Papua No.1 News Portal
Jayapura, Jubi – Sekretaris II Dewan Adat Papua John N.R Gobay mengatakan, negara harus mampu memposisikan hak politik OAP dalam pesta demokrasi. Hal itu harus di dukung dengan regulasi-regulasi yang tentang keaslian orang Papua.
“Karena menurut orang Papua, bangsawan itu diartikan sebagai para pemimpin adat atau para pemilik tanah atau orang asli dalam konteks Papua adalah Orang Asli Papua. Dalam Parlemen Inggris disebut House Of Lord, sehingga jangan heran apabila belakangan ini menjelang Pilkada , tuntutan Bupati dan Wakil Bupati adalah OAP adalah sesuatu kewajaran dan harus diakomodir,” kata John Gobay pada Webinar yang diselenggarakan oleh Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia dengan tema “Lokalitas Kepemimpinan dalam Pesta Demokrasi“, Selasa,(1/9/2020).
Gobay mengatakan, kalau hak politik lokal tidak diakomodir dalam satu bentuk regulasi, itu akan jadi polemik.
“Kita bisa lihat di sejumlah daerah, ada pengorganisasian massa dengan gerakan demonstrasi seperti di Merauke yang meminta agar Bupati dan Wakil Bupati harus OAP dan juga Parlemen harus dikuasai oleh Orang Asli Papua. Jika hal ini tidak dibicarakan dan dirumuskan baik, atau apabila ada undang-undang Otsus yang mengatur para penyelegara pesta demokrasi harus bisa menjalankan peraturan ini,” katanya.
Gobay mengusulkan agar pihak pemerintah, adat dan semua komponen yang berkepentingan duduk bersama mengambil kesepakatan tentang keasilan orang Papua. Sebab tanpa ada kesepakatan justru akan menjadi persoalan yang berkepanjangan setiapkali momentum pesta demokrasi.
“Berbicara tentang Orang Asli Papua maka kita harus terlebih dahulu menyepakati siapa orang asli Papua, harus lihat dulu sistem kepemimpinan seperti apa yang dianut oleh masyarakat adat Papua, lalu disesuaikan dengan aturan modern. Itulah baru orang Papua akan menerimanya,” katanya.
Di Papua ini katanya, berdasarkan kekuasaan di Papua menganut budaya patriaki dan Patrilineal menurut garis keturunan.
“Artinya penguasaan tetap berada di pihak laki-laki, bukan garis keturunan perempuan, dan juga bukan karena hubungan geografis tetapi genealogis. Meski demikian dalam adat Papua terdapat juga pengakuan terhadap perempuan hebat, perempuan perempuan ini sering didengar oleh pemimpin pemimpin lokal, perempuan akan tetap ditempatkan sebagai pendamping,” .
Gobay mengatakan, kepemimpinan lokal itu dapat menggantikan pemimpin lokal dahulu yaitu para Ondoafi, Kayapak, Apkain Tonawi di zaman baru, tempat mereka menggantungkan harapan untuk membantu masyarakat dan membawa perubahan dalam masyarakat.
Gobay mengatakan, dalam pesta demokrasi ini masyarakat haruslah memilih pemimpin adat baru yang benar-benar bekerja sesuai aturan adat.
“Kalau Tonawi atau Kepala Suku (Bahasa Mee) mengutamakan kepentingan umum, Tonawi yang tidak melakukan nepotisme, Tonawi selalu berbicara yang baik bukan memfitnah orang, Tonawi yang selalu berfikir yang terbaik untuk banyak orang, yang bekerja bukan untuk mengejar pujian, Tonawi yang siap bekerja keras dengan dana rakyat lewat APBD, bukan hanya berbicara banyak,” katanya.
Gobay mengatakan,hak-hak bangsawan perlu perlu di transformasikan ke dalam hak hak konstitusional, di sana status sosial bangsawan tidak terbunuh oleh perilaku politik modern.
Gobay mengutip pernyataan Ernest Renan, bahwa apabila lokalitas menggerakkan pemerintahan modern yang demokratis, maka bangsa ini akan menjadi bangsa modern yang demokratis.
Karena itu menurutnya diperlukan satu peraturan tentang siapa Orang Asli Papua. Dalam hal ini, DPR Papua pada tahun 2016 telah menyiapkan regulasi daerahnya. Dalam UU Otsus Papua tidak diatur tentang Bupati dan Wakil Bupati adalah OAP, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 22 ayat 1 dijelaskan dalam hal ihwal kegentingan memaksa Presiden berhak mengeluarkan PERPU.
“Untuk itu dalam rangka mendudukan lokalitas kepemimpinan dalam pesta demokrasi, maka sebaiknya Pilkada di Papua ditunda sambil menunggu adanya PERPU yang diikuti dibuatnya PKPU khusus Papua dan Parpol-Parpol diminta untuk menyesuaikan dengan PERPU dan PKPU,” kata Gobay.
Berdasarkan pengamatan Walker dan Mansoben dalam Masoben (1994) bentuk Organisasi Kepemimpinan Berbasis Sistem Politik Tradisional. Mansoben mengklasifikasikan 4 sistem politik tradisional di Papua, yakni sistem pria berwibawa, sistem politik kerajaan, sistem politik ondoafi atau kepala suku, dan sistem kepemimpinan campuran.
“Mekanisme hierarki kepemimpinan internal suku terbentuk berdasar pola pembagian kerja, adanya ritual tertentu, mekanisme penurunan kekuasaan, dan sistem politik yang terbentuk. Keunikan lain dari sistem peradatan di Papua adalah konsekuensi hukum adat yang berlaku, apabila dilanggar, bukan mengikat individu tapi mencakup keseluruhan komunal atau klan,” katanya.
Mansoben menuliskan , sifatnya yang komunal di satu sisi harus berhadapan (bertolak-belakang) dengan egoisme pemimpin yang berkuasa. Reproduksi kekuasaan melalui perkawinan, ritus agama, dan mekanisme mengukuhkan pemimpin (lewat perang, atau kecakapan tertentu) yang melibatkan sumber daya dalam hal upacara adat yang memerlukan biaya besar.
“Walau demikian, berbagai institusi politik modern (trias politica: eksekutif, legislatif, yudikatif) berlaku efektif dan menjadi kesatuan yang dipatuhi oleh seluruh anggota suku. Dalam praktiknya, implementasi aktivitas politik moderen sangat kental dengan nuansa hubungan darah dan kekerabatan,” katanya. (*)
Editor: Syam Terrajana