Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Yohanis Mambrasar
Kita semua pasti sepakat bahwa penyebab konflik TNI/Polri dengan TPN/OPM di bawah pimpinan Egianus Kogoya di daerah Ndugama (Kabupaten Nduga) adalah pembangunan proyek jalan trans-Papua Wamena-Nduga.
Konflik yang dimulai dengan penyanderaan 24 orang karyawan PT Istaka Karya, pekerja jalan trans dan jembatan di Distik Yigi yang berakhir 17 orang di antaranya tewas ditembak pada 2 Desember 2018 oleh kelompok TPN Egianus Kogoya dan dibalas oleh aparat gabungan TNI/Polri dua hari kemudian, 4 Desember 2018, dengan melakukan operasi perang yang terjadi hingga sekarang. Lebih dari 10 ribu warga Nduga dari 11 distrik mengungsi akibat konflik tersebut.
Ribuan warga ini terpaksa harus mengungsi, melintasi hutan ke kabupaten-kabupaten tetangga, yaita Jayawijaya, Lani Jaya, Timika, Asmat, dan Yahukimo, untuk menyelamatkan diri. Tercatat 180 warga Nduga tewas akibat konflik ini. Mereka tewas karena ditembak dan mengalami kekerasan oleh aparat TNI/Polri dan sakit selama di pengungsian.
Ribuan anak Nduga, siswa-siswi SD, SMP, dan SMA di Nduga putus sekolah, 15 gereja ditutup, 182 rumah warga dibakar, fasilitas publik, seperti gedung sekolah dan puskesmas dipakai oleh aparat sebagai tempat menginap dan penampung barang (bascamp?). Pelayanan pemerintahan Nduga tidak berjalan normal.
Penjelasan di atas ini mengambarkan secara jelas, bahwa akibat dari pembangunan proyek jalan ini telah mendatangkan bencana besar bagi rakyat Nduga. Ini fakta yang kita hadapi di Papua.
Tujuan pembangunan jalan trans-Papua (Wamena-Nduga) dan Papua Barat di Sorong dan Manokwari adalah membuka akses transportasi dan pembangunan kesejahteraan bagi rakyat Papua.
Konsep pembangunan versi pemerintah dengan menempatkan pembangunan infrastruktur, termasuk jalan menjadi garda terdepan dalam pembangunan kesejahtraan rakyat Papua inilah yang membuat pemeritah pusat ngotot tetap menjalankan proyek tersebut walaupun terjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat Papua, bahkan telah terjadi koflik bersenjata yang meluas dan membuat masyarakat Papua, khususnya warga Nduga, menjadi korban. Namun, pemerintah tetap tak peduli dengan konflik yang terjadi di sana.
Pada posisi ini kita wajib mempertanyakan relevansi pembangunan jalan trans-Papua, Wamena Nduga bagi kesejahteraan rakyat Papua, seperti yang diargumentasikan oleh pemerintah dan esensi pembangunan infrastruktur secara umum. Apakah benar proyek jalan trans ini dibangun sebagai akses utama untuk menyejahterakan rakyat Papua? Dengan kata lain proyek ini murni untuk rakyat Papua? Ataukah ada kepentingan lain di balik proyek ini?
Dari dua pertanyaan ini kita bisa berkesimpulan: Pertama, jika pembangunan proyek jalan trans ini untuk kepentingan rakyat Papua, mestinya pemerintah mengakomodir kepentingan masyarakat setempat, aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat itulah yang harus ditindaklanjuti.
Dampak positif/negatif dari pembangunan proyek tersebut harus diperhitungkan secara matang dan menjadi pijakan pemerintah dalam menjalankan proyek tersebut. Artinya, dengan adanya konflik yang terjadi di Ndugama, seharusnya pemerintah pusat melakukan evaluasi dan menghentikan proyek tersebut. Evaluasi pembangunan proyek dan pemberhentian proyek dilakukan atas asas proyek jalan trans berbasis pada kepentingan rakyat (asas kepentingan rakyat);
Kedua: jika pembangunan proyek jalan trans ini dilatarbelakangi kepentingan lain (bukan murni untuk kepentingan rakyat), tentu kepentingan rakyat tidak akan menjadi fokus mendasarnya. Rakyat tidak akan dilibatkan dalam pembangunan, bahkan aspirasi rakyat pun akan diabaikan oleh pemerintah.
Pengabaian terhadap aspirasi dan nasib rakyat Nduga inilah yang sedang terjadi dalam pembangunan proyek jalan trans-Papua Wamena-Nduga.
Rakyat Nduga akan menjadi korban dalam pembangunan jalan ini, korban akibat konflik bersenjata, tetapi juga tidak akan mendapatkan manfaat (imbas) langsung dari pembangunan jalan tersebut.
Rakyat yang dimaksud dalam asas kepengtingan rakyat yaitu masyarakat yang berhubungan langsung dengan pembangunan jalan trans itu, dalam hal ini masyarakat Nduga, Jayawijaya, dan masyarakat-masyarakat adat suku-suku lainnya yang tinggal di sepanjang areal jalan trans tersebut.
Pembangunan jalan trans tidak bisa ditentukan oleh masyarakat di daerah lainnya, misalnya di luar Papua. Dalam hal ini jalan trans-Papua Wamena-Nduga tidak bisa ditentukan oleh masyarakat Jayapura atau Sorong, atau bahkan tidak bisa ditentukan sepihak oleh para elite dan pejabat.
Apa dan siapa kepentingan utama dari proyek jalan trans ini? Apa kepentingan dan siapa yang berkepentingan utama dari pembangunan proyek jalan trans Wamena-Nduga ini harus menjadi diskursus kritis.
Kepentingan utama dari jalan harus dijelaskan secara menyeluruh dan tuntas–siapa yang berkepentingan harus terkaver dengan jelas, sehingga proyek pembangunan jalan trans ini bermaanfaat bagi kepentingan rakyat Papua, khsusnya warga Nduga dan warga di sekitar areal jalan. Presiden Jokowi wajib mendengar aspirasi warga Nduga dan sekitarnya.
Desakan warga Nduga agar proyek jalan trans ini dihentikan yang disampaikan secara langsung atau melalui pimpinan gereja dan bupati Nduga harus didengar oleh pemerintah pusat, termasuk Presiden. Jika tidak, tentu pemerintah pusat memiliki kepentingan lain yang bukan merupakan kepentingan rakyat Nduga dalam pembangunan jalan trans Wamena-Nduga.
Juru Bicara Internasional Komite Nasional Papua (KNPB), Viktor Yeimo, dalam diskusi tentang konflik Nduga di UKI Jakarta, mengatakan pembangunan jalan trans ini bertujuan untuk kepentingan investasi tambang oleh pemerintah pusat dan para investor. Ini sinkron dengan berbagai informasi dan penelitian yang telah diketahui, bahwa daerah Nduga memiliki sumber tambang yang melimpah dan telah menjadi incaran banyak investor.
Dalam praktik pemerintahan modern di dunia, khsusunya dunia ketiga (negara-negara berkembang) seperti kebanyakan negara-negara di Asia, termasuk Indonesia dan negara-negara di Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin, pembangunan dipakai menjadi kata kunci oleh pemerintah dan negara-negara kapitalis untuk mengubah masyarakat dalam banyak askpek, seperti kebudayaan dan paham hidup (idiologi), perubahan masyarakat melalui pembangunan infrastruktur pada masyarakat perkotaan, dan pembukaan investasi perkebunan dan pertambangan pada masyarakat-masyarakat di perkampungan.
Pembangunan yang di dalamnya jalan sebagai sarana transportasi memiliki watak bermacam-macam sesuai kepentingan aktor, misalnya, sebagai sarana transportasi ekonomi dan sarana transportasi sosial lainnya. (*)
Penulis adalah praktisi hukum di Kota Jayapura
Editor: Timo Marten