Oleh : Simon Patrice Morin
KOMPAS.id. Selasa tanggal 30 Juli 2019, memuat informasi dari berbagai sumber tentang jumlah korban meninggal di kalangan para pengungsi Nduga akibat konflik yang terjadi pada awal Desember tahun 2018. Menurut berita tersebut, Dinas Kesehatan Kabupaten Nduga menyebutkan angka 139 orang pengungsi Nduga meninggal dunia akibat kelaparan. Namun Namia Dwijangge, Sekretaris Daerah Kabupaten Nduga dan sumber resmi pemerintah lainnya membantahnya dan menyebutkan angka 53 orang meninggal dan bukan karena kelaparan tetapi karena penyakit. Dari jumlah tersebut 22 orang adalah anak-anak dan datanya semua sudah diverifikasi.
Dari sumber yang sama diberitakan juga bahwa menurut Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem, jumlah korban yang meninggal malah melebihi 139 orang dan ia memiliki data lengkap berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh yayasan tersebut di Nduga.
Kita tidak perlu larut dalam perdebatan soal angka statistik yang hanya akan mengaburkan penderitaan rakyat kita yang tak berdaya menolong dan melindungi dirinya dari ekses-ekses yang diakibatkan konflik tersebut. Kita semestinya merasa malu karena rakyat Nduga yang belum semaju seperti kita dikorbankan hanya karena ulah segelitir orang yang kemampuan persenjataannya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekuatan TNI dan Kepolisian kita.
Persepsi dan cara kita menangani peristiwa ini telah membuat rakyat Nduga takut dan meninggalkan kampung halamannya yang merupakan tempat perlindungan yang sudah teruji demi mempertahankan hidupnya sehari-hari. Di sana ada rumah, ada makanan dan ada keutuhan keluarga serta ada gereja yang memberi kenyamanan hidup tanpa harus mengungsi dan menjadi beban orang lain atau menjadi beban Departemen Sosial.
Dari media masa dan media sosial kita mengetahui bahwa situasi konflik yang berlangsung Sembilan bulan ini, bukan saja membuat rakyat Nduga menjadi korban dan terusir menjadi pengungsi di tanah leluhurnya sendiri tetapi bahkan menjadi korban di berbagai kamp pengungsian yang terpencar di kabupaten tetangga yang mungkin saja belum terdeteksi seluruhnya. Terkesan mereka kurang mendapat perhatian dari kita semua yang menyebut diri manusia-manusia modern dan beradab di abad 21 ini.
Ironisnya, mereka justru kita biarkan mati sia-sia di tempat pengungsian yang mestinya aman bagi mereka karena berada di depan mata kita dan jauh dari daerah konflik.
Mungkinkah tragedi ini terjadi karena sistim yang kita bangun kurang berfungsi atau tidak sensitif lagi untuk mendeteksi kondisi-kondisi yang mengancam kehidupan saudara-saudara kita pengungsi Nduga sehinga sejak awal dapat di antisipssi? Ataukah pembiaran ini terjadi karena kita mengaggap merekalah penyebab konflik itu sehingga pantas dibiarkan menderita dan mati agar menjadi pelajaran bagi yang lain?
Hanya Tuhanlah yang maha tahu dan mampu menyelidiki isi hati para pemimpin yang dengan kekuasaannya telah membuat kebijakan yang melahirkan krisis kemanusiaan ini.
Sebagai bangsa yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, marilah kita renungkan realitas-realitas ini sambil mengujinya dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila.
Sebab sesungguhnya apa yang menimpa rakyat Nduga nampaknya bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengan kelima sila dari Pancasila.
Apakah penderitaan rakyat Nduga pantas terjadi di tengah bangsa yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa? Apakah penderitaan rakyat Nduga pantas terjadi di tengah bangsa yang ber-Perikemanusiaan Yang adil dan Beradab?
Apakah penderitaan rakyat Nduga pantas terjadi di tengah bangsa yang ber-Persatuan Indonesia? Apakah penderitaan rakyat Nduga pantas terjadi di tengah bangsa yang ber-Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan namun terkesan tidak mau mempertimbangkan usul dan pendapat yang berbeda dari para pemimpin Papua dan rakyat Nduga yang menjadi korban? Apakah penderitaan rakyat Nduga pantas terjadi di tengah bangsa yang menyebut diri ber-Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia?
Saya berdoa kepada Tuhan Yang Maha Bijaksana untuk menerangi hati dan pikiran kita agar merenungkan hal ini tanpa menyalahkan siapa-siapa. Dari perspektif Pancasila pertanyaan mendesak yang patut ditujukan kepada para pemimpin bangsa kita adalah: Kapan konflik Nduga akan diselesaikan dengan Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan secara bermartabat dan manusiawi?
Ataukah kita sudah tidak memiliki lagi pemimpin-pemimpin yang sanggup bermusyawah dengan rakyatnya sendiri di Tanah Papua karena lebih nyaman mendahulukan pendekatan keamanan yang eksesif untuk membungkam rakyat Nduga yang berbeda dengan kita dan tidak kita fahami?
Dalam kondisi seperti ini patut kita renungkan kata-kata mendiang DR. Daud Jusuf dalam bukunya “Studi Strategi — Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional yang mengatakan bahwa konflik dan perang terhadap rakyat sendiri yang pernah terjadi di Aceh, Timor Timur dan masih terus berlanjut di Tanah Papua adalah: “a wrong war, at the wrong place, at the wrong time, with the wrong enemy and initiated by the wrong reason.”(perang yang keliru, pada tempat yang keliru, pada waktu yang keliru, dengan musuh yang keliru dan digagas dengan alasan yang keliru).
Bahwa perlawanan rakyat seperti ini dapat ditumpas dengan kekuatan bersenjata dan luka-luka akibat perang yang serba keliru itu dapat disembuhkan, namun bekas luka-lukanya tidak akan pernah hilang, karena diceritakan dari orang tua ke anak, dari anak ke cucu dan dari cucu ke cicit sehingga menjadi ingatan kolektif yang penuh kepahitan. Bila konflik di Nduga dibiarkan berlarut larut tanpa ketegasan penyelesaian yang damai dan bermartabat dan terus menerus membenturkan aparat keamanan dengan rakyat maka hasil akhirnya adalah menambah dan memperpanjang rasa sakit hati dan ketidak percayaan rakyat Papua kepada pemerintah.
Hal tersebut juga akan semakin menegaskan kebenaran anggapan dalam ingatan kolektif rakyat Papua bahwa hidup bersama Indonesia selama 57 tahun identik dengan kekerasan dan penderitaan. Realitas seperti ini akan menghapus semua hal-hal baik yang pernah kita berikan dan lakukan di Papua dan hanya akan meninggalkan kenangan pahit.
Kondisi Papua dan khususnya Nduga hari ini adalah ibarat luka busuk yang terkesan kita tutup-tutupi dengan perban tanpa membersihkan dan mengobati lukanya dan berharap lukanya akan sembuh dengan sendirinya. Kita lupa bahwa luka busuk ini baunya sudah menyebar ke mana mana dan boleh jadi infeksinya telah membuat tubuh kita mulai sakit dan demam .
Sebagai bangsa yang bermartabat jangan kita biarkan kondisi ini berlarut-larut sampai ada pihak lain memperlihatkan keperduliannya terhadap keselamatan mereka barulah kita marah atau reaktif. Menolong saudara-saudara kita rakyat Nduga harus terjadi bukan karena ada pihak luar yang mempersoalkannya tetapi karena mereka adalah saudara kita sendiri yang patut ditolong dengan sepenuh hati tanpa embel-embel politik.
Patut direnungkan bahwa proses “menjadi bangsa atau mem-bangsa” (a nation in being) masih panjang dan masih tetap merupakan a never ending journey. Kita sudah punya landasan ideologi yang jelas sebagai pegangan untuk mengurus bangsa ini secara adil dan bermartabat. Namun selama ini terkesan, Ideologi Pancasila, Konstitusi dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika masih kurang difahami untuk dimplementasikan oleh para pemimpin dan pengelola negara.
Dalam kasus Nduga, kita masih mengedepankan pendekatan keamanan karena mungkin para pengelola negara belum mampu merumuskankan cara-cara yang Pancasilais untuk menyelesaikan konflik di Papua dan khususnya konflik Nduga. Para pemimpin kita terkesan marah karena ada segelintir pengganggu yang mengusik kebanggaan nasional kita sebagai bangsa besar. Kita terpancing dan terjebak untuk mengikuti cara-cara mereka dengan menggunakan kekerasan. Padahal kesempatan ini dapat kita gunakan untuk menarik simpati rakyat Nduga ke pihak kita dan mengisolasi kelompok tersebut.
Penulis berpandangan, berbagai kasus kekerasan di Papua yang tidak mampu diselesaikan secara adil dan bermartabat merupakan bukti “kegagalan ideolgis” selama lebih dari lima dekade integrasi Papua dengan Indonesia. Dinamakan “kegagalan ideologis” karena kita masih mengedepankan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan konflik di Papua. Padahal mestinya kita menggunakan kekuatan dan daya tarik ideologi Pancasila untuk meyakinkan orang asli Papua tentang makna menjadi bagian dari bangsa Indonesia yang ber-ideologi Pancasila dalam kata dan perbuatan. Kita mestinya memetik pelajaran dari sejarah runtuhnya Uni Sovyet dan Yugoslavia, dua imperium moderen yang usianya tidak mencapai satu abad.
Uni Sovyet hanya berusia 74 tahun (1917 — 1991) bila dihitung dari Revolusi Oktober 1917 yang menghasilkan sebuah rezim komunis yang berkuasa dengan tangan besi sampai kepada keruntuhannya pada tahun 1991. Negara Yugoslavia yang berusia hampir sama (1918 — 1992) yang sebelumnya menjadi kerajaan dan sesudah Perang Dunia kedua dirobah menjadi Federasi Republik Rakyat Yugoslavia di bawah pimpinan Jozef Broz Tito. Yugoslavia bubar hampir bersamaan dengan bubarnya Uni Sovyet.
Hal menonjol dari kedua imperium yang gagal ini adalah diperintah dibawah system komunis yang membatasi kebebasan serta persatuan dan kesatuan bangsanya yang multi-etnik dan multi-kultural hanya bersifat semu.
Walaupun berbagai analisis menyatakan faktor utama penyebab keruntuhan kedua imperium tersebut adalah kegagalan ekonomi, namun faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah kegagalan dalam membangun dan mengelola kebersamaan sebagai bangsa-bangsa yang multi-etnik dan multi-kultural.
Ternyata dalam perjalanan bangsa-bangsa itu, ideologi komunis kehilangan daya tariknya dan gagal mempersatukan mereka. Konflik-konflik internal yang terjadi di Uni Soviet misalnya tidak lagi dihadapi dengan pendekatan ideologis tetapi dengan bedil dan tank. Terbukti, kekuatan militer Uni Sovyet yang hanya sebanding dengan Amerika Serikat tidak mampu mencegah terjadinya disintegrasi ketika bangsa-bangsa itu serentak memilih jalannya masing-masing.
Analog dengan itu, harus diingat bahwa proses menjadi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan budaya serta tersebar di berbagai pulau masih belum merupakan urusan yang sudah final. Banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan agar proses membangsa ini berlangsung secara harmonis dan berkelanjutan. Jangan sampai ada pihak-pihak yang beranggapan bahwa proses menjadi satu bangsa sudah selesai dan hanya sekedar urusan tinggal bersama dalam satu Rumah Besar yang disebut NKRI dan dijaga ketat oleh TNI dan POLRI agar tidak ada yang keluar atau memisahkan diri dan tidak ada orang asing yang masuk untuk mengganggu.
Pada usia 74 tahun ini para pemimpin kita hsrus sadar bahwa mempersatukan suatu bangsa yang multi-etnik dan multi-kultural seperti Indonesia menyangkut urusan membangun saling pengertian, saling mengakui dan menghargai eksistensi masing-masing kelompok, ada ruang kebebasan menyatakan pendapat yang berbeda dan ada pemimpin yang mau mendengar serta ada ruang hidup bagi masing-masing. Kita bersatu bukan karena yang banyak mendominasi yang sedikit atau yang kuat mendominasi yang lemah.
Proses menjadi bangsa yang bersatu, bermartabat, dan kuat adalah suatu proses dialogis yang harus terus menerus berlangsung, baik lintas suku, lintas agama maupun lintas generasi.
Proses tersebut membutuhkan kearifan kolektif dari seluruh bangsa untuk memahami dirinya dengan segala keunikan yang dimiliki dan terus menerus melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan agar bangsa itu menjadi semakin lebih baik dan lebih bermartabat. Bila kita menghendaki imperium Indonesia bertahan ratusan tahun ke depan, maka kita harus berani mengoreksi kesalahan-kesalahan kita secara kolektif dan kesalahan para pemimpin kita dalam mengelola negara agar terhindar dari tragedi Uni Sovyet ataupun Yugoslavia.
Tulisan ini diakhiri dengan mengutip kata-kata Joseph Ernest Renan, seorang filsuf dan sejarawan Perancis berikut ini: “A nation is a soul, a spiritual principle. Only two things, actually, constitute this soul, this spiritual soul. One is in the past, the other is in the present. One is the possession in common of a rich legacy of remembrance; the other is the actual consent, the desire to live together, the will to continue to value the heritage which all hold in common — Sebuah bangsa adalah sebuah jiwa, sebuah hakekat rohaniah.
Hanya ada dua hal yang sesungguhnya mengikat jiwa ini, jiwa rohaniah ini. Satunya berkaitan dengan masa lampau, yang satunya lagi berkaitan dengan masa kini.
Satunya adalah kepemilikan bersama dari suatu kekayaan warisan kenangan; yang satunya adalah kesepakatan yang selalu diperbarui, dan kerinduan untuk hidup bersama, kehendak untuk terus menghargai warisan-warisan yang dimiliki bersama.
Presiden Joko Widodo sedang memberikan perhatian kepada pembangunan daerah-daerah pinggiran Indonesia termasuk Papua agar kekecewaan-kekecewaan di masa lalu berobah menjadi kenangan manis.
Sebagai bangsa kita patut mendukung upaya-upaya raksasa yang sedang dilaksanakan pemerintahannya agar Indonesia secepatnya menjadi negara besar yang adil dan makmur dari Merauke sampai Sabang.
Dalam seluruh proses ini orang asli Papua terkesan masih belum merasa nyaman dalam keluarga besar bangsa Indonesia. Mampukah para pemimpin mengimplementasikan ideologi Pancasila dalam menjawab tantangan tersebut dan membuat orang asli Papua menjadi yakin akan masa depan yang semakin adil dan sejahtera bersama Indonesia?
Bila hal ini terjadi maka insya Allah setiap OAP yang bangun setiap pagi bila ditanya apa pilihannya, ia akan tetap memilih Indonesia sebagai pilihan terbaik karena kenangan manis yang kita ciptakan melalui suatu pendekatan yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaannya sebagai orang Papuan Indonesia. (*)
Penulis adalah mantan Anggota DPR-RI (1992 — 2009)