Papua No.1 News Portal | Jubi
Oleh: Florentinus Tebai
Senin, 7 Maret 2022 di Nabire terjadi pengadangan wartawan Jubi dan pemred Wagadei.com di Nabire, Abeth You, yang hendak meliput berita mengenai DOB di Papua. Pembungkaman juga terjadi atas massa aksi tolak pembentukan DOB di Papua, 8 Maret di Jayapura.
Aksi itu ialah, aksi demonstrasi damai demi menolak semua bentuk pemekaran DOB di Provinsi Papua dan Papua Barat. Aksi demonstrasi damai itu tidak sampai di gedung DPR Papua, karena TNI/Polri mengadang dan membubarkan massa aksi.
Kebebasan eksistensial Karl Jasper
Gagasan mengenai kebebasan eksistensial dilahirkan oleh Karl Jaspers. Awalnya, gagasan ini, muncul untuk melihat konteks zamannya (pendekatan historis) mengenai sejarah kehidupan manusia pada konteks zamannya.
Secara esensial, Jaspers, filsuf asal Jerman itu, menempatkan gagasan pemikirannya kepada “manusia”, sebagai makhluk yang tentunya mengalami perkembangan dan memperoleh pengalaman serta pemikirannya dalam situasi zamannya, sebagaimana setiap manusia hendak berelasi dengan sesamanya, serta membentuk suatu pengalaman nasib hidupnya.
Makna kebebasan “manusia” dalam pandangan Karl Jaspers
Sartre mengatakan bahwa,“aku dibentuk bebas.” Baginya, tidak ada batas atau kebebasannya, “tidak ada kebebasan atas kebebasanku”, kecuali kebebasan itu sendiri, atau jika mau kita tidak bebas untuk berhenti bebas.
Menurut Sartre ada dua “etre”(Berada), yaitu, I’ etre-en-sio (berada pada dirinya), dan I’ etre prur-sio” (berada untuk dirinya). Maksud cara berada pertama, ialah, “cara berada bukan pada manusia, tetapi pada cara “berada” yang mewujudkan ciri benda “jasmaniah”. Artinya, semua benda berada dalam dirinya sendiri. Semua yang berada dalam diri itu, tidak aktif, pasif, tanpa kesadaran, tanpa makna.
Cara berada kedua, ialah, ia menempatkan “manusia” sebagai cara berada yang “istimewa”, yaitu, di dalamnya ada “Kebebasan manusia”, mampu bertanggung jawab atas fakta, kesadaran yang reflektif.
Oleh karena itu, cara berada kedua jauh berbeda dengan cara berada pertama yang menempatkan manusia pada benda-benda.
Asas paling fundamental dalam filsafat Sartre ialah mengenai eksistensialisme, yakni pada “subjektifitas” (keberadaan manusia pada dirinya).
Baginya, manusia selalu memiliki kebebasan sejati dalam sejarah tindakannya yang mendatangkan manfaat bagi eksistensi hidupnya. Dalam bukunya, “Being and Nothing”. (Manusia harus selalu siap bereksistensi dan mengisi nilai tersendiri bagi eksistensi hidupnya (Yunus, 2011: 36-37).
Kebebasan eksistensialisme dan pandangan DOB di Papua
Secara esensial, orang Papua sebagai manusia dalam pengalaman hidup mereka, paling tidak, pengalaman hidup di daerah pembentukan daerah DOB di dua provinsi (Papua dan Papua Barat).
Mereka belum mengalami suatu kebebasan secara eksistensial sebagai seorang manusia yang memiliki makna hati nurani dan kehendak bebas serat rasio (akal sehat) dalam kehidupan mereka di Tanah Papua, sebab, dalam pengalaman empiriknya, mereka merasa bahwa mereka mengalami pelbagai pengalaman ketidakadilan, intimidasi, pembunuhan, kekerasan, penangkapan, pembungkaman ruang demonstrasi dan lainnya.
Mereka mengalaminya selama kurang lebih 21 tahun, paling tidak, selama otsus jilid I sejak diberlakukan di Tanah Papua.
Penulis berasumsi bahwa dalam pengalaman empirik, orang Papua belum berada/beresensi secara bebas, sadar dalam tiap aspek kehidupan mereka, semisal, dalam bidang ekonomi, mereka merasa bahwa kehidupan ekonomi mereka belum sejahtera, walaupun Papua merupakan daerah DOB Provinsi Papua dan Papua Barat, terdapat bantuan dana dari pusat demi pembangunan dan pengembangan ekonomi serta kesejahteraan hidup masyarakat.
Papua juga dikenal sebagai wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Mereka juga merasa bahwa mereka belum menemukan kebebasan, eksistensial pada dirinya, dalam tiap ruang demonstrasi, maupun dalam aktivitas sosial lainnya, karena setiap aspirasi mahasiswa terus saja dibungkam dan dihadang oleh aparat keamanan TNI dan Polri.
Mereka merasa, bahwa secara empirik tiap DOB di Papua tidak membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi kehidupan mereka, justru tiap pembentukan DOB di Papua tidak membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi kehidupan mereka. Justru pemekaran DOB hadir di Papua sebagai peluang pemusnahan etnis dan terciptanya ruang konflik dalam kehidupan mereka.
Dalam kaitannya dengan pemekaran DOB di Papua, berdasarkan pengalaman empirik mereka, mereka merasa bahwa pemekaran DOB di Papua menjadi terciptanya salah satu tempat bagi perusahan-perusahan berskala besar, bagi perusahaan-perusahaan berskala besar (kapitalisme) dan investor-investor asing yang hendak masuk ke Papua, untuk mengeruk segala kekayaan sumber daya alam demi meningkatkan mutu perekonomian mereka, semisal, PT Blok Wabu di Intan Jaya, smelter yang hendak beroperasi di Intan Jaya, sejak tahun 2021 lalu, walaupun telah mengakibatkan pengungsian secara besar-besaran atas warga sipil di Intan Jaya.
Tidak hanya itu, pengalaman serupa juga terjadi di semua tempat, yaitu, di Kiwirok, Maybrat, dan Ndugama.
Bertolak dari sejumlah pengalam empirik ini, mereka merasa bahwa secara esensial belum menemukan kebebasan eksistensial, sebagai manusia yang berasas bebas sebagai makhluk yang memiliki kebebasan eksistensial yang aktif, sadar, dan penuh bertanggungjawab di atas tanah mereka.
Dengan pemekaran DOB, mereka juga memandang bahwa justru menjadi terciptanya lahan konflik paling subur, yaitu, pelanggaran HAM, seperti, pembunuhan, penangkapan, kemiskinan, ketidakadilan, ketersingkiran, pengesploitasiaan, atas kekayaan sumber daya alam dan perampasan atas hak tanah adat sebagai “rumah” dan “mama” yang senantiasa memberikan kehidupan dalam kehidupan mereka,
Pada akhirnya, mereka menyadarinya bahwa, mereka harus selalu mengejar, memperjuangkan, dan berkehendak untuk menemukan kebebasan secara esensial (cara berada ciri mereka) di tanah mereka sebagai manusia dalam kehidupannya, yaitu, kemerdekaan atau kebebasan bangsa Papua, demi terwujudnya kebebasan dan kemerdekaan demi kebahagiaan dan kebaikan bagi mereka di tanah Papua. (*)
Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua
Editor: Timoteus Marten