Kalokia Hinangami Devin rumah adat suku Amungme

Suku Amungme sebelum penambangan PT Freeport – Jubi/ist   

Papua No.1 News Portal | Jubi

“Pandanglah babi ini yang kami korbankan dan persembahkan untuk-Mu, hai Bapa Yang Maha Kuasa.”

Hampir sebagian besar rumah adat suku Amungme atau dalam bahasa setempat disebut Kalokia Hinangami Devin sudah tak lagi. Kalaupun ada, mungkin hanya bentuk rumah keluarga, apalagi masuknya agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik di Bumi Amungsa menyebabkan rumah adat pun beralih ke rumah ibadah atau gedung gereja. Masyarakat suku Amungme kini bermukim di Distrik Akimuga dan sekitar kawasan tambang PT Freeport Indonesia, Kabupaten Mimika, Papua.

Read More

“Namun kebiasaan membangun rumah adat atau Hinangami Devin jaman nenek moyang suku Amungme terjadi apabila terdapat tanda-tanda akan terjadi malapetaka,” tulis Arnold Mampioper dalam buku berjudul ‘Amungme Manusia Utama dari Nemangkawi Pegunungan Carstensz’ seraya menambahkan, rencana pembangunan rumah adat ini akan disebarkan ke penjuru kampung agar semua terlibat.

Bahkan selama itu orang harus berpuasa dan dilarang atau tak boleh bepergian jauh dan tidak boleh makan daging, tidak boleh berperang dan berselisih, termasuk tidak boleh tidur bersama istri, serta tak boleh merias diri alias mempercantik diri.
Semua bahan bangunan mulai dipersiapkan dan tiang-tiang pancang dilakukan dalam upacara khusus agar kuat dan berjalan lancar. Mereka memohonkan kepada roh leluhur nenek moyang agar anak cucu yang menggunakan rumah ibadah ini terlindungi, termasuk para pengerja yang akan membangun rumah tersebut.

Tercatat ada syarat khusus yang dijalankan dalam membangun rumah ibadah tersebut, masyarakat tidak diperbolehkan meminum air selama pembangunan rumah ibadah dan upacara berlangsung. Warga hanya boleh meminum atau memakan tebu, apalagi tebu termasuk tanaman yang selalu ditanam di pinggir rumah dan kebun.

Selanjutnya setelah rumah adat rampung, langkah berikutnya melakukan upacara adat memohon kehadiran roh pelindung rumah. Salah satu syarat dalam upacara memohon roh pelindung harus ada dua ekor kuskus pohon (Pseudocheirus caroli) yang telah disiapkan sebelum mencabut bulunya. Seekor kuskus dinaikkan ke atap rumah sebelah barat dan seekornya lagi menghadap ke arah timur. Binatang-binatang itu kemudian disembelih dan darahnya dipercikkan di atas kayu bagian rumah adat.

Sesudah itu kaum lelaki berkumpul untuk mengkuti upacara yang dipimpin seorang tetua adat dan seorang Kalokwan. Dua ekor babi putih dan babi hitam yang masih muda juga disembelih sebagai korban persembahan kepada Jomu Semun Nerek, yaitu Bapa yang berkuasa sepanjang abad dan jaman. Kedua babi itu dinaikkan di atas rumah adat. Dua orang memegang babi hitam dan putih, masing-masing di kaki depan dan belakang. Seorang lagi memanah babi itu dan berteriak,”Buwe beno ndago, jomun somun, nerek. Jamo rama, semarama nerek ao angkai tagaviamo.” Artinya pandanglah babi ini, yang kami korbankan dan persembahkan untuk-Mu, hai Bapa Yang Maha Kuasa, Bapa kekekalan dalam segala masa dan jaman.” Darah yang dipanah itu pun jatuh dan membasahi atap rumah Hinangami Devin.

Sesudah babi putih dan hitam dikorbankan, seorang Kalokwang kembali mengambil lagi babi yang telah terikat di pintu pagar, kemudian digiring masuk dan dipersembahkan kepada Dewi Inangamin yang berkuasa di atas dan di bawah bumi. Tujuannya agar masing-masing orang mengucapkan doa kepda Dewi Inagamin agar dia tidak murka lagi dan menghindarkan segala malapetaka bagi mereka.

Selain itu dipersembahkan juga kepada Dewi Ungkalangki yang menguasai tanah pertanian dan petenakan. Ia diharapkan dapat memberikan kesuburan atas tanah pertanian dan makanan bagi peternakan.

Sesudah persembahan kepada Dewi Inangamin dan Dewi Ungkallangki, seorang Kalokwang kembalo ke pintu pagar dan mengambil lagi seekor babi, serta menggiting masuk ke dalam rumah dan dikorbankan untuk leluhur nenek moyang suku Amungme yang berada diYamorama Samorama bersama-sama dengan Jomun Somun Nerek.

Usai upcara ini seorang Kalokwang pergi ke depan pintu pagar dan memanggil kedua pemuda dewasa sambil berkata, “Ambilah babimu” dan segera larikan ke dalam hutan. Di sana babi itu di sembeli, dimasak dan dimakan sampai habis.
Ketika keduanya kembali ke dalam kampung, mereka membawa rahang babi itu dan digantung di pintu pagar yang mengelilingi rumah. Rahang-rahang babi ini diletakkan di pintu masuk agar tidak ada roh jahat yang masuk ke dalam rumah adat.

Kemudian kaum pria yang berada di sekitarnya keluar pagar untuk menyembeli babi-babi yang telah disiapkan untuk pesta babi menyambut pembangunan rumah adat yang dibangun itu.

Babi-babi yang telah disembelih dan dimasak akan diberikan kepada para kalokwan dan tua-tua adat. Lemak babi yang telah dikorbankan kepada Dewi Inangamin diambil, lalu dimasak bersama dengan keladi dan sayur dalam upacara bakar batu bersama.

Masakan ini juga dihidangkan bagi semua orang yang terlibat dalam pembanguan rumah adat. Mereka duduk melingkar dan seorang Kalokwang dibantu dua orang untuk memotong motong daging babi dengan lemaknya. Umbi dan keladi serta potongan daging dan lemak diletakkan dalam kepingan kulit kerang atau Melo Ampora.

Makanan itu langsung disuguhkan ke mulut semua orang yang duduk melingkar dalam rumah adat, masing-masing mendapat giliran makan sampai makanann semuanya habis. Acara ini disebut nomot novin yang mendahului acara pesta babi buwe dimodi hingga selesai. (*)

 

Editor: Timoteus Marten

Related posts

Leave a Reply