Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Keluarga tujuh tahanan politik asal Papua yang tengah ditahan di Kalimantan Timur segera dipulangkan untuk menjalani masa tahanan mereka di Papua. Keluarga ketujuh tersangka yang didampingi Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua itu juga meminta ketujuh tahanan politik itu diadili di Papua.
Ketujuh tahanan politik yang tempat penahanannya dipindahkan ke Kalimantan Timur itu adalah Buchtar Tabuni, Agus Kosay, Fery Kombo, Alexander Gobay, Steven Itlai, Hengki Hilapok dan Irwanus Uropmabin. Buchtar Tabuni dan kawan-kawan adalah tersangka kasus makar sebagaimana diatur Pasal 106 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Penahanan ketujuh tersangka dipindahkan dari Jayapura ke Kalimantan Timur sejak 4 Oktober 2019.
Istri Alexander Gobay, Epita Badii meminta suaminya dan enam tahanan politik lainnya segera dikembalikan ke Papua. “Kami meminta agar tujuh tahanan politik ini dipulangkan ke Papua dan disidangkan di tanah Papua. Baik itu di Biak, Nabire, Manokwari, Merauke atau Sorong. Intinya kami meminta agar mereka dipulangkan,” kata Epita Badii dalam keterangan pers Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua dan keluarga ketujuh tersangka di Jayapura, Senin (11/11/2019).
Badii mengaku khawatir dengan kondisi tujuh tahanan politik itu, terutama kondisi suaminya, Alexander Gobay. Badii terakhir kali bertemu suaminya di Markas Brigade Mobil Daerah Papua di Jayapura pada September lalu.
“Saat mereka masih ditahan di Brimob [Jayapura]. waktu kunjungan kami dibatasi 30 menit, bahkan 10 menit. Kini mereka jauh di Kalimantan Kami mau kunjungi bagaimana? [Kami tidak bisa] memantau perkembangan mereka, sehingga kami meminta untuk mereka harus dipulangkan,” katanya.
Istri Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Kosay, Anike Mohi meminta Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, maupun Majelis Rakyat Papua turun tangan mengupayakan pemulangan ketujuh tahanan politik itu. Mohi merasa para pemangku kepentingan politik di Papua tidak memberi perhatian terhadap nasib ketujuh tahanan politik yang dipindahkan ke Kalimantan Timur itu.
“Waktu [terjadi] ujaran rasis [di Surabaya], mereka berbicara banyak. Akan tetapi, ketika ada penangkapan [para aktivis di Papua], mereka memilih diam. Kami meminta keadilan, agar suami saya dan teman-temannya bisa dipulangkan ke Papua,” katanya.
Istri Wakil Ketua 2 Komite Legislatif United Liberation Movement For West Papua Buchtar Tabuni, Debora Awom menyatakan sejak ketujuh tersangka makar itu dipindahkan ke Kalimantan Timur, Awom tidak pernah berkomunikasi dengan suaminya. “Kami khawatir, karena kami tidak tahu siapa yang memberikan makanan di sana, siapa yang berjumpa mereka di sana. Hal ini membuat keluarga tidak tenang,” katanya.
Kakak kandung dari Irwanus Uropmabin, Yakobus Uromabin mengatakan, penangkapan tujuh tahanan politik tidak sesuai dengan mekanisme hukum. “Kalau mereka ditangkap, kenapa [massa] pelaku ujaran rasisme di Surabaya tidak ditetapkan dan ditangkap secara massal. Ini penegakan hukum yang tidak adil,” katanya.
Yakobus Uropmabin mengatakan rasisme adalah tindakan yang ditolak diseluruh dunia. Akan tetapi, tindakan para aktivis melawan rasisme justru diperhadapkan dengan hukum, dan dijadikan tersangka makar.”Saya sebagai keluarga korban meminta dengan tegas agar tahanan politik di Kalimantan Timur segera dipulangkan ke Papua dan disidangkan di Papua,” katanya.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G