Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Jaksa penuntut umum Andreas Tomana menuntut 14 terdakwa perkara amuk massa 29 Agustus 2019 dengan pidana delapan bulan penjara. Tuntutan itu dibacakan dalam sidang di Pengadilan Negeri Jayapura pada Rabu (22/1/2020).
Advokat dari Tim Advokat untuk Orang Asli Papua, Sugeng Teguh Santoso mengatakan, 14 terdakwa yang dituntut pada Rabu adalah Dorti Kawena, Yali Loho, Pandra Wenda, Yoda Tabuni, Perius Entama, Agustinus Mohi, Ronal Wandik, Mikha Asso, Persiapan Kogoya, Jhony Weya, Yusuf Marthen Moay, Helo Hubi, dan Aris Asso. “Mereka dikenakan pasal 170 KUHP, didakwa merusak barang bersama sama,” kata Sugeng seusai sidang itu.
Sidang pembacaan tuntutan itu dipimpin ketua majelis Maria Magdalena Sitanggang bersama dua hakim anggota, Muliyawan dan Abdul Gafur Bungin. Dalam pembacaan tuntutannya, jaksa Andreas Tomana meminta majelis hakim menyatakan 14 terdakwa itu terbukti bersalah merusak barang secara bersama-sama, dan meminta majelis hakim menjatuhkan pidana delapan bulan penjara.
Sugeng menyatakan Tim Advokat untuk Orang Asli Papua akan menyampaikan pembelaan atas tuntutan jaksa itu. “Kami akan membuat pembelaan bersama-sama. Sebab banyak hal yang akan kami sampaikan, termasuk [fakta] yang diungkap [dalam persidangan],” katanya.
Pada Senin (20/1/2020) Tim Advokat untuk Orang Asli Papua menghadirkan saksi ahli hukum pidana Dr Yohanes Budiman Bakti. Saat diperiksa sebagai saksi ahli, Budiman menyatakan pengakuan terdakwa tertulis dalam Berita Acara Pemeriksaan buatan penyidik bukan merupakan alat bukti. Pengakuan yang sah menjadi alat bukti adalah pengakuan yang disampaikan terdakwa di dalam persidangan.
“Pengakuan terdakwa [yang dituliskan penyidik] di dalam Berita Acara Pemeriksaan tidak bisa dijadikan alat bukti. Pengakuan yang sah itu hanya yang disampaikan [terdakwa] di dalam ruang sidang pengadilan,” kata Budiman saat diperiksa sebagai saksi ahli.
Dalam sidang Senin, Budiman juga mengatakan persekongkolan merupakan unsur penting yang harus dibuktikan untuk 14 terdakwa Pasal 170 KUHP bersalah. “Jika pebuatan dilakukan secara persekongkolan dan mereka saling mengenal, dan direncanakan, dengan adanya bukti fisik, dilakukan dalam skala besar, dan mengakibarkan barang rusak, baru bisa dikenakan pasa 170 KUHP,” kata Budiman.
Budiman menegaskan, Pasal 170 KUHP termasuk jenis delik formil yang mementingkan pembuktian terpenuhinya unsur-unsur tidak pidana. Sebagai delik formil, akibat dari perbuatan tidak bisa dijadikan dasar untuk menyatakan seorang terdakwa bersalah.
“Pasal 170 KUHP termasuk [delik] formil [yang] tidak mempersoalkan akibat dari perbuatan. [Unsur yang harus dipenuhi adalah] apabila terdakwa dengan bersama-sama, dengan tenaga yang cukup besar, dan memenuhi unsur barang siapa pada Pasal 170 KUHP,” katanya.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G