Kebijakan pemekaran Papua inkonsisten dengan kebijakan moratorium pemekaran

Demo penolakan DOB di Wamena, Jayawijaya, Papua
Foto ilustrasi, demo penolakan rencana pemekaran Provinsi Papua dan pembentukan Daerah Otonom Baru yang dihadiri ribuan warga di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Kamis (10/3/2022). - Jubi/Mawel

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mempertanyakan kebijakan pemerintah pusat dan DPR RI yang secara sepihak akan memekarkan Provinsi Papua. Kebijakan itu dinilai aneh, karena pemerintah tengah memberlakukan moratorium pemekaran wilayah. Usman menyatakan pemekaran Provinsi Papua baru dapat dilakukan setelah pemerintah meminta persetujuan Pemerintah Provinsi Papua, DPR Papua, dan Majelis Rakyat Papua atau MRP.

Hal itu dinyatakan Usman Hamid di Jakarta, Kamis (10/3/2022). Usman membandingkan kebijakan pemekaran Provinsi Papua dengan kebijakan moratorium pemekaran wilayah yang berlaku nasional.

Read More

“Mereka, [pemerintah] memiliki alasan Pendapatan Asli Daerah dari Daerah Otonom Baru tidak meningkat, malah rendah. Yang kedua, anggaran negara tidak mampu membiayai operasional daerah. Yang ketiga, anggaran dianggarkan untuk penanggulangan [pandemi] COVID-19 dan untuk pembangunan infrastruktur, sehingga pemekaran wilayah di seluruh Indonesia ditolak,” katanya.

Baca juga: Kunjungi Komnas HAM, MRP bahas revisi UU Otsus Papua dan pemekaran

Usman mempertanyakan mengapa kebijakan moratorium pemekaran yang ditetapkan Presiden Joko Widodo tidak berlaku bagi Papua. Usman menilai proses pemekaran Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dilakukan secara cepat dan dipaksakan. “Saat ini, kenapa seluruh pengusulan pemekaran [dan pembentukan] Daerah Otonom Baru ditolak oleh pemerintah pusat, tetapi di Papua malah diterima dan seperti dipaksakan,” kata Usman.

Menurut Usman, langkah sepihak pemerintah pusat dan DPR RI memekarkan provinsi di Tanah Papua justru menunjukkan tidak adanya konsisten kebijakan pemerintah terkait moratorium pemekaran. Hal itu dinilai Usman tidak adil bagi daerah lain yang mengusulkan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB). “Kalau pemerintah mau konsisten terkait moratorium pemekaran, harusnya Papua juga tidak dimekarkan,” kata Usman.

Usman juga mengkritik kebijakan pemekaran yang tidak aspiratif dan tidak melibatkan Gubernur Papua sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Kebijakan itu juga dinilai sangat dipaksakan, karena dijalankan tanpa melibakan DPR Papua dan MRP.

“Terkait pemekaran provinsi, [pemerintah] yang harus meminta persetujuan dari Pemerintah Provinsi Papua, DPR Papua, dan MRP. Hal itu malah itu dihilangkan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Seharusnya pemerintah minta pandangan dari Pemerintah Provinsi Papua, DPR Papua, dan MRP, apakah rakyat Papua perlu pemekaran atau tidak. Seharusnya beberapa rancangan undang-undang pemekaran di Papua itu ditunda,” kata Usman.

Ketua MRP, Timotius Murib menegaskan Papua dan Nangroe Aceh Darussalam adalah dua provinsi yang diberi Otonomi Khusus (Otsus) karena rakyatnya pernah menyatakan ingin merdeka dari Indonesia. Menurutnya, pemerintah pusat dan DPR RI seharusnya lebih berhati-hati membuat kebijakan wilayah yang memiliki Otsus—termasuk kebijakan pemekaran wilayah.

Baca juga: MRP minta Jakarta tunda pemekaran Provinsi Papua

“Papua dan Aceh itu daerah khusus, presiden seharusnya merawat daerah khusus. Papua dan Aceh berstatus khusus, karena ada perjuangan rakyat itu sendiri,” katanya.

Sayangnya, menurut Murib, Jakarta secara sepihak melakukan evaluasi implementasi Otsus Papua dan merevisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua Lama). Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru) justru mengurangi substansi kewenangan Otsus Papua yang diatur UU Otsus Papua Lama.

Murib menyatakan UU Otsus Papua Baru itu adalah menghapuskan kewenangan MRP dan DPR Papua untuk menolak atau menyetujui rencana pemekaran provinsi. Pasal 76 UU Otsus Papua Lama menyatakan “Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.” (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply