Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jakarta, Jubi – Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif pada Kamis, (3/12/2020) kemarin menolak negosiasi ulang perjanjian nuklir Iran 2015, Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Pernyataan itu disampaikan saat ada keinginan pemerintahan Joe Biden yang mulai mengendalikan AS awal tahun depan, ingin kembali masuk ke dalam perjanjian tersebut.
Saat berbicara dalam Dialog Mediterania ke-6 (Rome MED 2020) Zarif menyatakan Teheran tidak akan mengadakan pembicaraan baru tentang apa yang telah disepakati dalam JCPOA.
“Washington telah melanggar resolusi Dewan Keamanan (PBB), dan pemerintahan Trump adalah rezim yang nakal. Washington harus menghentikan pelanggaran JCPOA,” kata Zarif menegaskan.
Menurut dia Iran akan memenuhi komitmen JCPOA jika Eropa dan AS menghormati perjanjian nuklir tersebut.
Baca juga: Pejabat AS benarkan Israel di balik pembunuhan ilmuwan Iran
Dalam pidatonya, Zarif juga mengutuk pembunuhan ilmuwan terkemuka Iran Mohsen Fakhrizadeh sebagai tindakan agresi internasional, dengan mengatakan Iran masih menunggu Inggris, Prancis dan Jerman untuk mengutuk serangan pembunuhan tersebut. Zarif juga menyinggung negara Barat yang menjual senjata ke beberapa negara Arab untuk perang di Yaman.
Times of Israel, menyebut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan rencana Joe Biden untuk kembali ke kesepakatan nuklir Iran akan salah arah.
“Merupakan kesalahan untuk kembali ke JCPOA. Anda tidak boleh kembali ke perjanjian yang cacat itu,” kata Netanyahu dalam wawancara televisi dengan Michael Doran dari Institut Hudson yang berbasis di Washington DC.
Dalam kampnyenya sebelumnya Joe Biden ingin kembali ke JCPOA yang ditandatangani pada 2015 ketika dia menjadi wakil presiden. Ia mengatakan kepada New York Times bahwa dia akan melakukannya jika Iran kembali ke syarat-syarat dalam perjanjian terlebih dahulu. Biden juga berjanji untuk mengambil langkah untuk mengekang pengaruh proksi regional Iran.
Namun Netanyahu mengatakan perjanjian nuklir itu akan memberi Iran sumber daya untuk membangun diri di Suriah dan Irak, serta mendanai proksi di seluruh wilayah Timur Tengah. (*)
Editor : Edi Faisol