Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – SETARA Institute mendesak pihak-pihak yang sedang terlibat konflik di Papua untuk melakukan kesepakatan penghentian permusuhan (cessation of hostilities) agar dialog mencari jalan damai dapat dilakukan.
“Kedepankan penegakan hukum. Upaya ini perlu dilakukan untuk mengeliminasi kekuatan bersenjata sebagai sarana solutif, penyelesaian, ataupun pemecah masalah keamanan,” kata peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, dalam siaran pers yag diteerima Jubi di Jayapura, Selasa (27/4/2021).
Yosarie menyatakan respons Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo, Senin (26/4/2021), yang meminta aparat keamanan menurunkan kekuatan penuh dan menumpas habis KKB di Papua, namun dengan meletakkan urusan HAM sebagai urusan belakangan, justru dapat memicu berkembangnya spiral kekerasan dan kompleksitas persoalan konflik di Papua.
“Dalam konstruksi HAM yang juga diatur dalam UUD 1945 pasal 28i, terdapat hak-hak yang terkategori non-derogable rights yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun dan oleh siapapun,” katanya.
Yosarie menambahkan dalam UU HAM telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “dalam keadaan apapun” termasuk keadaan perang, sengketa senjata, dan atau keadaan darurat. Kemudian yang dimaksud dengan “siapapun” adalah negara, pemerintah, dan atau anggota masyarakat.
“Berkembangnya spiral kekerasan hanya akan mengakibatkan semakin banyaknya korban berjatuhan, terutama dari masyarakat sipil,” katanya.
Baca juga: Polda Papua nyatakan 9 anggota TPNPB tewas dalam kontak tembak Selasa
Baca juga: TPNPB menyatakan bertanggung jawab atas penembakan Kabinda Papua
Sementara itu, Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos, mengatakan berbagai kasus penembakan yang memakan korban jiwa, terutama dari masyarakat sipil, imbuhnya, semakin memperlihatkan pendekatan keamanan tidak menjadi jawaban atas persoalan konflik di Tanah Papua.
“Ketimbang meletakkan HAM sebagai urusan belakangan, yang secara eksplisit tidak kondusif terhadap penyelesaian konflik Papua, pendekatan halus (soft approach) dalam bentuk negosiasi yang dilakukan terhadap GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Aceh seharusnya dapat menjadi pembelajaran. Terlebih, para aktor yang terlibat ketika itu masih dapat dijumpai,” kata Naipospos.
Melalui strategi ini, imbuh Yosarie, kelompok eks kombatan GAM yang dipimpin Din Minimi telah menyerahkan diri pada 2015 lalu. Penyerahan diri Din Minimi itu kemudian diikuti oleh 120 orang anak buahnya dan menyerahkan persenjataan yang mereka pegang (BBC, 29/12/2015).
“Dengan demikian, penyelesaian konflik dapat dilakukan tanpa memakan korban jiwa lagi, terutama dari masyarakat sipil,” pungkasnya. (*)
Editor: Dewi Wulandari