Papua No.1 News Portal | Jubi
Washington, Jubi – Bank Dunia memperingatkan orang-orang dan perusahaan-perusahaan agar tidak menimbun makanan dan bahan bakar meskipun terjadi lonjakan harga yang dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina dan sanksi besar-besaran yang diberlakukan terhadap Moskow.
Hal itu disampaikan Presiden Bank Dunia, David Malpass dalam acara virtual yang diselenggarakan oleh surat kabar Washington Post, pada Senin (14/3/2022) kemarin dikutip Antara.
Malpass mengatakan sanksi akan berdampak lebih besar pada output ekonomi global daripada perang itu sendiri. Namun, berdasarkan penilaian saat ini, dia tidak mengantisipasi krisis yang mengakhiri pemulihan global dan mengurangi PDB global.
Baca juga : Uni Eropa kembali sanksi Rusia sudah keempat kali
Jepang perkuat sanksi Rusia di sektor perbankan dan alat militer
Konflik Rusia-Ukraina berdampak pada ekonomi Pasifik
Ia memperkirakan adanya tanggapan yang kuat dari para produsen di seluruh dunia untuk meningkatkan pasokan sesuai kebutuhan, dan melihat tidak perlunya orang memiliki persediaan tambahan di dapur atau restoran mereka.
Selain itu Bank Dunia juga mengantisipasi peningkatan besar dalam pasokan energi di luar Rusia dan makanan di luar Rusia dan Ukraina, yang akan mengurangi dampak lonjakan harga yang didorong oleh perang dan membantu mempertahankan pemulihan.
Menurut dia, pasokan energi dapat meningkat lebih cepat daripada pasokan makanan, mengingat penyesuaian pertanian biasanya memakan waktu sekitar satu tahun.
“Hal yang benar untuk dilakukan dalam keadaan saat ini adalah tidak keluar dan membeli tepung ekstra atau bensin ekstra, itu untuk mengakui bahwa dunia adalah ekonomi global yang dinamis dan akan merespons. Akan ada cukup untuk berkeliling,” kata Malpass yang mengatakan Rusia memiliki keputusan yang sulit untuk dibuat terkait pembayaran utangnya di tengah sanksi Barat yang melumpuhkan aset valuta asingnya.
Konsekuensi sanksi “sangat luas, mereka berat bagi Rusia sebagai sebuah negara dan mereka meluas ke rakyat Rusia sebagai akibat langsung dari devaluasi rubel,” kata Malpass menambahkan.
Ia menyebut bagi banyak orang Rusia, devaluasi yang dialami sekarang membawa kembali ingatan tentang sistem komunis. Ia merujuk saat kebutuhan dasar dan barang-barang konsumen langka dalam perekonomian Rusia. (*)
Editor : Edi Faisol