Inkonsistensi dan urgensi sikap Gubernur Papua dalam meresolusi konflik Papua

Gubernur Papua, Lukas Enembe
Gubernur Papua, Lukas Enembe - Jubi/Aryo W
Gubernur Papua, Lukas Enembe – Jubi/Aryo W

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Alleb Koyau

Read More

Gubernur Papua, Lukas Enembe, merupakan sosok gubernur yang fenomenal sekaligus kontraproduktif. Itu dikarenakan gubernur yang akrab disapa LE ini merupakan gubernur pertama asal wilayah pegunungan tengah Papua, yang dipercayakan menjadi gubernur dua periode, karena dia mampu menunjukkan kepemimpinan yang sederhana, merakyat, dan terbuka.

Sosok LE sendiri istimewa karena terkesan berani menentang beberapa kebijakan Jakarta–yang acap kali dirasa tidak menguntungkan orang Papua. Sikap tersebut didukung banyak kalangan rakyat Papua bersama rakyat akar rumput.

Keberaniannya tidak saja banyak disoroti dan dipuji, tetapi juga dikriminalisasi, bahkan dicurigai Jakarta karena tutur bahasa yang apa adanya–terkadang bicara dengan jujur mengenai hal-hal sensitif sekalipun.

Kendatipun demikian, semua kecurigaan itu dengan sendirinya ‘luntur’ karena tidak dapat dibuktikan. Lalu bagaimana ambiguitas LE yang kemudian dalam tulisan ini dapat dilihat sebagai inkonsistensi sikapnya yang kadang-kadang membingungkan dan mengecewakan rakyat di Papua terkait pola penanganan konflik (resolusi) politik ideologis, yang sampai hari ini menjadi masalah utama?

Inkonsistensi sikap Gubernur Papua

Tulisan ini akan menguraikan beberapa fakta bagaimana inkonsistensi sikap LE bersama beberapa pejabat, seperti Ketua MRP dan DPR Papua, yang tampak tidak jelas dan tidak tegas dalam meresolusi konflik Papua, yang skalanya semakin memanas beberapa minggu terakhir dan menelan ratusan korban jiwa dan luka-luka. Beberapa sikap inkosistensi tersebut adalah;

Ancaman melepas Garuda dan mundur 2014

Gubernur Papua, Lukas Enembe pernah mengancam Pemerintah Pusat, bahwa ia akan mundur dari jabatannya sebagai gubernur apabila draf UU Otonomi Khusus Plus (disebut Draf 14) tidak diakomodir oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam prolegnas DPR masa bakti 2009-2014. Faktanya draf Otsus Plus tersebut tetap gagal dimasukkan dalam prolegnas alias kandas.

Jakarta rupanya keberatan dengan substansi Otsus Plus yang diduga hanya “di-copy paste” dari UU Pemerintahan Aceh. Jakarta keberatan karena ada pasal yang mengatur tentang referendum yang dimasukkan dalam salah satu pasal RUU Otsus Plus tersebut.

Walaupun pasal yang mengatur tentang permintaan referendum itu kemudian dihapus atas permintaan Jakarta, sampai dengan masa berakhirnya Presiden SBY, RUU Otsus Plus tetap tamat dengan memilukan, karena tidak pernah dibincangkan lagi (tabloidjubi.com,1 Oktober 2014).

Ironisnya, penolakan Jakarta atas RUU Otsus Plus tersebut, tidak direspons dengan melepas garuda melalui pengunduran diri Gubernur Papua bersama ketua DPRP dan MRP, sebagaimana pernyataan mereka sebelumnya.

Gubernur justru diberikan ‘harapan angin’ oleh Jakarta bahwa RUU Otsus Plus itu akan dimasukkan dalam prolegnas DPR periode berikutnya. Akan tetapi apa yang terjadi?

Sampai masa bakti 2014-2019 DPR RI berakhir, draf RUU Otsus Plus tersebut sirna dari perbincangan DPR, bahkan oleh pemerintah Indonesia sekalipun. Lantas, apa tindakan selanjutnya Gubernur Papua dan Papua Barat?

Penarikan pasukan militer dari Nduga

Gubernur Papua, akhir Desember 2018, meminta Presiden Jokowi menarik seluruh pasukan dari wilayah Nduga. Pernyataan itu disampaikan gubernur untuk menanggapi semakin dekatnya hari raya Natal dan mencegah semakin banyak jatuhnya korban jiwa dalam operasi militer yang sedang dilakukan di sana. Karena itu, Lukas Enembe mengatakan bahwa dirinya bersama ketua MRP, DPRP akan bertemu Presiden Jokowi, Kapolri dan panglima TNI (antaranews.com, 21 Desember 2018).

Banyak pihak yang merespons permintaan gubernur tersebut, antara lain, Pangdam XVII/Cenderawasih dan Mendagri. Mereka membantah, bahkan menuding Lukas Enembe melawan kebijakan negara (detiknews.com, 25 Desember 2018). Mereka pada prinsipnya menolak permintaan Gubernur Papua.

Padahal selama ini gubernur selalu menempatkan dirinya dan mengakui bahwa ia merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Namun, sejak awal nampaknya ia tidak pernah didengar Jakarta. Mungkin Jakarta memiliki pandangan tertentu, sehingga loyalitas LE sepertinya diabaikan.

Dalam kondisi demikian, LE tidak pernah memberontak tetapi terus pasrah menahan semuanya. Akhirnya permintaan mulia demi melindungi segenap rakyatnya sekali lagi diabaikan.

Melapor ke PBB jika ada orang Papua mati lagi

Gubernur Papua Lukas Enembe, September 2018, di Kampung Harapan, Sentani, Jayapura, sesaat sesudah acara syukuran Bupati dan Wakil Bupati Puncak, mengatakan, bahwa jangan lagi ada orang Papua yang mati sia-sia.

Apabila ada yang mati ditembak TNI/Polri, dirinya tidak segan-segan langsung melapor ke PBB. “Ko mau TNI kah, Polisi kah kalau bunuh orang Papua, saya langsung lapor PBB,” (tabloidjubi.com, 31 Januari 2019 ).

Menurutnya populasi orang Papua sudah sangat sedikit, sehingga jangan ada lagi pembunuhan-pembunuhan yang dapat semakin menghabiskan jumlah orang Papua.

Namun tak disangka, tak lama kemudian pernyataan tegas LE tersebut seperti angin lalu. Sebab hanya berselang dua bulan, 1- 2 Desember 2018, konflik Nduga pecah antara TPNPB dan TNI yang menelan banyak korban jiwa.

Hingga sekarang sudah lebih dari 185 warga sipil tewas, 54.000 lebih masyarakat mengungsi di kamp-kamp pengungsian di Wamena-Lanny Jaya dan operasi militer masih berlangsung hingga sekarang. Tidak ada yang tahu secara pasti kondisi akhir di Nduga karena minimnya akses pers dan aktivis kemanusiaan.

Lalu, guna mempertanggungjawabkan pernyataannya sebagai pemimpin rakyat Papua, rakyat Papua bertanya: apakah LE sudah melapor ke PBB? Kapan? Skema penyelesaian model apa yang sudah dipresentasekan: apakah perundingan Jakarta dengan OPM-ULMWP untuk referendum atau Otsus Plus? Tidak ada yang tahu.

Konflik Nduga belum berakhir, meletus lagi aksi rasisme di Surabaya yang kemudian mengeksitasi demo besar-besaran yang menelan puluhan korban orang asli Papua dari Sorong, Manokwari, Fakfak, Deiyai, Jayapura, hingga Wamena baru-baru ini.

Dengan melihat fakta-fakta konflik seperti ini, maka sekali lagi pertanyaannya: apakah Gubernur Papua dan Papua Barat yang terhormat sudah memberikan laporan ke PBB untuk kemudian segera digelar sebuah forum perundingan segitiga?

Dialog internasional difasilitasi pihak ketiga

Saat ditanya wartawan Tirto.Id, Gubernur LE menyatakan bahwa untuk menyelesaikan persoalan Papua, dibutuhkan dialog internasional yang difasilitasi pihak ketiga yang netral–sebagaimana yang dilakukan Jakarta terhadap GAM tahun 2005 (Tirto.id, 22 Agustus 2019). Lukas juga menyatakan bahwa orang Papua tidak membutuhkan pembangunan, tetapi kehidupan yang layak.

Gubernur menyatakan bahwa pemerintah Provinsi Papua bersama Provinsi Papua Barat sedang menyiapkan rencana dimaksud.

Namun, sejauh ini progres dari pernyataannya belum diketahui publik Papua, padahal eskalasi kekerasan dan jatuhnya korban warga sipil sebagai dampak persoalan laten politik ideologis terus terjadi. Apakah itu hanya sebatas wacana kosong? Rakyat Papua sedang menunggu.

Tuntutan referendum saat demo di kantor gubernur Papua 

Kamis, 19 Agustus 2019, ribuan rakyat Papua tumpah ruah ke jalan menggelar long march dari Sentani, Abepura, Kotaraja hingga seluruh kota Jayapura, Keerom dan Sarmi menuju kantor gubernur Papua. Dalam orasi yang dipimpin BEM Uncen dan BEM se-Kota Jayapura bersama seluruh OKP itu menuntut referendum (walaupun pernyataan sikap yang dibacakan pimpinan mahasiswa tidak tegas).

Gubernur Enembe yang kala itu mendengar aspirasi tersebut menyatakan akan meneruskannya kepada pemerintah pusat di Jakarta. Gubernur berjanji bahwa semua aspirasi tersebut sudah diakomodir dan sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah, dirinya bersama Ketua DPRP dan MRP yang juga hadir saat itu, siap bertemu Presiden Jokowi untuk menindaklanjutinya.

Juru bicara internasional KNPB yang hadir ketika itu menyatakan bahwa gubernur adalah rakyat, kita semua sama-sama rakyat yang sedang berada di bawah sistem kolonialisme Indonesia, maka sudah saatnya gubernur mendengar suara rakyat; mendengar apa yang mereka mau.

Gubernur saat itu menyatakan bahwa tugasnya sebagai gubernur sudah selesai. Oleh karena itu, ketika Otsus berakhir ia akan mengatakan kepada pemerintah pusat, agar mendengar apa yang rakyat Papua inginkan.

Namun, sebulan kemudian atau baru-baru ini, ketika mengeluarkan imbauan kepada mahasiswa eksodus, Gubernur Enembe menyatakan Papua adalah bagian sah dari NKRI dan final. Ia justru dengan nada tegas mengatakan mahasiswa eksodus tidak usah bicara referendum lagi di Papua karena itu percuma (suarapapua.com, 24 September 2018).

Enembe seolah-olah lupa bahwa usulan referendum sebelumnya pernah disebutkan oleh tim asistensi RUU Otsus Plus yang diperjuangkannya sendiri pada 2014. Ia juga berpura-pura amnesia, padahal saat demo damai di kantor gubernur Papua, seluruh perwakilan mahasiswa, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda dan tokoh perempuan yang berorasi menyatakan secara langsung bahwa referendum merupakan satu-satunya solusi demokratis bagi rakyat Papua setelah kegagalan Otsus 2001.

LE harusnya sadar bahwa tiap pernyataan yang keluar dari mulutnya di era ini akan senantiasa terekam baik oleh media massa, masyarakat, alam Papua, dan tulang-belulang rakyat tak berdosa.

Maka sebagai pemimpin yang dipilih oleh rakyat, ia memiliki kewajiban moral dan iman untuk mempertanggungjawabkan setiap ucapannya secara baik dan konsisten.

MRPB, tokoh gereja, GMKI Pusat-DPRD Tanah Papua sepakat dorong perundingan Jakarta-ULMWP.

Majelis Rakyat Papua Barat, tokoh Gereja (GKI, GIDI, KINGMI, Baptis), DPRD se-Papua dan GMKI pusat telah menyatakan sikap mendukung perundingan antara Jakarta dengan ULMWP. Tetapi belum jelas sikap terkini dari MRP Papua, DPR Papua dan DPR Papua Barat, serta Gubernur Papua dan Papua Barat.

Pernyataan dukungan itu, memang tidak secara tegas menghendaki adanya referendum, baru sebatas usulan perundingan antara pemerintah pusat dan ULMWP.

Menanggapi itu, Menkopolhukam, Wiranto, di Jakarta telah menyampaikan pandangannya mewakili Presiden Jokowi, bahwa ia menolak dialog formal dengan ULMWP. Menurutnya pemerintah tidak bisa mengakui kelompok kemerdekaan untuk berdialog, sebab dengan menerima mereka, pemerintah akan dianggap mengakui eksistensi organisasi separatis (suara.com, 24 September 2019).

Pernyataan Wiranto memang kontraproduktif dengan Kepala Staf Presiden, Moeldoko, yang mengatakan akan memikirkan dialog dengan ULMWP sesuai usulan DPRD se-Papua itu. Bahkan ia mengatakan pemerintah akan memikirkan teknik untuk melakukan dialog tersebut lebih jauh (cnn.com, 25 September 2019).

Dalam dinamika seperti ini, Gubernur Papua dan Papua Barat mestinya mulai memikirkan dan melakukan langkah-langkah persiapan konsolidasi dengan rakyat dan pihak ketiga, untuk segera dilakukan perundingan antara Jakarta dan ULMWP.

Gubernur harus melobi dan komunikasi kepada organ pergerakan perjuangan kemerdekaan di dalam dan luar negeri, serta menghimbau rakyat Papua, agar tetap tenang dalam batas waktu tertentu menuju hari ‘H’ pelaksanaan perundingan.

Prosesnya dapat dimulai dengan koordinasi seluruh perangkat pemerintahan dari kabupaten hingga ke dua provinsi, lalu bertemu Jokowi untuk mengusulkan poin-poin inti, seperti penarikan militer secara serentak, pembebasan seluruh tahanan politik, penentuan tempat, mediator, dan waktu pelaksanaan dialog/perundingan, serta biaya dan peserta dialog. Sesudah itu hasilnya disampaikan kepada seluruh rakyat Papua dan Papua Barat.

Dengan demikian, keseriusan pemerintah daerah melalui kedua gubernur sebagai pemimpin yang dipilih dan diamanatkan rakyat dan sebagai wakil rakyat benar-benar dapat dibuktikan, bukan semata-mata sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah.

Karena sesungguhnya rakyat Papua yang memilih kedua gubernur, bukan Jakarta. Mereka memegang mandat penuh dari rakyat Papua, bukan mandat Jakarta.

Analisis

Ambivalensi sikap Gubernur Papua sejak awal memiliki makna yang cukup jelas. Di satu sisi (faktor internal) menunjukkan bahwa ia tidak memiliki konsistensi dalam membuktikan setiap tutur katanya.

Di sisi lain, itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sebenarnya tidak beres pada diri gubernur–mungkin faktor tekanan psikis dari pihak luar (faktor eksternal).

Jika diamati dengan seksama, hampir semua pernyataan yang bersifat tegas dan berpihak pada rakyat Papua, termasuk menanggapi wacana referendum kemerdekaan, diungkapkan gubernur ketika beliau berada di lingkungan yang didominasi oleh orang Papua (samping kanan-kirinya orang Papua). Tidak ada aparat negara (pangdam, intel, Dandrem, ajudan atau kapolda) dan wakil pemerintah pusat. Kecuali ancaman mundur dari posisi gubernur ketika mendorong Otsus Plus.

Itu mungkin ada faktor lain yang mendukung. Coba kita lihat, pernyataan akan lapor PBB diungkapkan saat pelantikan Bupati Puncak di Sentani; pernyataan dialog internasional diungkapkan setelah dirinya menerima ribuan massa demo damai di kantor gubernur menolak rasisme di Surabaya-Malang yang menyerukan referendum.

Demikian pula saat mengeluarkan pernyataan tarik militer dari Nduga, dst. Ini semua mencerminkan sosok pribadi Enembe yang sesungguhnya; bahwa ia tetap sebagai pemimpin sejati rakyat Papua yang dipilih oleh rakyatnya, disegani dan dihormati. Maka ia berusaha untuk tetap tampil untuk melindungi dan mencintai rakyatnya, seperti rakyatnya mengasihi dirinya.

Akan tetapi, pernyataan gubernur baru-baru ini di Mako Brimob Kotaraja, yang menyatakan Papua sudah sah bagian dari NKRI, memarahi mahasiswa eksodus dengan nada keras untuk tidak boleh bicara referendum kemerdekaan, dst., yang sifatnya melarang, berdasarkan situasi lingkungan dan faktor ekopsikologis, dapat dipahami sebagai sesuatu yang wajar.

Bahwa lingkungan markas Brimob dan kondisi pascarusuh membuat insting manusia akan beradaptasi, untuk pasrah dan jadi penurut, dengan tujuan tidak menimbulkan ancaman dan mispersepsi.

Terlepas dari faktor tekanan psikis, teror, dst., saat ini adalah momentum paling tepat bagi Gubernur Papua dan Papua Barat dan ketua MRP dan DPR Papua dan Papua Barat, untuk segera menjemput bola yang sedang bergulir, untuk mencegah lebih banyak korban jiwa, baik sipil, maupun militer.

Kita tentu tidak ingin peristiwa Timor Leste Jilid 2 terjadi di atas tanah Papua. Oleh sebab itu, sangat mendesak bagi gubernur Papua, Papua Barat, ketua MRP dan DPR Papua-Papua Barat untuk menanggapi semakin mencuatnya dorongan perundingan antara Jakarta-ULMWP.

MRP Papua Barat sudah menyatakan sikap untuk segera melakukan perundingan antara Jakarta dan ULMWP didahului oleh pernyataan sikap tokoh-tokoh Gereja se-Tanah Papua: GKI, GIDI, KINGMI dan Baptis. Sesudah itu, disusul pernyataan sikap GMKI Pusat bersama ketua-ketua DPRD se-Papua baru-baru ini.

Dukungan ini dapat dipandang selaras dengan apa yang diperjuangkan oleh LIPI sejak Pastor Dr. Neles Tebay masih hidup. Yang terpenting adalah sesuai seruan banyak negara di dunia sejak beberapa tahun lalu hingga sidang PBB 2019.

Bahwa pemerintah Indonesia mesti mengambil peran secara konstruktif, humanis, dan dialogis dengan semua komponen pergerakan di Papua yang menggelar aksi-aksi damai untuk menyatakan pendapat di muka umum.

Kesimpulan

Jika diamati inkonsistensi sikap Gubernur Papua memang tampak dari beberapa pernyataannya yang berubah-ubah menanggapi situasi konflik di tanah Papua.

Faktor eksternal seperti tekanan, dan ancaman mungkin menjadi penyebabnya. Akan tetapi, sebagai pemimpin yang diamanatkan dan dimandatkan oleh rakyat Papua, konsekuensi apapun harus dipertaruhkan. Apalagi jika benar-benar pemimpin sejati, yang tidak tega menyaksikan rakyatnya terus berada dalam ancaman dan konflik berdarah-darah.

Inkosistensi sikap Gubernur Papua mesti dihentikan. Gubernur harus berani mengambil sikap dan keputusan urgen untuk melindungi dan memihak rakyat Papua. Sudah pasti rakyat akan berada di belakang sang pemimpin.

Sikap pemerintah pusat yang terus-menerus menghadirkan tangisan, darah dan air mata itu sudah waktunya dihentikan. Cukup sudah Jakarta terus berusaha mengelak dari inti akar masalah Papua.

Cukup sudah Jakarta berusaha mereduksi legitimasi dan kepercayaan rakyat terhadap gubernur Papua dan Papua Barat melalui pengaturan dan pemanggilan 61 oknum yang diklaim sebagai tokoh Papua, pemanfaatan Lenis Kogoya, Fredy Numbery, Hendrik Yance Udam, dll. untuk mengadu domba antarpemimpin Papua.

Cara menghentikannya hanya satu: Gubernur Papua harus berani dengan tegas mengambil sikap untuk memulai perundingan Jakarta dan ULMWP. Apapun dinamika dan hasil-hasil yang nantinya mengemuka dan lahir dalam perundingan itu mesti dilihat dengan cara-cara demokratis dengan tetap menjunjung tinggi HAM.

Saran

Gubernur dan Wakil Gubernur Papua dan Papua Barat, ketua DPR Papua dan Papua Barat, serta DPR kabupaten/kota se-Tanah Papua, segera mendukung dan mempersiapkan langkah-langkah strategis penyelesaian konflik Papua, seiring dengan mencuatnya dukungan terhadap perundingan antara Jakarta dan ULMWP.

Semua organisasi perjuangan pro kemerdekaan, baik dalam negeri, maupun luar negeri disarankan untuk menanggapi dukungan perundingan Jakarta-ULMWP sebagai suatu kemajuan dalam proses perjuangan, lalu mempersiapkan diri dan agenda-agenda yang bakal dibahas dalam perundingan. Dengan demikian, itu dapat mencegah korban jiwa yang lebih banyak di kalangan masyarakat sipil Papua. (*)

Penulis adalah mahasiswa Papua, tinggal di Jayapura

Editor: Timo Marten

Related posts

Leave a Reply