Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Thomas Ch. Syufi
Laporan Amnesti Internasional (AI) Indonesia tahun 2018 Don’t bother, just let him die: Killing with impunity in Papua (Jangan repot-repot, biarkan saja dia mati: Membunuh dengan kekebalan hukum di Papua) mencatat hampir 100 orang telah dibunuh secara tidak sah dalam waktu kurang dari delapan tahun (2010-2018)—sekitar satu orang setiap bulan—yang menjadi noda serius pada catatan HAM Indonesia.
Dalam laporan itu, setidaknya 95 kematian dalam 69 insiden antara Januari 2010 dan Februari 2018. Jadi, peristiwa mengenaskan ini, 56 di antaranya terjadi dalam konteks kegiatan non-kemerdekaan, sementara 39 lainnya terkait dengan aktivitas politik damai, seperti demonstrasi atau menaikkan bendera kemerdekaan Papua, bintang kejora.
“Meskipun jumlah korban tewas sangat mengkhawatirkan, namun pihak berwenang Indonesia hampir sepenuhnya gagal untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku. Tak satu pun dari mereka telah diadili dan dihukum di pengadilan hukum independen, di mana hanya segelintir kasus yang mengakibatkan sanksi disiplin atau pengadilan di pengadilan militer,” kata Usman Hamid, Direktur AI Indonesia.
Papua kembali dirundung duka atas tertembaknya beberapa warga sipil. Pendeta Yeremia Zanambani tewas dengan luka tembak di Kampung Hitadipa, Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Sabtu (19/9/2020). Menurut laporan Komnas HAM RI, pelaku penembakan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani diduga salah satu anggota Koramil di Distrik Hitadipa berisinial AHM.
Tertembaknya tokoh agama itu telah disoroti masyarakat internasional, salah satunya negara di Pasifik, Republik Vanuatu, melalui perdana menteri Bob Loughman saat Sidang Majelis Umum PBB sesi-75 di New York, Amerika Serikat, 27 September 2020. Loughman bahkan mempertanyakan sejauh mana kehendak baik pemerintah Indonesia mengizinkan Komisioner Tinggi HAM PBB untuk berkunjung dan mengamati atau memantau situasi dan perkembangan HAM di kedua provinsi di ujung timur Indonesia (Papua dan Papua Barat).
Pertanyaan Vanuatu itu merujuk pada rekomendasi 79 negara anggota Afrika, Karibia, dan Pasifik (ACP) soal krisis HAM di Papua Barat pada KTT Kepala Negara dan Pemerintahan ACP ke-9 di Nairobi, Kenya, Afrika Timur, 9-10 Desember 2019. Resolusi itu sebagai bentuk penguatan atau pembobotan diplomatik atas resolusi yang disahkan oleh Forum Kepulauan Pasifik (PIF), Agustus 2019.
Hakikat kedua resolusi tersebut adalah menyerukan semua pihak untuk melindungi dan menegakkan HAM dan bekerja untuk mengatasi akar/penyebab konflik di Tanah Papua, juga mendorong Indonesia dan Komisi Tinggi HAM PBB memberikan laporan berdasarkan informasi tentang situasi HAM di Papua Barat sebelum pertemuan PIF 2020.
Ini akan sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI jika isu HAM Papua terus dibiarkan berlarut-larut tanpa proses penyelesaiannya. Jadi, darah para korban pelanggaran HAM ibarat air telaga di atas gunung yang begitu tinggi, yang sewaktu-waktu ketika hujan berturut-turut airnya mengendap dan merembes keluar, lalu menyapu habis tembok-tembok kedaulatan dan mengalir masuk ke zona kebebasan.
Jadi, internasionalisasi isu pelanggaran HAM bisa saja dicegah dengan cara-cara bermartabat, yakni keadilan dan kepastian hukum bagi para korban pelanggaran HAM, karena isu pelanggaran HAM Papua telah menjadi bola liar yang terus bergelinding ke mana-mana, baik di Oseania, Afrika, Karibia, maupun Eropa.
Dulu Timor Timur (kini Timor Leste) hanya mendapat dukungan kuat dari satu negara anggota PBB bekas koloninya, Portugal. Berkali-kali Portugal meloloskan beberapa resolusi penting di PBB perihal aneksasi Timor Timur, yang membuat Indonesia terpojok di panggung dunia. Akhirnya, Portugal dan para aktivis Fretilin sukses membawa Timor Timur keluar dari pendudukan Indonesia selama 24 tahun (1975-1999) melalui referendum 30 Agustus 1999.
Apalagi Papua kini punya gold opportunity karena membangun aliansi dengan negara-negara Pasifik yang berbasis pada persatuan ras Melanesia dan terhimpun dalam Pacific Island Forum (Forum Kepulauan Pasifik/PIF) akan segera meloloskan resolusi tentang right to self-determination bagi bangsa Papua.
Jadi, masyarakat hingga elite politik di kawasan Pasifik banyak yang telah mengetahui kemelut kemanusiaan dan desas-desus gejolak politik di Tanah Papua selama setengah abad lebih Papua menjadi bagian dari Indonesia. Para aktivis OPM bahkan terus melakukan lobi dan konsolidasi politik ke negara-negara Pasifik, untuk meminta dukungan moral dan politik untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua.
OPM akan memainkan peran diplomasi hingga semua negara Pasifik secara total melalui kendaraan politiknya—MSG dan PIF—untuk segera bringing West Papua issues ke level Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum PBB.
Para aktivis kemerdekaan Papua tetap berpijak pada sentimen persamaan ras serumpun (brotherhood) Melanesia. Mereka berdalih pada narasi Papua Barat adalah masa depan Pasifik, Melanesia, Mikronesia, dan masa depan Polinesia.
Sekutu Papua di Pasifik telah sukses membawa isu Papua ke forum ACP. Ini akan menjadi agenda rutin yang akan terus dibahas dan diangkat oleh petinggi negara-negara anggota ACP. Apalagi kini Joe Biden terpilih sebagai Presiden AS, sehingga isu pelanggaran HAM dan kemerdekaan Papua akan semakin liar dan mendapat perhatian serius dari Amerika.
Belum lagi tertembak matinya Rufinus Tigau, katekis Gereja Katolik di Stasi Jalae, Paroki Santo Michael Bilogai, Intan Jaya, Papua. Laporan resmi Administrator Diosesan Keuskupan Timika, Pastor Marthen Kuayo menyebutkan, Rufinus ditembak mati oleh Tim Gabungan TNI-Polri di Intan Jaya, Papua, Senin, 2 Oktober 2020 (Katoliknews.com, 27 Oktober 2020). Kejadian ini telah menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk para uskup di Tanah Papua dan Kardinal Indonesia yang juga Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
Perwakilan tokoh-tokoh Gereja Katolik Indonesia yang diwakili Uskup Agats Mgr. Aloysius Murwito OFM dan Uskup Amboina Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC (kini uskup Keuskupan Agung Metropolitan Merauke dan Administrator Apostolik Keuskupan Amboina) bersama Kardinal Indonesia Mgr. Ignatius Suharyo, Pr. langsung melakukan pertemuan tatap muka dengan Menkopolhukam, Mahfud MD, Minggu (1/11/2020). Dalam pertemuan itu tokoh-tokoh agama Katolik menyampaikan keprihatinannya atas tertembaknya Rufinus Tigau.
Tindakan brutal aparat terhadap pelayan Gereja Katolik itu akan berbuntut panjang jika pelaku tidak bertanggung jawab secara hukum. Hal tersebut akan menjadi laporan Gereja Katolik kepada pusat Gereja Katolik di Roma (Vatikan), bahkan menjadi perhatian organisasi-organisasi berlabel Katolik, seperti Fransiskan Internasional, Pax Romana, Pergerakan Mahasiswa Katolik Internasional (IMCS), dan lain-lain akan terus melakukan advokasi internasional terkait kasus ini.
Apalagi para petinggi OPM bersama negara-negara pendukungnya di Pasifik akan melakukan manuver politik dan gerilya/diplomasi menemui Paus Fransiskus untuk memberi laporan terkait situasi HAM di Tanah Papua, termasuk tertembaknya katekis di Intan Jaya.
Para aktivis Papua bersama negara pendukung seperti Vanuatu akan menggunakan peluang ini untuk melaporkan situasi HAM di Tanah Papua kepada Paus Fransiskus sebelum Joe Biden dilantik sebagai Presiden Amerika, 20 Januari 2021. Dalam “kultur” negeri Paman Sam, siapa pun yang terpilih menjadi presiden AS, setelah dilantik akan berkunjung ke Vatikan dan bertemu Paus Fransiskus untuk bersilaturahmi.
Oleh karena itu, jalan terbaik bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM Papua adalah pemerintah Indonesia harus transparan. Siapa yang membunuh, mengapa dibunuh, dan atas perintah siapa? Ini perlu dikupas tuntas, serta proses hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM harus berjalan sesuai hukum yang berlaku, misalnya, diadili di peradilan umum atau pengadilan HAM ad hoc, tanpa alasan impunitas-kausalitas.
Hal yang paling penting adalah pemerintah Indonesia segera mengundang Komisioner Tinggi HAM PBB segera ke Papua, untuk mengamati dinamika HAM, serta mengizinkan pers asing dengan leluasa meliput di Tanah Papua. Cara ini tentu akan meyakinkan masyarakat internasional soal komitmen Indonesia, dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM dan proses perdamaian pun akan bisa terwujud di Tanah Papua. Per humanitatem ad pacem (perdamaian melalui kemanusiaan). Selesai. (*)
Penulis adalah aktivis HAM Papua dan mantan Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas
Editor: Timoteus Marten