Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menetapkan tragedi Paniai, Papua sebagai pelanggaran HAM berat.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik Mengatakan, keputusan iji ditetapkan dalam sidang paripurna khusus pada 3 Februari 2020.
“Secara aklamasi kami putuskan [tragedi Paniai] sebagai peristiwa pelanggran berat HAM,” kata melalui keterangan tertulisnya, Minggu (16/2/2020).
Penetapan ini dilakukan setelah Komnas HAM telah membentuk tim ad hoc yang bekerja selama 5 tahun, dari 2015 hingga 2020, untuk menghimpun berbagai keterangan dan saksi.
Menurut Taufan, tragedi Paniai merupakan peristiwa kekerasan terhadap penduduk sipil yang mengakibatkan empat orang berusia 17-18 tahun meninggal dunia akibat luka tembak dan luka tusuk. Sedangkan 21 orang lain mengalami luka penganiayaan.
“Peristiwa Paniai memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan, dengan adanya tindakan pembunuhan dan tindakan penganiayaan. Unsur sistematis atau meluas dan ditujukan pada penduduk sipil dalam kerangka kejahatan kemanusiaan sebagai prasyarat utama telah terpenuhi,” ujar dia.
Selama melakukan penyelidikan, tim telah melakukan pemeriksaan kepada para saksi sebanyak 26 orang. Kemudian, meninjau TKP di Enarotali Kabupaten Paniai, dan memeriksa berbagai dokumen, diskusi dengan ahli, dan berbagai informasi yang menunjang pengungkapan.
Berdasarkan hasil penyelidikan itu, menurut Taufan, disimpulkan bahwa anggota TNI yang bertugas pada saat peristiwa tersebut, baik dalam struktur komando Kodam XVII/Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai, diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab.
Tim penyelidik juga menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian, namun bukan dalam kerangka pelanggaran HAM berat.
“Oleh karenanya, direkomendasikan untuk menindaklanjuti pelanggaran tersebut dan memperbaiki kepatuhan terhadap hukum yang berlaku, khususnya terkait perbantuan TNI-Polri,” kata dia.
Disamping itu, tim juga menemukan adanya indikasi obstruction of juctice dalam proses penanganan usai peristiwa yang mengakibatkan kaburnya fakta dan memperlambat proses penegakan hukum.
Menurut dia, obstruction of justice penting untuk tetap disebutkan sebagai fakta, meski tidak harus dikaitkan dengan adanya sistematis atau meluas. “Ini bertujuan agar mendapat perhatian oleh penegak hukum untuk bekerja profesional dan menegakkan keadilan, bukan yang lain,” kata dia.
Taufan mengatakan tahap berikutnya yakni pengiriman berkas penyelidikan telah dikirim kepada Jaksa Agung atau penyidik pada tanggal 11 Februari 2020, sesuai dengan ketentuan dalam UU Nonor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
“Kami berharap segera ada proses sampai ke pengadilan. Harapan besar dari korban dan masyarakat Papua secara umum agar kasus ini dapat mendatangkan keadilan,” kata dia.
Tragedi Paniai merupakan pelanggaran HAM berat pertama di era Presiden Jokowi yang teejadi selang dua bulan setelah resmi jadi presiden pada Oktober 2014.
Sebelumnya, Menkopolhukam Mahfud MD pernah mengklaim tidak ada pelanggaran HAM di era Pemerintahan Jokowi.
“Di era Pak Jokowi sejak 2014 sampai sekarang, tidak ada satupun isu pelanggaran HAM. Kejahatan banyak, pelanggaran oleh oknum juga banyak dan itu sedang diproses,” ucap dia di kantor Kemenko Polhukam, Kamis (12/12/2019).
Ia juga meminta publik tidak menyamakan tindak kejahatan dengan pelanggaran HAM. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menjelaskan secara definisi hukum, pelanggaran HAM yakni dilakukan oleh aparat pemerintah secara terencana dengan tujuan tertentu.
Sedangkan, kategori kejahatan seperti penganiayaan yang termasuk pelanggaran HAM, tapi pemerintah tak sebut itu sebagai pelanggaran hak asasi.
Tapi Mahfud mengaku masih ada 11 perkara ada pelanggaran HAM di Indonesia yang terjadi sebelum Joko Widodo jadi presiden. Mahfud tidak menampik ada dugaan pelanggaran HAM di masa Joko Widodo, tapi hal tersebut dilakukan oleh oknum kepada rakyat atau sesama rakyat, bukan oleh pemerintah.
Ada langkah maju
Sementara, Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, Gustaf Kawer mengapresiasi Komnas HAM RI dan semua pihak yang selama ini mengadvokasi kasus Paniai berdarah, sehingga kasus tersebut meningkat statusnya.
“Berarti ada langkah maju penegakan hukum. Apresiasi ini tentu diikuti harapan adanya penyelesaian. Walau sebagai aktivis HAM, kami masih pesimis ini akan seperti penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya di Papua,” kata Kawer kepada Jubi, Minggu (16/2/2020).
Ia memberikan contoh, kasus pelangaran HAM berat Timor Timur yang sebagian besar pelakunya andalah anggota TNI dibebaskan pengadilan. Hanya warga sipil seperti Eurico Guterres yang divonis bersalah. Demikian juga dengan kasus Tanjung Priok yang juga bebas.
Papua memiliki pengalaman sendiri. Mulai dari kasus Abepura Abepura yang divonis bebas. Berikutnya Wasior hanya sampai Jaksa kemudian dikembalikan lagi ke Komnas HAM dan belum ada peningkatan sampai saat ini.
“Ini berarti kita taruh harapan di Komnas HAM, Jaksa Agung sampai ke Pengadilan Hakim supaya profesional dan independen dalam menegakkan hukum dan HAM dalam kasus ini. Supaya membawa keadilan buat rakyat Papua, secara khusus korban pelanggaran HAM di Paniai,”
Untuk itu, Kawer berharap agar semua pihak, mulai dari masyarakat, LSM, pemerintah dan semua pihak di Papua agar mengawal kasus Paniai.
“Supaya keadilan bisa didapat, ada hukuman buat pelaku, ada kompensasi, restitusi, rehabilitasi bagi korban dan keluarga. Itu baru akhir dari perjuangan juga,” ujarnya.
Bentuk pengadilan HAM di Papua
Dorongan pembentukan pengadilan HAM di Papua muncul seiring dengan keputusan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menetapkan Paniai berdarah pada 7 hingga 8 Desember 2014, sebagai pelanggaran HAM berat. Keputusan Komnas HAM pada 15 Februari 2020 di Jakarta itu harus ditindaklanjuti untuk memenuhi azas keadilan.
“Untuk itu Mahkamah Agung dan Presiden Republik Indonesia agar dapat membentuk pengadilan HAM di Papua agar kasus Paniai berdarah harus dapat diadili di Papua bukan di Makassar,” kata sekretaris II dewan adat Papua, John Gobay kepada Jubi, Sabtu (15/02/202).
Keberadaan pengadilan HAM di Papua itu dinilai penting agar masyarakat luas dan publik Papua bisa mengikuti proses peradilan terhadap kasus yang terjadi di Paniai.
“Karena mengikuti proses langsung itu bagian dari memberi kepuasan bagi keluarga korban,” kata Gobay menambahkan.
Ia menyebutkan masyarakat harus terlibat melihat lansgung proses peradilan dengan mata kepala sendiri. Selain itu jika pengadilan HAM dibuka di Papua memudahkan banyak saksi bisa dihadirkan tanpa mengeluarkan banyak biaya.
Mekanisme pembentukan Pengadilan HAM di Papua bisa bersatu dengan pengadilan negeri Jayapura. Apa lagi hal itu sudah dilakukan dengan membentuk pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di Pengadilan Negeri Jayapura.
“Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jayapura, pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri Jayapura. Jadi sekali lagi pengadilan HAM harus dibentuk untuk mengadili kasus pelanggaran HAM wamena dan Wasior di Papua,” kata Gobay menjelaskan.
Gobay menyebut penetapan itu melalui proses panjang dan konsistensi perjuangan yang didorong setiap pergantian komisioner Komnas HAM, pembentukan tim ad hock, pertemuan dengan komisioner dan keluarga korban serta demonstrasi pejuang HAM yang tidak kenal lelah dari Papua maupun di Jakarta.
Sedangkan yang terlibat mengawal proses penetapan kasus pelanggaran HAM berat itu mulai pemerintah Kkabupaten Paniai, pemerintah provinsi Papua, dewan perwakilan rakyat provinsi Papua, NGO, mahasiswa, gereja-gereja, para pemimpin gereja, kaum religius, mahasiswa, aktivis HAM dan hingga jurnalis.
Penetapan kasus Paniai sebagai kasus pelanggaran HAM berat telah menambah jumlah kasus sama di Papua yang sudah ditetapkan Komnas HAM sebelumnya.
“Dua kasusnya sebelumnya mengendap di Kerjaksaan Agung. Kasus pelanggaran HAM berat Wasior dan Wamena,” kata Gobay menjelaskan. (*)
Editor: Edho Sinaga