Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi –
Nyanyian Nurani Tanah Papua merupakan program yang diselenggarakan arsip.jubi.id dan Papua Itu Kita, untuk memberikan informasi tentang Papua di luar negeri.
Program ini memang diperuntukkan bagi inklusifitas Papua itu sendiri. Pasalnya banyak orang tidak mengetahui informasi tentang Papua.
Dulu, nama Irian Jaya pertama kali diganti pada tahun 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Sejak itu nama Irian Jaya berubah menjadi Papua sampai sekarang ini.
“Tadi ada yang tanya Irian Jaya atau Papua,” kata Victor Mambor saat menyampaikan sambutan pembukaan dalam launching bertajuk Nyanyian Nurani Tanah Papua, Kamis (12/8/2021) malam.
Padahal lanjut Mambor, nama Irian Jaya sendiri sudah lama hilang sampai sekarang.
“Ada sekitar 15 atau 12 diskusi yang akan kita lakukan dalam tujuh bulan ini,” katanya seraya berharap diskusi ini bisa memberikan informasi yang cukup jelas, komprehensif tentang Papua kepada adik adik mahasiswa di Indonesia dan Papua.
Menurut Mambor seharusnya diskusi ini akan berlangsung secara offline dari kampus ke kampus pada beberapa kota, tetapi situasi dan kondisi pandemi covid 19.
“Ya kita lakukan dengan online, kita juga tidak tahu kapan pandemic ini akan selesai. Kalau pandemic ini akan selesai atau berhenti bisa merubah format kegiatan ini menjadi offline,” katanya.
Lebih lanjut kata Mambor, pada intinya melalui diskusi ini pihaknya ingin agar orang orang di Indonesia terutama sejumlah mahasiswa di Indonesia mengetahui tentang apa yang sebenarnya terjadi di Papua.
”Saya bekerja sehari-hari sebagai wartawan jadi saya tahu bahwa informasi yang disampaikan media itu kadang-kadang bias. Lebih banyak biasanya, sehingga orang orang menerima informasi tentang Papua ini sepotong potong,“ katanya.
Bahkan kadangkala lanjut Mambor malah membingungkan.
“Apalagi di era digital seperti begini informasi tentang Papua berseliweran di dunia maya sehingga kita sulit mencernanya,”katanya.
Dia menambahkan jika berbicara soal informasi hoaks, dan segala macam informasi tentang Papua ini sangat banyak.
Untuk itu, pihaknya mencoba membuat program ini dan berharap bisa memberikan wawasan yang cukup bagi adik-adik mahasiswa terutama generasi muda di Indonesia ini dan Papua untuk melihat dan mencoba untuk mencari sesuatu yang bermanfaat bagi Papua.
“Kita tahu bahwa Papua selalu mempunyai masalah sampai hari ini dan selalu saja ada masalah soal Hak Asasi Manusia (HAM) Kesehatan, Pendidikan, Kebudayaan, politik, “katanya.
Dia mengatakan sampai hari ini masih menyelimuti tanah Papua sehingga diharapkan dengan adanya informasi yang cukup rutin dan berkelanjutan.
“Walaupun secara virtual tetapi kita harap generasi-generasi muda Indonesia dan Papua bisa menemukan satu solusinya untuk memperbaiki Papua,” katanya seraya menambahkan bahwa target mahasiswa sangat penting karena mahasiswa ini harapan masa depan.
Sehingga kata Mambor, mereka bisa memberikan kebijakan dan keputusan positif yang bermanfaat untuk Orang Asli Papua (OAP).
“Karena mereka tahu dan mendapatkan informasi dari sekarang. Jika terlambat mendapatkan informasi sehingga kita mencoba bangun dari sekarang,” katanya.
Mambesak dan musisi masa kini
Astrid Elisabeth, jurnalis yang menjadi moderator dalam launching memperkenalkan Max Binur generasi musik dan seniman tradisi era 1990 an sedangkan Epo D’fenomeno mewakili generasi muda era 2000 di era musik digital dan menampilkan musik Hiphop berbahasa Indonesia dialek Papua.
Max Binur antropolog angkatan 1990 an Fakultas Ilmu Politik dan Sosial (Fisip) Universitas Cenderawasih (Uncen) mengatakan, budaya menyanyi dan menari itu sudah ada dalam ritus budaya mereka sejak berada di tanah Papua.
”Masing-masing suku itu mempunyai cara bernyanyi dan menari sangat bervariasi serta berciri khas daerah masing masing. Jadi kalau kita mau belajar tari di Papua tidak bisa menyeragamkan tarian dengan ada yang di gunung, pesisir dan lembah,” kata Max Binur aktivis Bentara yang bermukim di Kota Sorong, Papua Barat.
Dia menambahkan keberagaman di dunia maupun Indonesia dan Papua memberikan karakteristik sesuai daerah asal.
“Setiap suku juga mempunyai cara, gaya dan karakter masing masing sehingga tidak bisa diseragamkan di daerah gunung, lembah dan pantai,” kata Binur.
Dia menambahkan harus mendalami arti yang dimainkan tiap-tiap suku dan dari pengalaman pengalaman melahirkan banyak sekali kreativitas dalam bermain musik.
Dia menambahkan dalam membuat lagu dan menari dan bernyanyi secara keseluruhan.
“Kalau kita melihat budaya Papua itu kapan mulai berkembang, tidak terlepas dari para seniman sejak dulu. Seniman berasal dari masing masing suku muncul secara bebas dan berkreasi juga secara bebas,” katanya.
Menurut Max Binur grup musik Mambesak itu lahir dari proses proses panjang, sehingga harus diselami lebih mendalam.
“Seniman seniman dulu melalui gerakan Mambesak yang dipelopori oleh alm Arnold C Ap. Mampu membuat keberagaman dari semua suku bisa bersatu sehingga grup ini itu sangat ditakuti melalui gerakan seni dan budaya,” katanya seraya menambahkan bahwa gerakan Mambesak telah mempersatukan keberagaman suku di tanah Papua.
Sebenarnya menurut Max Binur, nama Mambesak merupakan sebutan untuk nama Burung Cenderawasih dalam Bahasa Biak yang mampu bersinar dan terang. Mambesak kata Binur juga bisa sebagai seorang manusia atau bisa juga disebut sebagai burung.
Dia mengatakan yang menarik dari Grup Mambesak , di mana saat itu membuat banyak hal yang mengakibatkan orang merasa “was-was” di era 1970an. Generasi muda saat itu kata Binur adalah generasi Sam Kapisa, Wolas Krenak, Arnold C Ap dan sebagainya yang hampir sebagian besar mahasiswa Universitas Cenderawasih.
Memang ada pula saat itu grup musik Manyauri atau burung nuri dalam Bahasa Biak dibawah pimpinan Sam Kapisa.
Lahirnya Grup Mambesak di bawah koordinator mendiang Arnold C Ap karena mampu merangkul semua anak anak mahasiswa Papua di Uncen. Apalagi saat itu Arnold Aap memanggil Wolas Krenak mahasiswa FKIP Uncen yang pernah menjadi wartawan Suara Pembaruan menyebarkan undangan untuk membentuk Mambesak pada 6 Agustus 1978.
Menurut Binur yang mengutip pernyataan almarhum Enos Rumansara salah satu pentolan Mambesak bahwa saat itu secara aklamasi seluruh mahasiswa menyepakati dan menerima nama Mambesak yang menyimbolkan burung Cenderawasih.
Gerakan Mambesak ini lanjut Binur sebenarnya dimulai dari Kampus Uncen di Abepura, Kota Jayapura-Papua.
”Cara menyanyikan lagu selalu mempertahankan dialek atau logat cara berbicara masing masing daerah,” katanya.
Menurut dia lagu lagu dan syair dari mambesak ini menggambarkan keseharian dari orang Papua tentang hutan, keindahan sumber daya alam.
Misalnya lagu Weno yang berasal Teminabuan Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat merupakan lagu adat atau lagu tanah yang kemudian dicatat oleh Wolas Krenak.
“Itu merupakan lagu asli Bahasa Tehit dengan gaya bernyanyi berbalas balasan, lagu ini sangat jarang dinyanyikan oleh anak anak muda sekarang,” kata Binur.
Lagu berjudul Weno ini kata Binur menceritakan tentang ungkapan rasa syukur karena hasil panen dalam kehidupan mereka. “Lagu ini juga membangun hubungan kekerabatan dalam masyarakat suku Tehit di Kabupaten Sorong Selatan,” katanya.
Selain itu ada pula lagu Emambo Simbo dari bahasa Biak yang menceritakan seorang anak yang wujudnya ada dua manusia dan kasuari.
Max Binur sebagai musisi era 1990an pernah pula menciptakan lagu tentang Bela, Alama dan Jila, Tiom dan Bokondini di Pegunungan Tengah yang pernah menderita karena operasi militer terutama operasi penyanderaan Mapenduma.
Dia mengatakan berkolaborasi dengan salah seorang peneliti dari Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD) Papua Abner Korwa menulis lagu yang mengisahkan keharmonisan warga di sana yang terganggu karena masuknya pengaruh dari luar termasuk operasi militer saat itu.
“Tiba tiba mereka dikejutkan dengan datangnya pengaruh dari luar dan membuat alam dan budaya serta manusia yang meninggal dan kerusakan lain,” katanya.
Dia mengakui pula bahwa belum semua musisi di Indonesia yang terlibat dalam mengangkat masalah di tanah Papua melalui music rap, rock dalam membuat lagu lagu situasi Papua soal lingkungan alam dan budayanya.
Max Binur juga mengakui ada musisi dari kelompok Marjinal yang beberapa kali terlibat dalam mengangkat isu isu Papua. Dia berharap ke depan musisi Indonesia juga terlibat dalam mengangkat masalah masalah Papua dan juga di luar Papua terutama di wilayah Indonesia lainnya.
Max Binur sendiri mulai mengumpulkan berbagai dokumentasi tentang Mambesak sejak kuliah di antropologi Fisip Uncen terutama buku saku lagu Mambesak dan terjemahannya.
Dia telah mengoleksi kaset Mambesak Volume I sampai dengan Volumen IV sedangkan volume V dan VI masih dalam bentuk dokumen yang belum direkam dalam bentuk kaset.
Sementara itu Epo D’Fenomeno musisi Rap dan Hip Hop Papua era 2000 mengakui kalau lagu lagu Mambesak merupakan warisan generasi terdahulu belum dikenal oleh generasi muda sekarang. Apalagi lanjut dia pengaruh gadget dan lainnya bisa membuat generasi muda sudah tak mengenal lagi Mambesak.
“Oleh karena itu perlu melakukan sosialisasi dan dokumentasi yang baik agar bisa sampai ke generasi masa kini,” katanya.
Epo D’fenomeno mengakui kalau musisi Rap Brother Pangalo dan baru mengenal sejak 2019. “Saya sangat hormat dan respek dari brother Pangalo dan juga ada beberapa rapper lainnya,”katanya sembari menambahkan kalau musisi Rap di Indonesia baru terlibat soal isu Papua hanya sekitar 10 persen.
Kalau pun ada kata Epo sangat kecil karena sangat tergantung pada bisnis dan marketing musik mereka sehingga akhirnya hilang dalam mengangkat isu Papua.
Di sisi lain kata dia ada pula musisi Rap yang menjadikan isu Papua sebagai gimmick samata untuk menyampaikan isu Papua tetapi tidak bertanggungjawab.
“Ini sama saja dengan ungkapan Bahasa Biak, iwarai yang artinya taputar ke sana kemari,” katanya.
Epo D’fenomeno musisi hip-hop Papua juga telah menulis lagu berjudul, Natal di Nduga yang menceritakan suasana duka saat adanya operasi militer di sana. Dia juga menulis lagu berjudul Ludah Pinang yang mengangkat masalah kerusuhan di Jayapura Agustus 2019 saat rasisme di Surabaya.
Epo juga melihat kesenian di generasi muda di kalangan muda sekarang muncul sejak 2004-2005.
“Untuk musik sendiri kita tidak bisa menyangkali sebab ada warisan yang ditinggalkan,” ujarnya.
“Musik Hip Hop sendiri berdiri karena Liberation dan diskriminasi dan pelaku pelaku Hip Hop di Amerika Serikat,” katanya.
Dia menambahkan kalau di Papua musik Rap biasanya disebut pula sebagai musik bicara –bicara sampai sekarang sudah masuk sampai ke generasi ke empat dan ke lima.
Max dan Epo mengakui pula kalau musisi perempuan Papua masih kurang dalam pengembangan budaya Papua terutama musik dan lagu. Padahal kata Max sejak zaman dulu kaum perempuan juga selalu menyanyikan lagu lagu wor jika hendak berkebun maupun mencari ikan.
Hilangnya Bahasa asli Papua
Budayawan Papua mendiang Arnold C Ap selama mendokumentasi lagu lagu dalam bahasa asli daerah suku di tanah Papua selalu berhubungan dengan penutur asli terutama orang tua atau generasi tua yang masih mengetahui dengan baik dan benar. Tak heran kalau keberhasilan Arnold C Ap dan Mambesak berhasil melakukan dokumentasi lagu-lagu asli Papua.
Memang hasil dari dokumentasi Mambesak baru beberapa suku saja sedangkan hasil penelitian Balai Bahasa Papua telah mencatat terdapat sebanyak 414 bahasa baru di Provinsi Papua dan Papua Barat dalam kurun waktu 2008 hingga 2019.
Semula, Peneliti Ahli Muda Balai Bahasa Papua Yohanis Sanjoko menjelaskan data terakhir bahasa daerah di Papua dan Papua Barat sampai 2018 terdapat 384 bahasa daerah. Rinciannya, sebanyak 294 bahasa daerah di Provinsi Papua, sedangkan 90 bahasa daerah lain ada di Provinsi Papua Barat.
“Data terakhir terkait bahasa daerah hingga 2018 lalu itu kami mengolah data kebahasaan daerah di Papua, setelah dianalisis ternyata ada sekitar 384 bahasa daerah,” kata Yohanis seperti dikutip dari Antara, beberapa waktu lalu.
Dalam perkembangannya pada April 2019, Balai Bahasa Papua kembali mengambil 45 daerah untuk menjadi sumber penelitian. Dari daerah penelitian itu, pihaknya mengambil sebagian di daerah perbatasan di wilayah Kabupaten Boven Digoel, Merauke, sebagian di Yahukimo, dan sebagian lagi di Asmat, Waropen, Timika.
Kemudian, di wilayah Provinsi Papua Barat, yakni di Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Sorong, Fakfak dan Manokwari.
“Terakhir kami mengambil data lagi di April 2019 lalu, kami mengambil 45 daerah penelitian sebagai sampel. Dari 45 daerah itu, 35 daerah di antaranya kami ambil di Provinsi Papua,” ujarnya.
Setelah diolah lagi, ternyata ada 25 bahasa daerah baru. Delapan daerah penelitian di Provinsi Papua Barat ternyata ada lima bahasa daerah.
“Berarti bertambah, sehingga total bahasa daerah yang baru ditemukan sebanyak 414 bahasa daerah/lokal yang baru,” ujarnya.
Hanya saja, lanjut dia, sebagian besar bahasa daerah di Papua dan Papua Barat penuturnya semakin sedikit, terkadang antara 50 sampai 200 orang penutur saja. (*)
Editor: Edho Sinaga