Kejati dalami dugaan korupsi dana hibah ratusan miliar di Pemprov Papua Barat

Papua-Barat-Kejati
Kantor Kejati Papua Barat, di Manokwari -Jubi/Hans Arnold Kapisa

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Manokwari, Jubi – Tim penyidik pidana khusus (Pidsus) Kejati Papua Barat masih mendalami kasus dugaan korupsi dana hibah Pemerintah Provinsi Papua Barat tahun anggaran 2018, senilai Rp598 miliar.

Meski belum ada penetapan tersangka dalam dugaan kasus tersebut, namun sedikitnya 8 (delapan) orang  telah menjalani pemeriksaan sebagai saksi.

Read More

“Delapan orang sudah diperiksa, belum ada penetapan tersangka karena mereka [8 orang] masih berstatus sebagai saksi,” ujar Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Papua Barat, Billy tanpa menyebutkan identitas delapan saksi terperiksa, kepada Jubi, Rabu (9/9/2020).

Alasan terhambatnya penanganan kasus tersebut, lanjut Billy, karena rata-rata penanggung jawab lembaga/organisasi penerima hibah Provinsi Papua Barat [ternyata] berdomisili di luar wilayah Manokwari.

“Mayoritas dari mereka kini berada di Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Kota Sorong, Raja Ampat dan bahkan ada pula yang berdomisili di  Jayapura provinsi Papua,” katanya.

Selain itu, pembatasan akses akibat pandemi Covid-19 pun menjadi salah satu faktor keterlambatan proses penyelidikan.

Meski begitu, penyidik tetap berupaya melakukan pemeriksaan secara virtual. Sedangkan untuk pemeriksaan dokumen pendukung dan bukti fisik lapangan atau progress kerja, akan dilakukan kemudian hari.

“Jadi kendala saat ini hanyalah yang terkait dengan pemeriksaan saksi dan dokumen pendukung, karena Covid – 19. Tetapi itu bukan alasan, karena bukti fisik lapangan akan kami lakukan kemudian hari, tentunya disesuaikan dengan dokumen, keterangan saksi dan progress kerja sesuai kontrak,” katanya.

Kasus dugaan korupsi hibah Papua Barat mencuat dan menjadi konsen penyidikan Kejati Papua Barat, setelah Inspektorat mengumumkan hasil auditnya.

Di mana terdapat kerugian senilai Rp68 miliar dari  total Rp598 miliar yang dihibahkan oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat di Tahun Anggaran 2018.

Dana hibah itu diperuntukan bagi sejumlah kegiatan, mencakup Organisasi Kemahasiswaan di Universitas Papua (Unipa) Manokwari, Pembentukan Fakultas (Pendidikan) dibeberapa perguruan tinggi negeri dan swasta, Pembangunan Rumah Ibadah (Keagamaan), dan keberlangsungan yayasan (Kemanusiaan)

Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari,  mendesak institusi penegak hukum di Papua Barat, khususnya Kejaksaan Tinggi Papua Barat (Kejati PB) agar melakukan “audit” dan penyelidikan terhadap yayasan-yayasan yang diduga keras menjadi “tempat pencucian uang” dari sejumlah oknum pejabat di jajaran Pemerintah Provinsi Papua Barat.

“Yaitu dengan menerima kucuran dana hibah keagamaan, pembangunan rumah ibadah dan yayasan dalam tahun anggaran 2016, 2017 dan 2018 yang lalu. Demikian halnya juga dengan yayasan yang bergerak di bidang pendidikan anak usia dini (PAUD). Tentu perlu dilihat dengan data base pendidikan di Kabupaten Manokwari dan Provinsi Papua Barat,” ungkap Warinussy, dalam siaran persnya kepada Jubi, belum lama ini.

Data yang dihimpun LP3BH Manokwari, bahwa ada beberapa oknum pejabat publik di Provinsi Papua Barat dalam tahun anggaran 2016, 2017 dan 2018 dengan menggunakan alasan pembayaran proposal masyarakat Papua Barat.

“Tapi ternyata dari jumlah 2.876 lembar proposal masyarakat, hanya dibayar sejumlah 65 persen dari total anggaran yang dialokasikan. Sedangkan 35 persen adalah fiktif, dan diduga keras pengelolaannya ada di bawah salah satu biro di Sekretariat Daerah Provinsi Papua Barat yang mengurus hal-hal keagamaan dan bantuan sosial,” bebernya.

Dalam konteks inilah, lanjut Warinussy, diduga keras melibatkan oknum mantan bendahara di Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Papua Barat.

“Diperoleh data bahwa oknum tersebut sempat mengelola 3 (tiga) yayasan berbeda. Menurut pandangan hukum saya bahwa aparat penegak hukum dapat menelusuri informasi ini dengan menggunakan UU RI No.3 Tahun 2011 Tentang Transfer Dana. Juga UU RI No.8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kemudian UU RI.No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan UU RI.No.20 Tahun 2001,” ungkapnya. (*)

Editor: Edho Sinaga

Related posts

Leave a Reply