Oleh : Edi Faisol
Virus corona yang kemudian disebut Covid-19 sudah masuk ke Indonesia dalam waktu dekat ini masih menimbulkan kekhawatiran publik. Pada Rabu (25/3/2020) jumlah kasus Covid-19 mencapai 790 orang dengan pasien dirawat 105 orang dan korban meninggal 58 orang.
Di luar kasus yang tercatat secara resmi oleh negara itu, masih banyak kasus kematian pasien saat masih proses pengawasan Covid-19 di rumah sakit.
Jubi.co mencatat, kasus pasien yang sedang pengawasan meninggal terbaru mencapai enam orang. Mereka berada di Bogor Jawa Barat, Jambi, Palembang dan Nusa Tenggara Timur.
Lagi-lagi pemerintah daerah tempat pasien meninggal menyebut belum bisa memastikan korban meninggal akibat Covid-19. Alasannya sample uji laborat masih di Jakarta belum menyimpulkan atau sedang dikirim. Kondisi yang terjadi itu merupakan ironi saat bangsa dalam sebuah negara Indonesia hal negara lain yang terkena imbas penyebaran corona atau Covid-19.
Banyaknya pasien dalam pengawasan yang meninggal di rumah sakit tanpa diketahui penyebab pasti hanya karena alasan uji sample dari laborat. Hal itu sangat kontras dengan fakta lain ketika sejumlah kepala daerah di Jabar yang sudah sejak awal diketahui terinfeksi corona dan segera ditangani. Termasuk anggota kabinet yang diketahui sejak awal. Belum lagi ketika ada pengusaha yang sebelumnya secara mandiri melakukan uji mandiri infeksi covid-19 terhadap keluarganya.
Ironi itu bisa dikatakan tak manusiawi saat masyarakat di daerah sulit mengakses alat uji laborat menghadapi corona. Bersamaan wakil rakyat di senayan, yakni DPR RI telah mengalokasikan angaran mandiri dari keuangan insitusi dewan untuk uji Covid-19 bagi dirinya dan anggota keluarga. Sebuah kesenjangan aparatur negara dan rakyat yang meninggal di rumah sakit, khsususnya mereka yang di daerah jauh dari jangakauan layanan termasuk laboratoriun untuk menguji sample darah.
Sungguh ironi memang, jika negara yang seharusnya punya tanggung jawab paling besar terhadap rakyat menjamin kesehatan, termasuk penyelamatan ketika ada musibah dan bencana termasuk meunculnya wabah penyakit.
Fakta kematian para pasien saat masih pengawasan dan belum diketahui positiv Covid-19 hanya karena fasilitas penunjang laborat di ibu kota itu sebagai catatan negara tak bertangung jawab terhadap rakyat dan segenap bangsa di daerah.
Wabah merebaknya Corona di Indonesia itu lebih berat dibanding negara lain saat presiden dan pemangku kepentingan terlihat lamban menghadapi sebuah ancaman dalam bentuk wabah penyakit.
Bukankan presiden dan aparatur kabinet serta DPR punya kebijakan menentukan antisipasi ? Kesiapan alat deteksi dini dan fasilitas penunjang misalnya seharusnya sudah ada saat negara lain lebih dulu mengalami musibah serangan virus mematikan itu.
Di sisi lain kelambanan negara yang baru menetapkan social distance belakangan diganti psysikal distance bukti negara tak punya tanggung jawab penyelamatan sejak dini. Kematian pasien yang masih menyisakan tanda tanya hasil laborat itu bukti negara abai terhadap rakyat dan lebih mengutamakan kepentingan lain.
Pembiaran adanya rakyat menderita akibat musibah yang seharusnya bisa diantisipasi merupakan kejahatan dalam bentuk kelalaian yang tak mencerminkan sebagai negara yang berdaulat. Kondisi itu tak sesuai cita-cita terbentuknya prinsip bangsa dan negara yang menjunjung kesejahteraan dan perlindungan dari sistem pemerintahan dan cita-cita kemerdekaan.
Corona dan kematian para pasien dalam pengawasan di rumah sakit yang tak kunjung mendapat kejelasan medis itu halnya kasus pelanggaran berat di tanah Papua yang selama ini dikemas dengan pendekatan militer yang membungkam demokrasi dan mengabaikan pola pendekatan sipil. (*)
Penulis jurnalis arsip.jubi.id