Jurnalis: Jangan anggap isu Papua sensitif, jika mau melihat Papua secara adil

Papua
Diskusi daring Forexpo 2021, yang gelar Forest Watch Indonesia pada Kamis (2/12/2021) - tangkapan layar Youtube FWI

Papua No.1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Redaktur Pelaksana Majalah Tempo, Bagja Hidayat menyatakan, apabila ingin melihat Papua secara adil, jangan menganggap isu Papua sensitif.

Pernyataan itu dikatakan Bagja Hidayat dalam diskusi daring Forexpo 2021, yang gelar Forest Watch Indonesia pada Kamis (2/12/2021). Diskusi ini bertemakan “Mata Media: Sudah Adilkah Kita Melihat Papua?”

“Untuk melihat Papua lebih adil, jangan menganggap [bicara] Papua isu sensitif, sehingga kini nyaman membicarakannya dan Papua menjadi terbuka, siapapun bisa bebas mengakses informasi tentang Papua, tak ada lagi pembatasan dan informasi menjadi merata,” kata Bagja.

Menurutnya, apabila isu mengenai Papua dijauhkan dari kekuasaan, dan orang banyak, situasi di sana tidak akan pernah berubah. 

“Akan seperti ini terus. Akses informasi mengenai Papua mesti bebas agar bias dan prasangka kita hilang. Ketika informasinya ditutup, hasilnya adalah ketidakadilan,” ujarnya.

Ia mengakui selama ini pemberitaan tentang Papua di media, terutama yang ada di luar Papua sangat minim. Situasi itu terjadi sebab akses informasi dibatasi. Jurnalis Tempo sendiri mengalaminya, ketika menginvestigasi mengenai deforestasi di sana beberapa waktu lalu. 

“Kami dijaga betul (tidak diberi akses bebas). Dengan cara mendekatkan isu Papua ke kekuasaan lewat media, semoga akan lebih adil melihat Papua disertai kebijakannya nanti. Jadi kita ubah perspektifnya dulu,” ucapnya. 

Pernyataan hampir sama dikatakan Roy Murtadho dari Indoprogress. Katanya, melihat Papua aspek apapun, baik HAM, kebijakan ekonomi, sosial, politik dan lainnya, sama sekali tidak adil. 

“Memang sejak awal, sejarah Papua dan Indonesia adalah sejarah kekerasan. Sehingga kami lebih cenderung membahas ekonomi politik. Siapa yang melakukan apa dan siapa yang mendapatkan apa. Misalnya dalam mobilisasi militer [ke Papua], keuntungannya apa,” kata Roy.

Menurutnya, dalam pemberitaan mengenai Papua, kebanyakan media menggunakan narasi tunggal atau hanya sumber dari pengambil kebijakan. Narasi tunggal dalam pemberitaan media mengenai Papua ini pun dianggap rawan, sehingga mesti dibongkar. 

“Narasi tunggal ini yang harus dibongkar bersama. Meski sulit karena pemerintah menghalang halangi media terutama media asing meliput di sana, dan akses informasi semua ditutup kecuali akses dari militer,” ucapnya.

“Ini yang mesti kita bongkar agar semua orang adil melihat Papua. Kita selalu bicara anti-kekerasan, tapi sepertinya belum adil untuk Papua,” sambungnya. (*)

Editor: Edho Sinaga

 

Leave a Reply