Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Veronika Kusumaryati, Ph.D*
Dalam persiapan konvensi UNESCO (badan PBB yang berfokus pada pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan) bulan Juli 2021 ini, Komite Warisan Dunia memberikan catatan yang sangat memprihatinkan tentang kondisi Taman Nasional Lorentz yang berada di Tanah Papua.
Taman Nasional Lorentz merupakan taman nasional terbesar di Asia Tenggara dengan luas sekitar 2,35 juta hektar. Dijadikan taman nasional dari tahun 1997, Taman Nasional Loretz yang mencakup ekosistem pegunungan bersalju, dataran tinggi, dataran rendah dan rawa-rawa hingga lautan di sisi selatan Tanah Papua, kini semakin terancam dengan aktivitas tambang, pembangunan infrastuktur, eksploitasi sumber daya air yang berlebihan, rendahnya kapasitas manajemen dan keuangan pemerintah, dampak perubahan iklim, dan pengamanan.
Di antara berbagai ancaman ini, pembangunan jalan Trans-Papua di Kabupaten Jayawijaya hingga Nduga disebut sebagai ancaman terbesar taman nasional ini beserta penghuninya. Seperti juga Taman Nasional Komodo, ekosistem taman nasional Lorentz telah ditetapkan sebagai memiliki nilai universal luar biasa (Outstanding Universal Value, OUV), maka keberadaannya bukan hanya sumbangan bagi keanekaragaman hayati Papua atau pun Indonesia, namun juga dunia.
Taman Nasional Lorentz sendiri dibagi-bagi ke dalam berbagai zona, dengan zona inti meliputi 35 persen dari luas taman sementara zona liar terdiri dari 36 persen dan berada di sekeliling zona inti. Fungsi dari zona liar adalah untuk memastikan bahwa area ini dapat melindungi area inti taman nasional. Salah satu topik paling kontroversial dari laporan pemerintah Indonesia yang menjadi sorotan Komite adalah bahwa jalan Habema-Kenyam sepanjang 190km yang membelah Taman Nasional Lorentz. Pembangunan ini merupakan pelanggaran berat dari penetapan Lorentz sebagai Taman Nasional dan Warisan Dunia itu sendiri.
Baca Juga: Bangun Kolaborasi Menata Taman Nasional Lorenzt
BPLH Papua dukung TN Mamberamo Foja
Pemerintah Indonesia menjadikan zona sepanjang jalan Trans-Papua sebagai zona khusus yang mencakup luas 1.9 persen dari luas taman nasional. Sementara jalan Wamena-Habema-Kenyam—yang sekarang dijadikan bagian dari jalan Trans-Papua—dimasukkan ke dalam zona rehabilitasi (0.5%). Zona ini juga meliputi zona yang telah rusak karena pembalakan liar dan juga zona di mana pohon Nothofagus telah mati.
Para ilmuwan masih menyelidiki hubungan antara proses pembangunan jalan dengan matinya pohon Nothofagus meski otoritas Indonesia melaporkan bahwa tidak ada hubungan antara keduanya. Pohon ini merupakan satu spesies yang sangat tua dan menjadi indikator paling penting proses evolusi iklim dunia. Saat ini keberadaanya terancam mengalami kepunahan akibat ulah manusia, perubahan iklim dan seperti yang terjadi di Papua, jamur perusak. Meski telah meminta berulang kali dari tahun 2017, misi monitoring reaktif dari IUCN (Serikat Internasional untuk Konservasi Alam) juga tidak diperbolehkan ke Tanah Papua dengan alasan keamanan dan Pilkada.
Pada tanggal 18 Desember 2018, Pusat Warisan Dunia telah mengirim surat ke pemerintah Indonesia untuk meminta klarifikasi atas proyek jalan Trans-Papua. Namun pemerintah Indonesia belum memberikan laporan secara lengkap.
Perhatian badan-badan internasional ini terutama diarahkan ke Jalan TransPapua dari Wamena ke Kenyam yang diresmikan oleh presiden Jokowi pada bulan Mei 2018 karena walaupun jalan ini belum selesai, jalan ini sudah dibuka dan membawa ancaman pembalakan liar dan pencurian ke Taman Nasional. Pemerintah Indonesia bahkan belum mempersiapkan langkah-langkah mitigasi dan belum mengirimkannya ke Pusat Warisan Dunia padahal Taman Nasional Lorentz sudah diakui sebagai warisan dunia sejak 1999.
Pemerintah bahkan tidak melakukan kajian mengenai dampak lingkungan (amdal) dan manajemen lingkungan, terutama yang berkaitan dengan keputusan OUV ini. Komite juga secara keras mengkritik sistem zonasi baru yang diterapkan di taman nasional yang akan meningkatkan luas zona penggunaan dan berpotensi mengancam ekosistem taman secara menyeluruh.
Dari sudut pandang orang asli Papua sendiri, keberadaan jalan ini sudah menuai protes. Seperti yang terlihat sejak tahun 2018, proses pembangunan jalan Trans-Papua bukan hanya mengakibatkan kerusakan lingkungan di seluruh koridor konservasi pulau Papua, tetapi juga mengintensifkan operasi-operasi militer yang membuat ribuan masyarakat Nduga terus mengungsi hingga saat ini.
Sangat jelas bahwa apabila jalan terus dibuka dan pembangunan Trans-Papua dilanjutkan maka ancaman terhadap tanah-air dan kehidupan orang Papua akan semakin menjadi. Dengan kata lain, ancaman terhadap Taman Nasional Lorentz adalah ancaman terhadap eksistensi orang asli Papua. Hingga saat ini pemerintah Indonesia belum memberikan tanggapan terhadap pernyataan Komite.
Namun sangat jelas bagi kita semua bahwa satu-satunya jalan yang perlu diambil pemerintah Indonesia adalah menghentikan seluruh pembangunan Trans-Papua, menarik seluruh aparat keamanan dari wilayah-wilayah konservasi, dan melindungi orang asli Papua serta tanah airnya termasuk Taman Nasional Lorentz sebagai warisan dunia. (*)
*) Veronika Kusumaryati meneliti sejarah dan etnografi kolonialisme di Tanah Papua. Dia menyelesaikan doktoralnya di departemen antropologi, Universitas Harvard. Saat ini, dia menjadi peneliti post-doktoral di Edmund A. Walsh School of Foreign Service, Georgetown University.