Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
MELIHAT dinamika pendidikan di Papua, terutama di daerah perbatasan dan pedalaman, merupakan persoalan yang rumit, karena selama ini murid-murid sekolah jarang melakukan aktivitas belajar-mengajar karena guru-guru jarang di tempat tugas.
Demikian disampaikan aktivis pendidikan Papua, Agustinus Kadepa. Menurutnya, persoalan ini bertambah rumit karena pendidikan akan berjalan dengan baik dan berkualiatas jika didukung berbagai aspek, seperti ekonomi, fasilitas, kesadaran, dan masyarakat terhadap pendidikan.
“Begitu banyak faktor penyebab yang membuat banyak guru lebih memilih untuk tinggal di kota," katanya.
Kadepa menilai penyebab pertama orang memilih menjadi guru di Papua karena peluang besar menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Orientasi ini menyebabkan setelah diangkat sebagai ASN meninggalkan tugas dan meminta pindah ke dinas lain. Guru hanya batu loncatan.
“Itu terjadi karena di bangku kuliah belum ada mata kuliah tentang ilmu pendidikan, ilmu mengajar, dan ilmu mengenal anak,” ujarnya.
Padahal itu materi yang benar-benar menjadi esensi ketika memilih menjadi guru seperti lulusan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) di masa lalu yang siap menjadi pendidik dimana saja mereka ditugaskan dan betul-betul mendidik anak anak.
Penyebab kedua, persoalan hak guru. Dalam kondisi pendidikan yang memprihatikan tersebut, hak guru selalu dipersoalkan dan menjadi topik utama sehingga terkadang muncul frasa "menjadi guru untuk mendidik atau cari uang".
“Frasa itu menjadi alasan bagi mereka yang mengendalikan hak-hak para guru yang suka melakukan pemangkasan (gaji guru) dengan berbagai alasan, misalnya pemotongan dana BOS yang begitu besar dilakukan oleh pihak tertentu di Dinas Pendidikan, seperti pengakuan para kepala sekolah di Kabupaten Paniai),” katanya.
Persoalan ketiga, menurut Kadepa, guru tidak mengetahui daerah setempat, seperti budaya, ekonomi, sosial, dan pengetahuan lokal. Padahal menjadi seorang guru harus mengetahui kondisi daerah setempat.
Ini disebabkan karena waktu di Perguruan Tinggi mata kuliah Etnografi Papua hanya dua SKS dan tidak dianggap penting. Akhirnya banyak guru tidak mengenal kondisi setempat dan menjadi orang asing di tempat tugasnya.
"Memang cukup banyak program yang dilakukan pemerintah dan lembaga lain yang melakukan program mengajar di daerah terpencil demi kemajuan pendidikan akan tetapi program itu terputus begitu cepat, padahal esensi pendidikan adalah kontinuitas dan tidak putus-putus seperti menjadikan anak Papua sebagai kelinci percobaan," katanya.
Kadepa mengatakan untuk daerah pedalaman dan perbatasan yang aksesnya susah dijangkau, tidak terlalu penting membuka SMP dan SMA. Cukup utamakan pendidikan di sekolah formal seperti SD. Selain itu wajib membuka kelompok belajar dan taman bacaan di tiap kampung yang dikelola serius oleh masyarakat kampung sendiri.
“Yang penting menciptakan lingkungan pendidikan yang terhubung dengan kondisi daerah yang sesuai dengan komoditas unggulan di kampung tersebut,” ujarnya.
Itu perlu dikembangkan masyarakat dan menjadi pondasi untuk mendorong anak-anak untuk sekolah lebih lanjut sesuai kemampuan mereka. Selanjutnya dikembangkan sesuai tuntutan perkembangan global.
"Jadi untuk mendidik anak Papua harus berangkat dari apa yang hendak dikembangkan oleh anak-anak sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimilikinya, bukan membingungkan anak Papua ketika semakin tinggi pendidikannya," katanya.
Sementara itu, Kepala Kampung Moso, Distrik Muara Tami di wilayah Skouw perbatasan RI-PNG meminta Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Jayapura untuk mengawasi guru honorer yang cukup lama tidak aktif.
Agus Watapoa kepada Jubi di Jayapura, Rabu, 23 Januari 2019 mengatakan guru-guru di sekolah yang berada di Kampung Moso tidak disiplin mengajar. Guru honor yang ditugaskan juga jarang hadir.
"Mereka mulai mengajar pukul 10 pagi akibatnya sekolah tidak berjalan dengan baik,” katanya.
Karena itu ia meminta Pemkot Jayapura dan Dinas Pendidikan mengontrol aktivitas sekolah di perbatasan agar berjalan dengan baik.
“Di sini banyak kekurangan, jadi saya punya keinginan banyak, tapi yang paling penting adalah sekolah, bagaimana sekolah kami berjalan dengan baik dan maju seperti sekolah di perkotaan," katanya.
Ia mengatakan selama ini guru-guru di Kampung Moso jarang hadir atau terlambat ke sekolah dengan berbagai alasan. Di antaranya banyak pekerjaan di kantor atau mengurus keluarga.
“Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di kota meski akibatnya anak-anak sekolah terlantar, masyarakat di sini sangat kecewa karena sekolah di tempat lain saja bisa maju kenapa di sini tidak bisa maju," katanya.
Menurutnya, tempat untuk guru-guru menetap di Kampung Moso sudah disediakan, namun mereka tidak mau menetap. Mereka muncul cuma dua kali seminggu dan biasanya mulai pukul 10 pagi.
Karena guru-guru terlambat datang, murid lama menunggu, akhirnya mereka bosan dan pulang ke rumah. Itu terjadi di SD Kampung Moso.
Ia meminta Dinas Pendidikan membuat rumah guru dan guru menetap di sana agar sekolah bisa berjalan normal. Dinas Pendidikan juga diharapkan bisa mengontrol keaktifan guru agar guru tidak memakan gaji buta.
"Guru yang aktif di sini cuma empat orang, namun yang selalu datang dua orang, sedangkan guru honor ada tiga orang,” katanya. (*)