“Mungkin harus kita lihat dalam tiga kategori pengelompokan. Peluang korupsi di dalam bisnis proses SDA itu bisa terjadi pada saat perencanaan, bisa terjadi pada saat pemanfaatan, dan bisa terjadi pada saat pengawasan,”
Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jakarta, Jubi – Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, Laode M Syarif mengungkapkan terdapat tiga potensi tindak pidana korupsi pada sektor sumber daya alam. Sejumlah kasus korupsi di sektor SDA itu pernah diproses KPK.
“Mungkin harus kita lihat dalam tiga kategori pengelompokan. Peluang korupsi di dalam bisnis proses SDA itu bisa terjadi pada saat perencanaan, bisa terjadi pada saat pemanfaatan, dan bisa terjadi pada saat pengawasan,” kata Syarif dalam diskusi publik “Evaluasi Pemberantasan Korupsi Sektor Sumber Daya Alam” melalui video telekonferensi, Rabu, (6/5/2020).
Baca juga : KPK apresiasi rencana aksi penataan SDA Papua
KPK bentuk KAD Anti Korupsi di Papua Barat
Bupati Jayapura: Korupsi merusak nilai pembangunan
Korupsi yang dilakukan pada tahap perencanaan misalnya mempengaruhi pembuatan perencanaan pemanfaatan rencana tata ruang, lewat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Syarif mencontohkan perkara mantan anggota DPR RI Al Amin Nasution yang memakai pengaruhnya untuk mempengaruhi proses alih fungsi hutan lindung. “Itu contohnya Al Amin Nasution, dulu saya belum di KPK dia dapat 8 tahun penjara, dia anggota DPR memakai pengaruhnya,” kata Syarif menambahkan.
Dalam tahap pemanfaatan, ia juga mencontohkan perkara eks Bupati Buol, Sulawesi Tengah, Amran Abdullah Batalipu yang memberikan izin perkebunan kepada Siti Hartati Murdaya selaku Direktur PT Hardaya Inti Plantation (HIP) atau PT Cipta Cakra Murdaya (CCM). Dalam kasus itu ia mengaku agak kurang nyaman selama di KPK karena ternyata dari kasus ini akhirnya izin prinsip yang dikeluarkan oleh Amran Batalipu itu akhirnya dijadikan untuk pelepasan kawasan padahal izin prinsipnya itu didapatkan oleh Murdaya dengan menyuap Amran Batalipu. Syarif juga menyinggung mantan Gubernur Kalimantan Timur Suwarna Abdul Fatah yang hanya divonis ringan.
Menurut Syarif waktu itu KPK baru belajar, Gubernur Abdul Fatah hanya dapat empat tahun penjara tetapi banyak mendapatkan uang pengganti karena dari Presiden Direktur Surya Dumai Grup Pung Kian Hwa atau Martias.
“Kita mendapatkan uang pengganti waktu itu Rp346,8 miliar. Dia (Martias) memohon izin untuk penanaman kelapa sawit tetapi dia tidak menanam, hanya tebang pohon semuanya diambil kayunya,” ujar Syarif menjelaskan.
Ia juga menyinggung perkara mantan Bupati Pelalawan Riau Tengku Azmun Jaafar yang mengeluarkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman kepada 15 perusahaan berupa izin pemanfaatan di Pelalawan, Riau, tetapi tujuh itu diberikan kepada keluarganya.
Selain itu, ia juga menyoroti terkait lahan perkebunan sawit milik almarhum Darianus Lungguk (DL) Sitorus yang juga belum dieksekusi. Korupsi itu sampai dengan meninggal DL Sitorus, sampai hari ini belum dieksekusi.
Orang sudah diputus oleh hakim bahwa kebun itu adalah milik negara sampai hari ini anaknya masih menguasai kebun sawit. Bahkan anaknya (Sihar Sitorus) ikut menjadi calon Wagub Sumut dengan Djarot Saiful Hidayat. “Untung kalah kalau dia menang mungkin dia legalisasi kembali,” katanya. (*)
Editor : Edi Faisol