Papua No. 1 News Portal | Jubi
Nabire, Jubi – Rencana pengalihfungsian Kantor Bupati Dogiyai di Degeidimi yang dibangun mendiang Bupati Herman Auwe menjadi Markas Kepolisian Resor (Mapolres) Dogiyai, terus menuai penolakan dari berbagai pihak.
Penolakan berdatangan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Dogiyai, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua, Dewan Adat, pemilik hak ulayat, dan solidaritas rakyat peduli budaya Mee di Dogiyai.
Wakil Ketua I DPRD Dogiyai, Simon Petrus Pekei, mengatakan belum pernah ada pembahasan antara legislatif dan eksektif terkait rencana kehadiran Mapolres tersebut, sehingga kesannya hanya inisiatif dari eksekutif.
“Jadi itu keinginan bupati saja, bukan keinginan bersama dengan DPRD,” katanya, Rabu (18/3/2020).
Sementara itu, Ketua Komisi A DPRD Dogiyai, Agustinus Tebai, menyampaikan pihaknya masih menghargai keinginan masyarakat setempat, terutama pemilik hak ulayat yang menentukan lahan tersebut untuk siapa.
“Mari kita dengar sama-sama dari pemilik hak ulayat Degeidimi, bahwa tanah itu diberikan kepada siapa? Apakah kepada pemerintah untuk dibangun kantor bupati atau untuk kepolisian?” katanya.
Penolakan juga datang dari Anggota DPR Papua utusan Dogiyai, Alfred Freddy Anouw, yang meminta DPRD dan bupati mengutamakan keluhan masyarakat setempat, sebab ia juga mengetahui bahwa keinginan warga menolak kehadiran Polres dan Dandim di Dogiyai.
“Bupati, wakil bupati, dan 25 anggota DPRD juga anak asli Dogiyai. Setiap persoalan yang terjadi di Kamuu dan Mapia harus diselesaikan sendiri. Untuk apa menerima kebijakan pusat yang akan mendatangkan polres?” katanya.
Untuk menyikapi rencana kehadiran Mapolres Dogiyai, Anouw meminta pemimpin daerah harus mengeluarkan pernyataan resmi agar diketahui semua pihak.
Selain itu, Ketua Dewan Adat Mee Kamuu – Mapia, Germanus Goo, menyampaikan lokasi yang hendak ditempati kepolisian merupakan tanah keramat, yang tak boleh seorang pun menyentuhnya selain mereka.
“Apalagi saya punya masyarakat ini aman-aman saja, kalau mereka ribut pun pasti ada sesuatu yang menurut mereka tak baik. Maka perlu ada tingkat koordinasi dengan berbagai pihak untuk menuntaskan persoalan ini,” katanya.
Ia menegaskan tetap menolak kehadiran Mapolres tersebut sebab Dogiyai bukan daerah konflik dan aman-aman saja. “Jadi tidak boleh seenaknya bupati memberikan izin dan menyerahkan tempat itu untuk polisi.”
Pemilik hak ulayat menolak dan bupati bungkam
Ferdinan Tagi, pemilik hak ulayat Degeidimi menegaskan, pihaknya menyerahkan lokasi tersebut untuk mendirikan bangunan milik pemerintah setempat, maka diharapkan bisa digunakan sebaik-baiknya.
“Kapan mau bahagiakan masyarakat, kalau kami dijadikan mainan oleh pemerintah? Kalau kantor bupati ini diserahkan ke Polri maka tanah itu kami akan tarik kembali. Tanah itu milik kami bukan milik bupati dan Polri,” tegasnya.
Koordinator Solidaritas Peduli Budaya Mee di Dogiyai, Goo Benni, mengatakan jalan trans Papua yang berjarak 200 kilometer dari Nabire ke Dogiyai sudah teraspal, jadi kecepatan tempuhnya hanya membutuhkan lima jam, sehingga fungsi kepolisian dalam pengawasan, pengontrolan, dan pengamanan dapat dikendalikan melalui Polres Nabire.
“Kriteria menurut Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Pasal 5 ayat 1 poin (h), untuk pembentukan polres paling sedikit membawahi empat wilayah hukum polsek. Dengan poin ini maka masyarakat Dogiyai menilai, bahwa Dogiyai hanya dua polsek sehingga tidak memenuhi syarat. Lagi pula, masih belum ada polsubsektor,” jelasnya.
Menurut dia, sesuai Pasal 5 Ayat 1 poin (i), sekalipun pimpinan esekutif mendukung tetapi pimpinan legislatif dan masyarakat adat belum mendukung, maka keputusan tersebut tidak bisa dilaksanakan.
“Masyarakat Dogiyai dari 79 kampung semuanya menolak. Masyarakat Dogiyai menolak pembentukan kesatuan Mapolres di Dogiyai. Kami juga menyampaikan kepada masyarakat Dogiyai, agar tidak menyerahkan dan menjual tanah kepada siapa pun,” katanya.
Terkait masalah ini, Bupati Dogiyai, Yakobus Dumupa, yang coba dikonfirmasi Jubi selama tiga hari melalui telepon, pesan singkat, dan pesan WhatsApp, hanya membalas melalui pesan singkat, pada Selasa (17/3/2020) pukul 19.17 WP, yang menyampaikan bahwa bupati akan mengirim jawaban lewat pesan WhatsApp agar masalah ini jelas. Akan tetapi setelah menunggu sampai hari berikutnya, tidak ada balasan lagi meski disusul dengan pertanyaan berulang kali. (*)
Editor: Kristianto Galuwo