Papua No. 1 News Portal | Jubi
Wamena, Jubi – Sikap Kementerian Komunikasi dan Informatika yang memblokir sementara layanan data telekomunikasi atau internet di seluruh Papua dan Papua Barat sejak seminggu belakangan ini, ditanggapi sejumlah tokoh dan warga di Jayawijaya.
Theo Hesegem, aktivis HAM di wilayah Pegunungan Tengah menilai, hal ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia terhadap kebutuhan manusia dalam hal berkomunikasi.
“Mungkin negara ini takut, apa yang terjadi di Papua ini semua berita terbongkar di luar negeri, sehingga dengan sengaja akses internet dimatikan” kata Theo kepada wartawan di Wamena, Sabtu (24/8/2019).
Menurutnya, dengan dimatikannya jaringan internet bagi seluruh masyarakat di Papua memberi dampak kerugian yang besar bagi seluruh warga.
“Sebelumnya tidak seperti ini, internet bisa digunakan dimana-mana, baru bulan ini saja setelah kejadian di Surabaya dan Malang kemudian banyak masalah di Papua, negara sengaja mematikan jaringan internet supaya berita yang terjadi di Papua itu tidak boleh menyebar kemana-mana,” katanya.
Meski begitu menurut Hesegem, orang Papua selalu menyampaikan yang benar. Tidak pernah sampaikan berita bohong. Apa yang terjadi di Papua itulah yang disampaikan kepada publik, meski terkadang berita yang disampaikan itu juga diduga hoaks sehingga tidak bisa buka akses internet seperti saat ini.
“Jangan lupa internet tahun ini, bulan ini mati. Tetapi pikiran orang Papua belum dikasih mati, logika pikiran orang Papua masih sehat, jadi mereka bisa sampaikan ke mana-mana,” katanya.
Tokoh agama, Pastor Jhon Djonga menilai atas sikap ini banyak masyarakat yang merasa dirugikan secara ekonomis, sehingga ia melihat akan ada tuntutan-tuntutan atas kelalaian negara menyangkut komunikasi ini.
“Apakah penyedia layanan internet ini mereka diperintah oleh negara atau oleh orang-orang tertentu, saya tidak tahu. Kalau itu sengaja dilakukan oleh negara, maka ini suatu hal yang dianggap melanggar HAM, bahkan akan terjadi tuntutan balik bagi para konsumen dan bahkan bisa saja negara ini dituntut,” kata Pastor Jhon Djonga.
Mantan tahanan politik Papua, Linus Hiluka mengatakan Linus Hiluka hal ini dianggap sebagai ketidakmampuan negara ini dalam menyelesaikan persoalan Papua, sehingga jaringan internet pun dipadamkan.
“Kalau ini memang strategi oleh negara, orang Papua masih punya otak dan sama saja kasih mati juga berita jalan, isu jalan, dunia dengar dan tidak kasih mati juga sama. Ini pelanggaran, jaringan atau informasi harus buka supaya orang tahu masalah Papua,” katanya.
Sementara itu seorang warga di Jayawijaya, Dolia Ubruangge hal ini sebagai tindakan karena negara sudah kehilangan akal untuk memadamkan isu di Papua.
“Memadamkan jaringan internet ini semacam tindakan anak kecil, karena rasa ketakutan negara yang bilang berita di Papua semua dianggap hoaks sehingga dapat dikonsumsi negara lain, sehingga diambilah keputusan memutuskan internet padahal itu tindakan salah,” kata Dolia.
Dikutip dari website resmi kementerian komunikasi dan informatika RI, pelaksana tugas Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo, Ferdinandus Setu dalam siaran pers Nomor. 155/HM/KOMINFO/08/2019, Rabu 21 Agustus 2019 tentang pemblokiran layanan data di Papua dan Papua Barat menyebutkan, untuk mempercepat proses pemulihan situasi keamanan dan ketertiban di Papua dan sekitarnya, setelah berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI memutuskan untuk melakukan pemblokiran sementara layanan Data Telekomunikasi, mulai Rabu (21/8) hingga suasana Tanah Papua kembali kondusif dan normal. (*)
Editor: Syam Terrajana