Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Strategi yang sering digunakan investor perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Boven Digoel, Papua, yakni dengan melakukan pengangkatan anak adat, bahkan hal itu masif terjadi di wilayah adat Animha.
Informasi di atas diungkapkan tokoh pemuda Boven Digoel sebagai mitra kerja Jaringan Kerja Rakyat (JERAT) Papua, Yohanes Nong, bahwa jika telah menyandang gelar anak adat, mudah sekali bagi mereka untuk melakukan pelepasan lahan.
“Orang dari luar masyarakat adat, terlebih non-asli Papua diangkat menjadi anak adat. Itu dilakukan oleh tetua adat. Jadi dengan kapasitas sebagai anak adat ini dimanfaatkan oleh mereka untuk melakukan pelepasan lahan dengan mudah, karena dianggap telah menjadi bagian dari masyarakat adat tersebut,” ungkap Yohanes Nong, belum lama ini di Jayapura, usai konsolidasi JERAT Papua.
Menurut Nong, hal ini adalah strategi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang telah gagal dilakukan di wilayah Papua Selatan. Perusahaan hanya mengambil kayu dari hutan masyarajat adat dan menjualnya. “Dari kayu saja, perusahaan ini telah untung. Sementara masyarakat adat hanya menerima hutan yang rusak serta tempat berburu dan dusun sagu hilang,” ucapnya.
Atas terjadinya perampasan lahan ini, kata dia, dampak lain yang akan terjadi adalah hilangnya kepercayaan adat dari masyarakat. “Kita perlu mengetahui bahwa setiap masyarakat memiliki kepercayaan leluhur, seperti di Merauke ada yang memiliki kepercayaan kepada pohon, kepada rusa dan lainnya. Saat lahan dan tanah mereka dilepas, maka masyarakat adat kehilangan jati diri mereka,” katanya.
Menurutnya, selama ini kasus perampasan tanah yang terjadi seolah-olah menjadikan masyarakat adat ibarat tidak memiliki tuan di negeri, karena adanya investasi besar-besaran. “Negara seakan memprioritaskan investor untuk mengambil tanah dengan murah dan menimbulkan kesengsaraan berkepanjangan dan tidak lagi menghiraukan adanya keberadaan masyarakat adat.”
Pemerhati lingkungan dan pencetus wisata Cenderawasih di Nimoboran, Kabupaten Jayapura, Alex Waisimon mengatakan, dampak dari permasalahan perampasan lahan merupakan masalah klasik yang selama ini terjadi di Papua. Oleh karena itu, perlu untuk mempertegas usaha yang bisa dilakukan agar masalah klasik ini tidak terus terjadi.
“Strategi perampasan lahan yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit memiliki pola yang sama. Investor datang dengan cara yang ‘kurang ajar’ dalam memperdayai masyarakat adat dengan membawa uang tunai serta didukung oleh oknum aparatur keamanan,” ujar Waisimon.
Masyarakat selama ini, kata dia, ada yang tegas melawan investor dan ada beberapa yang berhasil contohnya usaha yang dilakukan bersama dengan pemerhati seperti LSM, sehingga perusahaan Permata Nusa Mandiri saat ini menyimpan alat-alat dan tidak melanjutkan aktivitas mereka.
“Hal ini menjadi motivasi bagi kita untuk terus komit bergerak. Banyak strategi licik yang dilakukan oleh investor di antaranya adalah dengan memberikan ‘iming-iming’ atau ‘janji janji manis’, contohnya adalah mengajak kepala suku (ondo) untuk jalan-jalan ke luar Papua,” katanya. (*)
Editor: Kristianto Galuwo