Papua No. 1 News Portal | Jubi
Manokwari, Jubi – Eksploitasi sumber daya alam di Tanah Papua lebih dari 50 tahun terakhir, menimbulkan dampak negatif bagi kondisi lingkungan hidup bahkan merugikan bagi kehidupan masyarakat adat Orang Asli Papua (OAP). Bahkan kerap kali menjadi faktor pemicu terjadinya berbagai kekerasan Negara yang berdampak pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Yan Christian Warinussy advokat dan pembela HAM di Manokwari menuturkan, kondisi yang disebutkan di atas, tergambar pada kasus dugaan pencemaran lingkungan di wilayah Timika dan sekitarnya akibat pertambangan proyek raksasa Freeport Indonesia.
“Mega proyek pertambangan tembaga yang mengandung logam emas di Tanah Papua tersebut diduga keras telah meninggalkan limbah yang mencederai sungai, dusun/ladang sagu, hingga ke laut Papua dengan potensi kerusakan setara dengan Rp185 triliun,” ujarnya kepada Jubi, Senin (18/2/2019).
Bertolak dari hasil investigasi tim Majalah Tempo dan Tabloid Jubi, sebut Warinussy, terkuak bahwa tailing sisa pengolahan emas itu mencerabut mata pencaharian penduduk, dan mengisolasi 4 (empat) Distrik.
Akibatnya, masyarakat adat setempat pasti akan mengalami kerugian dan kehilangan hak dan kesempatan yang adil untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya alamnya sendiri.
Sementara itu, menurut catatan Warinussy, di kawasan Teluk Bintuni, Papua Barat. Tepatnya kampung Saengga dan Tanah Merah-Kabupaten Teluk Bintuni. Masyarakat adat Sumuri dari 3 (tiga) keret/marga, yaitu Siwana, Soway dan Wayuri. Mereka “dipengaruhi” melepaskan tanah adatnya untuk kepentingan pembangunan kilang gas/LNG dengan menerima ganti kerugian sejumlah Rp15 per meter persegi.
Bahkan di dataran lembah Kebar-Kabupaten Tambrauw, masyarakat adat suku Mpur “termarginalisasi” dari tanah adatnya karena PT.Bintuni Agro Prima Perkasa (BAPP) diduga melakukan “manipulasi” proses pelepasan hak adat. Bahkan beberapa pejabat daerah di Kabupaten Tambrauw dan Provinsi Papua Barat diduga ikut serta memberikan persetujuan/rekomendasi bagi PT.BAPP untuk melakukan “pengrusakan” lingkungan di wilayah Kebar tersebut.
“3 (tiga) contoh kasus diatas memberi gambaran bahwa perbuatan ekaploitasi sumber daya alam di Tembagapura, Teluk Bintuni dan Lembah Kebar yang saya urutkan, semua itu senantiasa memberi dampak penting terhadap kondisi lingkungan, sumber daya alam maupun kehidupan sosial, ekonomi bahkan budaya masyarakat lokal/asli Papua sebagai penguasa bumi. Juga seringkali perbuatan hukum berbentuk ekaplotasi sumber daya alam tersebut mengabaikan dan melanggar hak-hak politik orang asli Papua sebagai pemilik tanah adat berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku,” tuturnya.
Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Warinussy mendesak Gubernur Dominggus Mandacan bersama DPR Papua Barat untuk segera mengesahkan aturan hukum yang dapat memproteksi masyarakat adat Papua dan hak-haknya di wilayah administratif pemerintah Provinsi Papua Barat.
“Saya desak Gubernur dan DPR di Papua Barat jangan menunda pengesahan produk hukum melalui rancanangan peraturan daerah (raperdasus) perlindungan sumberdaya alam dan masyarakat hukum adat (MHA), termasuk cara-cara mereka dalam melakukan upaya hukum untuk mempertahankan hak-hak asasinya sesuai mekanisme pada tingkat nasional maupun internasional,” imbuhnya.
Sementara, Wakil Ketua DPR Papua Barat, Roberth Manibuy mengatakan penetapan 7 (tujuh) raperdasus masih molor akibat kesibukan pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua Barat (DPR-PB)
“Agenda penetapan tujuh rapedasus yang seharusnya telah ditetapkan pada tanggal 28 Desember 2018 lalu, ditunda karena tidak memenuhi quorum akibat masih suasana natal dan akhir tahun 2018 sehingga belum mendapat pengesahan melalui sidang paripurna DPR Papua Barat,” ujarnya belum lama ini.
Sehingga, kata Manibuy, unsur pimpinan DPR Papua Barat telah mengundang semua anggota Badan Musyawarah (Banmus) untuk merevisi jadwal kegiatan tahunan DPR-PB termasuk agenda rapat paripurna penetapan tujuh Raperdasus ini. Dia harap sidang paripurna tujuh raperdasus paling lambat ditetapkan dalam awal bulan Februari 2019 ini. (*)
Editor : Edho Sinaga