Papua No.1 News Portal | Jubi
Pada 2018 lalu, muda-mudi Papua di Yogyakarta ada kumpul-kumpul. Dorang rembuk bikin kelompok seni rupa. Dikasih nama “Udeido”. Nama itu dipinjam dari dari bahasa Deiyai, rumpun wilayah adat Mee Pago.
Akar katanya adalah Ude. Merujuk pada nama sejenis daun. Dalam bentuk jamak, Ude akan disebut Udeido. Daun ini biasanya digunakan masyarakat Deiyai untuk membalut dan menutup luka. Daun itu top memang. Dia ampuh kasih berhenti pendarahan.
“Kami memandang kesenian dengan spirit Udeido, yang menyembuhkan, menutup luka, menghentikan darah. Kita terlampau masuk dalam segala problema sehari-hari yang membuat kita semua menjadi lelah dan letih, sehingga kami berharap suara-suara yang kami bawa lewat karya-karya kami memiliki energi dan semangat penyembuh, pemulihan, dan pengharapan akan yang baik,” demikian Ignatius Dicky Takdare, seniman dan salah satu penggagas kelompok Udeido, saat menggelar pameran kelompok itu di Yogyakarta, 2019 lalu.
Suku Dani di lembah Baliem, juga mengenal dan menggunakan daun penyembuh luka. Mereka menyebutnya Anikukuh (Barleria prionitis L.) atau dikenal luas sebagai daun madu. Petik sehelai daunnya. Gulung-gulung pakai tangan. Tempel di bagian luka.
Kalau ada anak influenza, ambil tunas Siruk atau alang-alang (cylindrical L). Hirup perlahan melalui hidung. Untuk usir Malaria dan pegal-pegal, pakai Yawi atau Daun Gatal (Laportea sp).
Ada 16 spesies tumbuhan obat, dari 12 famili, digunakan dalam ramuan obat tradisional suku Dani yang tersebar di Asologaima, Kurulu dan Wamena.
Baca Juga:Buah Merah dan Kerajaan Pandan di Pulau Yapen
Spesies tumbuhan obat tersebut, umumnya tumbuh di pekarangan dengan teknik budidaya sederhana. Ada juga yang diambil langsung dari hutan. tumbuhan obat itu terdiri dari semak (8 spesies), liana (3 spesies), pohon (2 spesies), bambu, herba, dan perdu masing-masing 1 spesies.
Bagian tumbuhan banyak dimanfaatkan sebagai obat adalah daun. Karena mudah dijumpai dan selalu tersedia. “Pada daun diduga banyak terakumulasi senyawa metabolit sekunder yang berguna sebagai obat, seperti tannin, alkaloid, minyak atsiri dan senyawa organik lainnya yang tersimpan di vakuola ataupun pada jaringan tambahan pada daun seperti trikoma,” tulis Yuliana Mabel, Herny Simbala dan Roni Koner pada “Identifikasi dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Suku Dani di Kabupaten Jayawijaya Papua”, Jurnal MIPA Universitas Sam Ratulangi, Manado, 1 Agustus 2016.
Suku Dani juga percaya, mengkonsumsi Hipere atau ubi jalar (Ipomoae batatas) yang dibakar setengah masak, sanggup tangkal semua penyakit.
Masyarakat adat suku Mandobo yang mendiami kampung Sokanggo, Distrik Mandobo di Boven Digul, menggunakan kulit buah Matoa (Pometia coreaceae) bagian dalam untuk ditempelkan pada bagian tubuh yang terluka. Mereka juga menggunakan daun sirih hijau (Piper betel) yang dipanaskan sampai layu dan ditempelkan pada luka.
Untuk gigi yang sakit bukan main karena lubang, Suku Mandobo mengambil seperempat batang serai wangi atau sereh (Pometia coreaceae) yang ditumbuk. Kemudian dimasukkan di bagian gigi berlubang.
Riset yang dilakukan Mikaela Mikan dan Yubelince Y Runtuboi dari Fakultas Kehutanan, Universitas Papua, Manokwari pada 2014 menemukan sedikitnya 25 jenis tumbuhan yang digunakan masyarakat suku Mandobo untuk mengobati diri. Obat alam ciptaan Tuhan itu berupa rumput, pohon, perdu, herba Liana (Tumbuhan merambat) dan Terna (batang lunak tidak berkayu).
Ragam tumbuhan itu diramu jadi obat dengan berbagai macam olahan. Ada yang dimakan langsung, terutama bagian pucuk, tunas muda dan umbi, namun sebagian besar dimasak terlebih dahulu, seperti direbus atau dipanaskan dengan api.
“Proses perebusan cenderung melarutkan bahan bioaktif secara maksimal dan mempertahankan khasiat yang dikandung,” tulis Mikaela Mikan dan Yubelince Y Runtuboi lewat kertas risetnya “Pemanfaatan jenis tumbuhan sebagai obat tradisional berbasis ethno medical knowlodge pada masyarakat Suku Mandobo” dimuat di Jurnal Kehutanan Papuasia, 2019.
Ada banyak tanaman obat di sekitar kita. Suku-suku lain di Papua menyimpan kearifan ini. Dorang punya banyak cara mengobati luka jasmani. Bagaimana dengan luka rohani? (*)
Editor: Angela Flassy