini telah memakan kurang-lebih 133 korban, ada yang dibunuh, dianiaya, disiksa, dan dipenjarakan, yang dilaporkan oleh berbagai LSM (NGO). Selain itu, menurut laporan yang dikelaurkan oleh LBH Indonesia selama bulan April dan Mei 2016, bahwa telah terjadi penahanan, penyiksaan, dan penganiayaan terhadap orang Papua sebanyak 1.783 orang, ketika mereka mengadakan demo damai di seluruh wilayah Indonesia (LBH Jakarta, Report On the Unlawful Arrests of 1.783 West Papuans, Between 25 April – 2 May 2016, The Report is last written on 3 May 2016).
Berdasarkan laporan dari The Associated Press, bahwa pada tanggal 2 Agustus 2017 telah terjadi penembakan oleh TNI dan PORLI terhadap 17 orang Papua, termasuk 7 anak kecil, sehingga luka-luka berat, 1 orang meninggal dunia (Suara Pembaharuan, 24 April 2004). Peristiwa ini terjadi di Paniai dan Deiyai. Masih banyak lagi peristiwa berdarah, di antaranya: Biak berdarah (massacre) di mana 20 orang dibunuh dibuang ke laut dan juga mutilasi seksual. Peristiwa ini terjadi pada tgl 20 Juli 1998. Pada tanggal 23 April 2004 terjadi penembakan oleh militer terhadap 5 orang Papua di Bintuni.
Pada tanggal 14 September 2004 di Puncak Jaya terjadi penembakan oleh militer terhadap seorang Pendeta, Elisa (Guliat) Tabuni dan 3 orang lainnya, yang lainya terluka. Dan juga pada bulan Oktober 1992 juga di Puncak Jaya terjadi penembakan oleh militer terhadap seorang Pendeta, yang bernama Wonesobuk Nggawijangge (The Calling letter of Protestant church leaders in Papua, on 23 of November 2004, dan Bdk. Juga Indonesia’s News Paper, Suara Pembaruan, 24 Januari 2004).
Menurut Laporan dari Komisi Hak Asasi Manusia Indonesia yang dikeluarkan pada thn 1998 dan 2000 bahwa ada 80 eksekusi pembunuhan dan 500 kasus kekerasan militer terhadap orang Papua (N.Tebay, The Controversial Presidential Instruction on the Division of Papua into Three Provinces: Jakarta versus Papua, The Jakarta Post, July 2003). Menurut laporan yang ditulis oleh Elisabeth Brundige dkk, bahwa Pada bulan Mai 1985 pasukan militer membakar 260 rumah di beberapa Kampung di wilayah Penggungan Jayawijaya, dan juga bulan Juni dan Juli 1985 militer membunuh 517 orang di beberapa Desa di wilayah yang sama (E. Brundige, W. King, S. Vladeck, and their friends, Indonesian Human Rights Abuses in West Papua: Application of the Law of Genocide to the History of Indonesian Control, 10-12).
Belum lagi peristiwa pembunuhan yang terjadi pada akhir tahun 2020, yaitu penembakan terhadap pendeta Yeremia Zanambani oleh pihak TNI pada tgl 19 September 2020 di Kampung Hitadipa, Distrik Hitadipa, Kab. Intan Jaya. (https://regional.kompas.com/read/2020/09/penembakan-pendeta-yeremia-zanambani-hingga-desakan-membentuk-tim?page). Dan juga penembakan oleh TNI terhadap Rufinus Tigau, seorang katekis (guru agama Katolik) dari Kampung Jibaguge, Distrik Sugapa, Kab. Intan Jaya, pada tgl 26 Oktober 2020 pukul 16.00 WIT. Pada waktu yang sama pihak aparat TNI menembak pula salah seorang yang bernama Julianus Abugau, sehingga menderita luka berat di tubuhnya (https:/arsip.jubi.id/keuskupan-timika-rilis-kronologis-penembakan-rufinus-tigau-katekis-dari-paroki-bilogai/)). Masih banyak lagi daftar kekerasan, pembunuhan di luar prosedur hukum (extra judicial Killings) yang dilakukan oleh TNI-POLRI terhadap orang asli Papua hingga detik ini.
Bertubi-tubi tindakan kekerasan dan pembunuhan (penembakan) yang dilakukan oleh Negara secara sistematis, terencana, terstruktur dan terarah terhadap penduduk asli yang mendiami pulau Papua ini, tidak mendapat tanggapan yang serius dan tegas dari pihak pemimpin Gereja Katolik Indonesia, dalam hal ini para uskup melalui mekenisme kebijakan KWI. Mulut para pemimpin Gereja Katolik Indonesia lebih memilih diam membisu seribu bahasa terhadap kejahatan negara yang secara terang-terangan terjadi di depan mata mereka. Para pemimpin Gereja Katolik Indonesia bersikap malas tahu dan masa bodoh seperti yang dikatakan oleh nabi Yesaya, “…….Oleh karena ketika Aku memanggil, kamu tidak menjawab, ketika Aku berbicara, kamu tidak mendengar, tetapi kamu melakukan apa yang jahat di mata-Ku dan lebih menyukai apa yang tidak berkenan kepada-Ku” (Yes 65: 12b). Demikian juga yang dikatakan oleh nabi Yeremia, “Dengarkanlah ini, hai bangsa yang tolol dan yang tidak mempunyai pikiran, yang mempunyai mata, tetapi tidak melihat, yang mempunyai telinga, tetapi tidak mendengar” (Yer 5: 21).
Kritikan nabi Yesaya dan Yeremia kepada para pemimpin agama Yahudi pada zamannya, masih diulangi lagi pada saat ini, yang ditujukan kepada para pemimpin Gereja Katolik Indonesia. Sebagaimana para pemimpin agama Yahudi pada zamannya, yang mata hatinya buta dan tuli terhadap penderitaan umtanya, sama halnya dengan para pemimpin Gereja Katolik Indonesia saat ini, yang mata hatinya buta dan tuli terhadap persoalan krisis kemanusia yang sedang melanda umat Allah di tanah Papua. Sikap dan mentalitas para pemimpin agama Yahudi pada zaman nabi Yesaya dan Yeremia, yang lebih memilih berkolusi, bernepotisme, dan berkolaborasi dengan para penguasa politik dan ekonomi daripada memperhatikan penderitaan umatnya. Sikap dan mentalitas yang sama dilakukan oleh para pemimpin Gereja Katolik Indonesia terhadap umatanya, terlebih khusus terhadap orang Papua (umat Allah orang Papua). Para pemimpin Gereja Katolik Indonesia lebih memilih menyembah Kaisar daripada menyembah Tuhan Yesus yang hadir di dalam diri mereka miskin, menderita dan sengsara.
Pemimpin Gereja Katolik di tanah Papua yang pernah berani menyurakan persoalan HAM Papua secara nasional dan internasional adalah Mgr. Herman Muningghoff, OFM. Ia berani membeberkan persoalan HAM yang dilakukan oleh TNI-POLRI terhadap masyarakat sipil di Timika pada tgl 03 Agustus 1995 (https://id.wikipedia.org/wiki/Herman_Ferdinandus _Maria_Munninghoof). Baru pada tanggal 8 Juni 2020 dan 21 Juli 2020 di Jayapura terjadi seruan kenabian oleh para imam pribumi se lima Keuskupan dan Ordo, serta diikuti seruan moral para imam se-tanah Papua, 10 Desember 2020, sehingga membongkar tembok kebisuan para pemimpin Gereja Katolik yang tertutup rapat selama ini.(*)
Penulis Tinggal di Biara Tagaste, Sorong, Provinsi Papua Barat