Papua No. 1 News Portal | Jubi
Wamena, Jubi – Kejaksaan Negeri (Kejari) Jayawijaya akan melakukan upaya banding atas putusan hakim Pengadilan Negeri (PN) Wamena, terhadap PH (16 tahun) atas kasus kepemilikan senjata tajam, setelah kerusuhan Wamena 23 September 2019 lalu.
PH sendiri menjalani persidangan sejak 8 November 2019 dan divonis empat bulan penjara oleh hakim tunggal, Ottow Siagian S.H. pada 21 November 2019. Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut PH dengan kurungan 10 bulan penjara.
“Banding dilakukan hanya karena putusan di bawah setengah tuntutan jaksa sehingga harus banding. Materi bandingnya pun telah kami sampaikan ke Pengadilan Tinggi (PT) Jayapura per hari ini,” kata Kepala Seksi Pidana Umum (Kasipidum) Kejari Jayawijaya, Ricarda Arsenius S.H. kepada wartawan, di Wamena, Senin (25/11/2019).
Ia menjelaskan, hukuman yang diberikan kepada PH sebenarnya tidak terkait dengan kerusuhan 23 September 2019, karena perkara membawa senjata tajam itu terjadi pada 23 Oktober 2019.
Untuk masa penahanan terhadap PH ini, kata dia, saat banding diajukan maka akan ada masa penahanan lagi, yakni penahanan tingkat banding dan yang mengeluarkannya adalah PT Jayapura.
“Setelah putus empat bulan, penahanan sebelumnya masih berjalan belum habis, nanti misalnya dikeluarkan penahanan baru, itu akan mengikuti sampai nanti kita lihat apakah putusan tersebut sudah memenuhi rasa keadilan,” katanya.
Ia menjelaskan, jangka waktu pengajuan banding diberi batas selama tujuh hari, untuk menyatakan sikap terima atau tidak. Tetapi Kejari Jayawijaya menggunakan hak secepatnya, karena tidak ingin perkara tersebut berlarut-larut.
“Yang bersangkutan ini ada dua perkara, membawa senjata tajam dan dikenakan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) yang masih dalam tahap SPDP di Polres Jayawijaya,” katanya.
Sementara itu, Ketua PN Wamena, Yajid, S.H. M.H. mengatakan, putusan empat bulan kurungan penjara yang dikeluarkan hakim tunggal, atas pertimbangan PH masih di bawah umur.
“Karena anak itu mendapat perhatian khusus, mungkin saat itu ia hanya ikut-ikutan. Kami lihat juga dari sisi karena ia anak-anak masih punya masa depan, juga masih sekolah. Kalau dihukum terlalu lama, maka akan berdampak tidak baik terhadap dirinya,” kata Yajid.
Selain itu, hakim melihat karena PH masih muda dan punya kesempatan untuk berbuat baik, sehingga ketika hukumannya selesai ia masih bisa bersekolah.
“Undang-undang yang dikenakan dalam surat dakwaan PH, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, karena membawa senjata tajam,” ujarnya.
Untuk penahanan PH, kata Yajid, ada upaya banding dari JPU sehingga berkas perkara ini dilimpahkan ke PT, selanjutnya menjadi hak PT untuk melihat putusan sudah tepat atau belum.
“Sekarang PH sudah masuk penahanan hakim atau pengadilan hingga 2 Desember 2019. Jika pengajuan banding otomatis penahanan dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi Jayapura, dan saat ini PH ditahan di Lapas Wamena dengan penahanan yang khusus karena masih di bawah umur,” katanya.
Kapolres Jayawijaya, AKBP Dominggus Rumaropen menyampaikan, PH memang diperiksa atas dua kasus yaitu membawa senjata tajam dan dikenakan Undang-Undang Darurat, juga menjadi saksi tindak pidana Undang-Undang (UU) ITE terhadap tersangka berinisial RL.
Menurutnya, kenapa PH menjadi saksi atas kasus pelanggaran UU ITE karena awalnya PH disidik di Jayawijaya namun lokus deliktinya RL menyebarkan hoaks dari Sentani, Kabupaten Jayapura, sehingga setelah berkoordinasi dengan Subdit Cyber Polda Papua, kasus ini dilimpahkan ke polda.
“Setelah diproses untuk sajam, sebetulnya PH ini ialah pelaku penyebar hoaks juga, karena dari kiriman RL yang merupakan iparnya PH, diterimalah PH (kabar hoaks) yang intinya membahas tentang guru menyebut salah satu siswa dengan perkataan rasis. Lalu PH ini menyebarkan isu ini sebanyak 105 kali ke akun lainnya pada 23 September 2019 dini hari, setelah mendapatkan kiriman dari RL sekitar pukul 22.00 WP atau Minggu (22/10/2019) malam,” katanya.
Kata kapolres, dari hasil pemeriksaan bukan RL yang menulis dan menyusun kata-kata dalam kasus itu, namun RL menyadur dari grup pesan kumpulan mahasiswa se-Nduga, dan kebetulan RL ini seorang mahasiswa.
“RL setelah mendapat info dari grup itu, lalu dia mengirimkannya lagi ke PH dan PH menyebarkannya ke 105 akun lainnya, maka kalau untuk proses lanjut kepada PH kenapa kita tidak kenakan UU ITE yang ancaman hukumannya sesuai Pasal 45 ayat (2) hanya enam tahun, karena sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dan sistem peradilan anak, apabila seorang anak yang melakukan tindak pidana diancam hukumannya kurang dari tujuh tahun, maka anak tersebut wajib diversi, sehingga kita cari pidana lain yang ancaman hukumnya di atas tujuh tahun, dan setelah melihat kembali rekaman video yang didapat polisi dia terlihat membawa senjata tajam yang ancamannya 10 tahun,” katanya. (*)
Editor: Kristianto Galuwo